Senin, 05 Maret 2012

Revisi UU Penyiaran, ke Mana Arahnya?

Revisi UU Penyiaran, ke Mana Arahnya?
Bambang Sadono, MANTAN PENGUSUL DAN PANSUS UU 32/2002, KINI DOSEN DI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG DAN PASCASARJANA KOMUNIKASI, FISIP UNDIP
SUMBER : SINAR HARAPAN, 5 Maret 2012


Melalui Komisi I, yang antara lain membidangi media massa, DPR telah menyatakan berniat untuk merevisi UU Penyiaran, UU 32/2002. Untuk itu berbagai lembaga, organisasi profesi, dan sebagainya pada 1 dan 8 Maret 2012 diundang untuk memberikan sumbangan pemikiran.

Revisi undang-undang adalah soal biasa, sampai ditemukan formula yang sesuai atau paling mendekati dengan politik hukum yang dikehendaki oleh suatu bangsa.
Hal yang agak ganjil dalam proses revisi UU Penyiaran karena DPR tidak sekaligus menyampaikan konsep atau rancangan revisi dari UU tersebut sehingga publik lebih mudah meresponsnya. Untuk membuat atau merevisi UU, orang harus tahu ke mana tujuannya.

Tolok ukurnya adalah politik hukum, yakni gagasan dasar dan tujuan pengaturan yang ingin diterjemahkan dalam UU bersangkutan. Konsep tersebut sekaligus untuk mengukur kesenjangan antara das sollen (nilai-nilai yang ingin dicapai) seperti yang diidealkan dalam politik hukum, dengan das sein (norma yang diwujudkan) dalam UU Penyiaran saat ini, yakni UU 32/2002.

Politik hukum biasanya diturunkan dari konstitusi. Karena itu, ketika UUD 1945 diamendemen, sebagai akibatnya banyak dilahirkan undang-undang baru atau revisi undang-undang yang sudah ada untuk menerjemahkannya.

Pasal 28 C UUD 1945 misalnya, menyatakan warga negara berhak mengembangkan kualitas dirinya melalui ilmu, teknologi, kesenian, dan budayanya. Ini dirumuskan sebagai politik hukum, bahwa UU Penyiaran harus mengatur perlindungan pada lokalitas dan heterogenitas masyarakat seluruh Indonesia sehingga perlu diatur wilayah jangkauan siaran.

Pasal 28 F UUD 1945 menegaskan bahwa semua orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi, maupun lingkungan sosialnya. Politik hukum ini yang diterjemahkan dalam UU Penyiaran dalam pasal-pasal yang menjamin keterbukaan akses bagi semua warga negara untuk bisa menggunakan sarana penyiaran yang tersedia.

Karena itu, dibuka penggunaan frekuensi baik untuk kepentingan publik, sarana bisnis, maupun frekuensi untuk komunitas terbatas. Selain itu, sarana penyiaran harus digunakan untuk pengembangan orang per orang maupun masyarakat secara bersama-sama.

Pasal 28 I Ayat 5 mengatur bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia, dalam prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaannya diatur dalam peraturan perundangan. Politik hukum inilah yang mendasari lahirnya institusi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan KPI daerah, yang merupakan institusi baru dalam tradisi penyiaran di Indonesia.

Ada Apa dengan UU 32/2002?

Kalau UU 32/2002 akan direvisi, di mana kesalahannya dan apa yang akan disempurnakan? Kemungkinan pada saat merumuskan politik hukum ke dalam pasal undang-undang ada yang tidak maksimal atau bahkan ada yang dengan sengaja disimpangkan, dipelintir, atau diselewengkan; dengan kata lain dipolitisasi.

Karena Komisi I DPR tidak membuka secara transparan rancangan yang sudah disiapkan, maka sebagai orang yang pernah terlibat dalam pembahasan dan penyusunan UU 32/2002, saya mencatat beberapa hal yang mungkin ada gunanya dipertimbangkan demi penyempurnaan undang-undang ini.

Pertama, UU 32/2002 ingin mengoreksi UU Penyiaran sebelumnya, yakni UU 24/1997 yang otoriter karena antara lain pada Pasal 7 mengatur bahwa “Penyiaran dikuasai oleh negara, yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah”.

Maka desain UU 32/2002 tidak meletakkan lagi pada dominasi pemerintah dalam pengelolaan penyiaran, tetapi dengan membentuk lembaga baru yang disebut KPI.
Namun dalam negosiasi pembahasan RUU akhirnya disepakati pengaturan dan pengelolaan penyiaran dilakukan bersama antara KPI dengan pemerintah. Frekuensi diadministrasikan pemerintah, namun pemanfaatannya dilaksanakan oleh KPI, dan diputuskan bersama.

Peraturan pelaksana dibuat bersama-sama. Namun setelah judicial review, Mahkamah Konstitusi mengebiri peran KPI dalam pembuatan aturan pelaksana. Akan sangat ideal kalau DPR mengembalikan lagi gagasan awal untuk memberi kewenangan KPI dalam membuat aturan pelaksana undang-undang, seperti yang terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lembaga sejenis yang lain.

Kedua, institusi penyiaran publik dan komunitas yang merupakan lembaga baru harus terus diperkuat eksistensinya. Lembaga penyiaran publik seperti RRI dan TVRI yang sampai saat ini hanya mengandalkan anggaran APBN, harus difasilitasi agar bisa menghimpun dana masyarakat dan suatu saat lepas dari ketergantungan pada pemerintah.

Pada akhirnya, penyiaran publik harus mandiri dalam melayani masyarakat, tanpa intervensi terselubung maupun terang-terangan dari pemerintah melalui instrumen anggaran. Sementara penyiaran komunitas harus dijamin penyediaan frekuensi yang memadai dengan prosedur aplikasi yang lebih sederhana.

Ketiga, pengaturan wilayah jangkauan siaran harus lebih dipertegas agar masyarakat di masing-masing wilayah mempunyai keleluasaan untuk mengelola penyiaran sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya, terutama dikaitkan dengan pembangunan karakter dan jati diri masing-masing lingkungan wilayah.

Jangan sampai komunitas masyarakat di suatu wilayah kesulitan mendapatkan alokasi frekuensi karena telah dikuasai pemodal lintas wilayah yang lebih besar kemampuannya. Pemerintah terkesan berkompromi dengan para pengusaha penyiaran nasional untuk menunda-nunda pelaksanaan pengaturan wilayah jangkauan siaran ini.

Keempat, masalah kepemilikan yang sangat peka agar lebih didetailkan batas-batasnya. Praktik yang terjadi penyiaran bisnis, khususnya televisi hanya didominasi oleh kelompok yang sangat terbatas dan eksklusif.

Bahkan ketika mereka gagal memenuhi amanah publik untuk mengelola frekuensi yang sangat terbatas itu, tidak pernah ada proses yang transparan untuk menyerahkan pada pihak lain yang lebih kapabel.

Hal yang terjadi adalah jual-beli dan patgulipat yang lain, serta frekuensi dialihkan di bawah tangan. Pemerintah tidak pernah menunjukkan sikap yang memihak publik, tetapi lebih mengamini kehendak para pengusaha dan penguasa penyiaran tersebut.

Peluang Sejarah DPR

Peluang sejarah saat ini ada di DPR. Apa yang gagal diperjuangkan Tim Inisiatif dan Pansus Penyiaran tahun 2000-2002 harus diperbaiki sekarang, jangan sampai justru surut ke belakang. Para pejuang hak-hak masyarakat, khususnya di bidang media, saatnya untuk bangun kembali.

Posisi KPI harus diperkuat dan dikembalikan sebagai institusi yang mewakili masyarakat dalam mengatur dan mengawal dunia penyiaran. Sekarang yang terjadi, KPI diisi orang-orang yang mungkin menguasai soal penyiaran, tetapi tidak jelas komitmennya dalam mewakili kepentingan publik.

KPI misalnya tidak jelas posisinya, ketika lembaga penyiaran dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis atau politik para pengelolanya, tanpa mengindahkan kepentingan dan perasaan publik.

Kasus pertengkaran bisnis dan hukum yang melibatkan lembaga penyiaran tertentu dengan mudah memanfaatkan lembaga penyiaran bersangkutan untuk terlibat dalam kebijakan siarannya.

Tak ketinggalan iklan-iklan penyembuhan tradisional dan supranatural yang jelas-jelas tidak mencerdaskan masyarakat, terutama di penyiaran lokal, seolah tidak pernah tersentuh.

Memang bisa saja KPI beralasan kewenangannya sudah sangat dibatasi, baik oleh undang-undang atau berbagai peraturan yang dibuat pemerintah. Wibawa KPI sudah jauh merosot, para pelaku bisnis penyiaran lebih suka berlindung pada pemerintah.

Ini karena dalam praktik, pemerintahlah yang memegang nyawa (baca: frekuensi) lembaga penyiaran. Ini artinya reformasi penyiaran yang pernah digagas pada awal pembentukan UU 32/2002 telah gagal.

Selamat bekerja DPR, sejarah penyiaran yang demokratis, produktif, dan memihak pada kepentingan publik sedang menunggu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar