Strategi
Pembatasan BBM Bersubsidi
Satrio Wahono, PENGAMAT MANAJEMEN DAN PENULIS BUKU
SUMBER : SINAR HARAPAN, 5
Maret 2012
Isu bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
selalu sensitif di Indonesia. Itu wajar, sebab menaikkan harga BBM bersubsidi
memang acap berperan menaikkan tensi ekonomi dan politik. Alhasil, pemerintah tampak maju mundur
merealisasikan kebijakan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi. Ini terlepas
dari fakta bahwa harga minyak global terkini sudah mencapai US$ 102 per barel
dan kemungkinan akan terus naik.
Memang, BBM bersubsidi merupakan beban berat
bagi Indonesia, mengingat negara ini bukan lagi net exporter minyak sejak
2008 sehingga negeri ini keluar dari organisasi negara pengekspor minyak (OPEC)
pada tahun yang sama.
Tak hanya itu, stok BBM dalam negeri kian
menipis, terbukti dari lifting (produksi minyak) yang hanya mencapai
913.000 barel per hari. Artinya, ketidakpastian kebijakan soal pembatasan BBM
bersubsidi bakal merembet pada ketidakmenentuan situasi ketahanan politik,
ekonomi, dan energi dalam negeri.
Belum lagi soal subsidi yang salah sasaran.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2002, hanya 18 persen subsidi BBM
yang dinikmati kelompok masyarakat miskin dan hampir miskin, dan menjadikan 82
persen subsidi BBM terindikasi salah sasaran.
Lebih mutakhir lagi, penelitian BPH Migas
(2010) menunjukkan, rakyat miskin hanya menikmati subsidi bensin Rp 11.000 per
bulan, sementara kalangan mampu justru menikmati subsidi lebih dari 10 kali
lipatnya, Rp 120.000 per bulan. Dengan kata lain, selama ini BBM bersubsidi
memang lebih banyak dinikmati oleh kalangan masyarakat mampu.
Empat Langkah
Oleh karena itu, pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi tak perlu lagi ditunda-tunda. Namun, sekadar melarang kendaraan
pribadi membeli bahan bakar premium terlalu simplistis.
Diperlukan strategi lebih detail untuk
membatasi konsumsi BBM bersubsidi. Nah, setidaknya ada empat langkah
strategis yang akan mampu membatasi BBM bersubsidi secara tepat sasaran, mudah
dilaksanakan, dan dengan biaya gejolak sosial minimal.
Pertama, memilah terlebih
dulu kendaraan apa yang masih diperbolehkan mengonsumsi BBM bersubsidi (premium
dan solar) dengan harga saat ini (Rp 4.500). Dalam hal ini, rasanya tidak
ada perdebatan lagi bahwa angkutan umum masih berhak mendapatkan subsidi supaya
tidak terjadi kenaikan tarif transportasi yang akan membekaskan pengaruh besar
bagi masyarakat luas.
Ini karena ongkos transportasi di daerah
perkotaan mencapai 25 persen dari total pengeluaran per bulan, jauh lebih
tinggi dibandingkan 10 persen ongkos transportasi perkotaan di negara-negara
maju.
Larangan transportasi umum mengonsumsi BBM
bersubsidi atau menaikkan harga BBM yang sama untuk transportasi umum hanya
akan menambah beban berat rakyat dan bisa menimbulkan ongkos sosial serta
politik yang mahal.
Demi kemudahan implementasi, pemberian BBM
subsidi untuk angkutan umum dapat dilaksanakan dengan sistem voucher
berdasarkan pemakaian per hari, yang datanya bisa diperoleh lewat koordinasi
dengan Dinas Perhubungan (Dishub) setempat.
Sebagai contoh, data dari Dishub DKI (2010)
menemukan bahwa konsumsi BBM untuk bus besar setiap harinya adalah sekitar
80–100 liter per hari per bus.
Oleh karena itu, voucher yang
diberikan kepada setiap bus per harinya adalah 8–10 voucher, jika satu voucher
disamakan dengan 10 liter. Kemudian, voucher ini hanya dapat
digunakan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) rujukan yang ada di
jalur yang dilewati trayek angkutan umum tersebut.
Di sisi lain, pemerintah sudah ada di jalur
yang benar dengan melarang mobil berpelat merah alias mobil instansi pemerintah
mengonsumsi BBM bersubsidi.
Karena pemerintah adalah pembuat kebijakan pembatasan
BBM bersubsidi, logis jika mobil pemerintah juga yang memelopori penggunaan BBM
nonsubsidi. Lagipula, lebih mudah bagi penjaga pom bensin untuk memeriksa warna
pelat kendaraan.
Kedua, menaikkan harga atau
mencabut subsidi bertahap bagi sepeda motor dan mobil pribadi. Sepeda motor
patut dikenakan pencabutan subsidi secara bertahap karena jumlahnya yang kian
menggila melampaui pertumbuhan mobil. Salah satu metode bagi langkah kedua ini
adalah subsidi progresif.
Maksudnya, kendaraan pribadi tetap mendapatkan
subsidi namun besarannya lebih kecil. Jadi, jika angkutan umum mendapatkan BBM
subsidi serharga Rp 4.500 per liter, harga BBM subsidi untuk kendaraan pribadi
nantinya adalah Rp 5.000 per liter atau Rp 6.000 per liter. Dengan perbedaan
harga ini, pemerintah tentu bisa menghemat dana subsidi puluhan triliun rupiah.
Ketiga, sembari jalan,
pemerintah harus mulai menggalakkan program yang mendorong orang beralih dari
penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG).
Ini karena selain BBG itu sejatinya lebih
murah daripada harga BBM bersubsidi, efeknya bagi lingkungan dan ketahanan
energi kita pun lebih positif ketimbang BBM yang tinggi karbon dan kian
menyusut stoknya.
Keempat, seturut dengan
langkah kedua, pemerintah harus merumuskan program konkret untuk mengalokasikan
penghematan subsidi kepada program-program yang dampaknya langsung dapat
dirasakan masyarakat luas, seperti perbaikan transportasi umum, realisasi
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS).
Misalnya, pemerintah dapat menggunakan dana
penghematan subsidi tersebut untuk menyelenggarakan SJSN kesehatan gratis untuk
semua masyarakat tanpa pandang bulu.
Artinya, jika subsidi yang dihemat mampu
mencapai puluhan triliun rupiah, berapa banyak masalah transportasi dan masalah
sosial riil kemasyarakatan lain yang bisa dipecahkan? Caveat (catatan)
untuk langkah ini adalah komitmen pemerintah untuk meminimalkan kebocoran dan
memenuhi janji-janji tersebut dalam tenggat waktu yang sudah dipastikan (fixed)
supaya tidak terjadi gejolak dan keresahan dalam masyarakat.
Berbekal keempat langkah di atas, semoga
program pembatasan BBM bersubsidi di tahun 2012 bisa terwujud tanpa menimbulkan
banyak gejolak dan hiruk pikuk di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar