Revisi
UU Penyiaran, ke Mana Arahnya?
Bambang Sadono, MANTAN PENGUSUL DAN PANSUS UU 32/2002, KINI DOSEN DI FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG DAN PASCASARJANA KOMUNIKASI, FISIP UNDIP
SUMBER : SINAR HARAPAN, 5
Maret 2012
Melalui Komisi I, yang antara lain membidangi
media massa, DPR telah menyatakan berniat untuk merevisi UU Penyiaran, UU
32/2002. Untuk itu berbagai lembaga, organisasi profesi, dan sebagainya pada 1
dan 8 Maret 2012 diundang untuk memberikan sumbangan pemikiran.
Revisi undang-undang adalah soal biasa,
sampai ditemukan formula yang sesuai atau paling mendekati dengan politik hukum
yang dikehendaki oleh suatu bangsa.
Hal yang agak ganjil dalam proses revisi UU
Penyiaran karena DPR tidak sekaligus menyampaikan konsep atau rancangan revisi
dari UU tersebut sehingga publik lebih mudah meresponsnya. Untuk membuat atau
merevisi UU, orang harus tahu ke mana tujuannya.
Tolok ukurnya adalah politik hukum, yakni
gagasan dasar dan tujuan pengaturan yang ingin diterjemahkan dalam UU
bersangkutan. Konsep tersebut sekaligus untuk mengukur kesenjangan antara das
sollen (nilai-nilai yang ingin dicapai) seperti yang diidealkan dalam politik
hukum, dengan das sein (norma yang diwujudkan) dalam UU Penyiaran saat
ini, yakni UU 32/2002.
Politik hukum biasanya diturunkan dari
konstitusi. Karena itu, ketika UUD 1945 diamendemen, sebagai akibatnya banyak
dilahirkan undang-undang baru atau revisi undang-undang yang sudah ada untuk
menerjemahkannya.
Pasal 28 C UUD 1945 misalnya, menyatakan
warga negara berhak mengembangkan kualitas dirinya melalui ilmu, teknologi,
kesenian, dan budayanya. Ini dirumuskan sebagai politik hukum, bahwa UU
Penyiaran harus mengatur perlindungan pada lokalitas dan heterogenitas
masyarakat seluruh Indonesia sehingga perlu diatur wilayah jangkauan siaran.
Pasal 28 F UUD 1945 menegaskan bahwa semua
orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi,
maupun lingkungan sosialnya. Politik hukum ini yang diterjemahkan dalam UU
Penyiaran dalam pasal-pasal yang menjamin keterbukaan akses bagi semua warga
negara untuk bisa menggunakan sarana penyiaran yang tersedia.
Karena itu, dibuka penggunaan frekuensi baik
untuk kepentingan publik, sarana bisnis, maupun frekuensi untuk komunitas
terbatas. Selain itu, sarana penyiaran harus digunakan untuk pengembangan orang
per orang maupun masyarakat secara bersama-sama.
Pasal 28 I Ayat 5 mengatur bahwa untuk menegakkan
dan melindungi hak asasi manusia, dalam prinsip negara hukum yang demokratis,
maka pelaksanaannya diatur dalam peraturan perundangan. Politik hukum inilah
yang mendasari lahirnya institusi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPI
daerah, yang merupakan institusi baru dalam tradisi penyiaran di Indonesia.
Ada Apa dengan UU 32/2002?
Kalau UU 32/2002 akan direvisi, di mana
kesalahannya dan apa yang akan disempurnakan? Kemungkinan pada saat merumuskan
politik hukum ke dalam pasal undang-undang ada yang tidak maksimal atau bahkan
ada yang dengan sengaja disimpangkan, dipelintir, atau diselewengkan; dengan
kata lain dipolitisasi.
Karena Komisi I DPR tidak membuka secara
transparan rancangan yang sudah disiapkan, maka sebagai orang yang pernah
terlibat dalam pembahasan dan penyusunan UU 32/2002, saya mencatat beberapa hal
yang mungkin ada gunanya dipertimbangkan demi penyempurnaan undang-undang ini.
Pertama, UU 32/2002 ingin
mengoreksi UU Penyiaran sebelumnya, yakni UU 24/1997 yang otoriter karena
antara lain pada Pasal 7 mengatur bahwa “Penyiaran dikuasai oleh negara, yang
pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”.
Maka desain UU 32/2002 tidak meletakkan lagi
pada dominasi pemerintah dalam pengelolaan penyiaran, tetapi dengan membentuk
lembaga baru yang disebut KPI.
Namun dalam negosiasi pembahasan RUU akhirnya
disepakati pengaturan dan pengelolaan penyiaran dilakukan bersama antara KPI
dengan pemerintah. Frekuensi diadministrasikan pemerintah, namun pemanfaatannya
dilaksanakan oleh KPI, dan diputuskan bersama.
Peraturan pelaksana dibuat bersama-sama.
Namun setelah judicial review, Mahkamah Konstitusi mengebiri peran KPI
dalam pembuatan aturan pelaksana. Akan sangat ideal kalau DPR mengembalikan
lagi gagasan awal untuk memberi kewenangan KPI dalam membuat aturan pelaksana
undang-undang, seperti yang terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan
lembaga sejenis yang lain.
Kedua, institusi penyiaran publik
dan komunitas yang merupakan lembaga baru harus terus diperkuat eksistensinya.
Lembaga penyiaran publik seperti RRI dan TVRI yang sampai saat
ini hanya mengandalkan anggaran APBN, harus difasilitasi agar bisa menghimpun
dana masyarakat dan suatu saat lepas dari ketergantungan pada pemerintah.
Pada akhirnya, penyiaran publik harus mandiri
dalam melayani masyarakat, tanpa intervensi terselubung maupun terang-terangan
dari pemerintah melalui instrumen anggaran. Sementara penyiaran komunitas harus
dijamin penyediaan frekuensi yang memadai dengan prosedur aplikasi yang lebih
sederhana.
Ketiga, pengaturan wilayah
jangkauan siaran harus lebih dipertegas agar masyarakat di masing-masing
wilayah mempunyai keleluasaan untuk mengelola penyiaran sesuai dengan kebutuhan
dan keinginannya, terutama dikaitkan dengan pembangunan karakter dan jati diri
masing-masing lingkungan wilayah.
Jangan sampai komunitas masyarakat di suatu
wilayah kesulitan mendapatkan alokasi frekuensi karena telah dikuasai pemodal
lintas wilayah yang lebih besar kemampuannya. Pemerintah terkesan berkompromi
dengan para pengusaha penyiaran nasional untuk menunda-nunda pelaksanaan
pengaturan wilayah jangkauan siaran ini.
Keempat, masalah kepemilikan
yang sangat peka agar lebih didetailkan batas-batasnya. Praktik yang terjadi
penyiaran bisnis, khususnya televisi hanya didominasi oleh kelompok yang sangat
terbatas dan eksklusif.
Bahkan ketika mereka gagal memenuhi amanah
publik untuk mengelola frekuensi yang sangat terbatas itu, tidak pernah ada
proses yang transparan untuk menyerahkan pada pihak lain yang lebih kapabel.
Hal yang terjadi adalah jual-beli dan
patgulipat yang lain, serta frekuensi dialihkan di bawah tangan. Pemerintah
tidak pernah menunjukkan sikap yang memihak publik, tetapi lebih mengamini
kehendak para pengusaha dan penguasa penyiaran tersebut.
Peluang Sejarah DPR
Peluang sejarah saat ini ada di DPR. Apa yang
gagal diperjuangkan Tim Inisiatif dan Pansus Penyiaran tahun 2000-2002 harus
diperbaiki sekarang, jangan sampai justru surut ke belakang. Para pejuang
hak-hak masyarakat, khususnya di bidang media, saatnya untuk bangun kembali.
Posisi KPI harus diperkuat dan dikembalikan
sebagai institusi yang mewakili masyarakat dalam mengatur dan mengawal dunia
penyiaran. Sekarang yang terjadi, KPI diisi orang-orang yang mungkin menguasai
soal penyiaran, tetapi tidak jelas komitmennya dalam mewakili kepentingan
publik.
KPI misalnya tidak jelas posisinya, ketika
lembaga penyiaran dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis atau politik para
pengelolanya, tanpa mengindahkan kepentingan dan perasaan publik.
Kasus pertengkaran bisnis dan hukum yang
melibatkan lembaga penyiaran tertentu dengan mudah memanfaatkan lembaga
penyiaran bersangkutan untuk terlibat dalam kebijakan siarannya.
Tak ketinggalan iklan-iklan penyembuhan
tradisional dan supranatural yang jelas-jelas tidak mencerdaskan masyarakat, terutama
di penyiaran lokal, seolah tidak pernah tersentuh.
Memang bisa saja KPI beralasan kewenangannya
sudah sangat dibatasi, baik oleh undang-undang atau berbagai peraturan yang
dibuat pemerintah. Wibawa KPI sudah jauh merosot, para pelaku bisnis penyiaran
lebih suka berlindung pada pemerintah.
Ini karena dalam praktik, pemerintahlah yang
memegang nyawa (baca: frekuensi) lembaga penyiaran. Ini artinya reformasi
penyiaran yang pernah digagas pada awal pembentukan UU 32/2002 telah gagal.
Selamat bekerja DPR, sejarah penyiaran yang
demokratis, produktif, dan memihak pada kepentingan publik sedang menunggu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar