Islam
“Moderat”
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
SUMBER : JIL, 5 Maret
2012
Istilah “Islam moderat” akhir-akhir ini kerap
kita jumpai dalam banyak tulisan, baik dari kalangan Muslim sendiri atau yang
lain. Apa yang dimaksud dengan “Islam moderat”?
Esei pendek ini akan mencoba
menjawabnya. Dalam bahasa Arab modern, padanan untuk kata moderat atau moderasi
adalah wasat atau wasatiyya. Istilah “mutawassit” kadang-kadang juga dipakai.
Islam moderat, dalam bahasa Arab modern, disebut sebagai al-Islam al-wasat.
Moderasi Islam diungkapkan dengan frasa wasatiyyat al-Islam.
Dalam penggunaan yang umum saat ini, istilah
“Islam moderat” diperlawankan dengan istilah lain, yaitu Islam radikal. Islam
moderat, dalam pengertian yang lazim kita kenal sekarang, adalah corak
pemahaman Islam yang menolak cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh kalangan
lain yang menganut model Islam radikal. Tawfik Hamid, seorang mantan anggota
kelompok Islam radikal dari Mesir, al-Jamaah al-Islamiyyah, mendefinisikan
Islam moderat sebagai, “a form of Islam that rejects… violent and
discriminatory edicts” – Islam yang menolak secara tegas hukum-hukum agama yang
membenarkan kekerasan dan diskriminasi. (Baca artikelnya yang berjudul “Don’t
Gloss Over The Violent Texts” di Wall Street Journal, 1/9/2010).Hakim menyebut
secara spesifik hukum dalam agama (shariah) yang ia anggap sebagai pembenar
tindakan kekerasan, seperti hukuman mati untuk orang yang murtad, misalnya.
Definisi Hakim tentang Islam moderat ini,
bagi sebagian kalangan Islam, mungkin dianggap terlalu “liberal”, sebab
menganjurkan oto-kritik terhadap hukum-hukum dalam Islam yang ia anggap sudah
tak lagi relevan saat ini. Sebagai mantan anggota Jamaah Islamiyyah, Mesir,
yang sudah “bertobat”, Tawfik Hamid paham benar bahwa dalam Islam memang ada
beberapa hukum yang bisa “disalah-gunakan” untuk membenarkan tindakan terorisme
atau kekerasan secara umum. Contoh yang mudah adalah hukum tentang jihad dengan
segala pernik-perniknya. Bagi Hakim, Islam moderat sebagai antitesis Islam
radikal adalah model Islam yang menolak kekerasan semacam itu.
Definisi lain diajukan oleh Dr. Moqtedar Khan
yang mengelola blog Ijtihad (www.ijtihad.org).
Seperti Hakim, Dr. Khan memperlawankan istilah Islam moderat terhadap Islam
radikal. Perbedaan antara keduanya, menurut dia, adalah bahwa yang pertama
lebih menekankan pentingnya prinsip ijtihad dalam pengertian yang lebih luas,
yaitu kebebasan berpendapat (dengan tetap bersandar pada sumber utama dalam
Islam, yaitu Quran dan Sunnah), sementara yang kedua lebih menekankan konsep
jihad (perang suci).
Yang menarik adalah usaha banyak kalangan
Islam modern untuk mengaitkan konsep “Islam moderat” ini dengan konsep “wasat”
yang ada dalam Quran. Dalam Quran, terdapat sebuah ayat yang banyak dikutip
oleh intelektual Muslim modern untuk menunjukkan watak dasar Islam sebagai
agama yang “tengah-tengah” atau moderat, yaitu al-Baqarah:143. Saya akan
terjemahkan secara lengkap ayat itu sebagai berikut:
“Dan
demikianlah Aku (Tuhan) jadikan kalian umat yang “wasat” (adil, tengah-tengah,
terbaik) agar kalian menjadi saksi (syuhada’) bagi semua manusia, dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi (syahid) juga atas kalian.”
Kata “wasat” dalam ayat di atas, jika merujuk
kepada tafsir klasik seperti al-Tabari atau al-Razi, mempunyai tiga kemungkinan
pengertian, yakni: umat yang adil, tengah-tengah, atau terbaik. Ketiga
pengertian itu, pada dasarnya, saling berkaitan. Yang menarik, konsep wasat
dalam ayat itu dikaitkan dengan konsep lain, yaitu “syahadah”, atau konsep
kesaksian. Jika kita ikuti makna harafiah ayat itu, pengertian yang kita
peroleh dari sana adalah bahwa umat Islam dijadikan oleh Tuhan sebagai umat
yang “wasat” (adil, tengah-tengah, terbaik), karena mereka mendapatkan tugas
“sejarah” yang penting, yaitu menjadi saksi (syuhada’) bagi umat-umat yang lain.
Apa yang dimaksud dengan tugas “kesaksian”
dalam ayat itu? Saksi atas apakah? Tak ada keterangan yang detil mengenai hal
ini dalam ayat tersebut. Tetapi, jika kita rujuk beberapa tafsir klasik, apa
yang dimaksud dengan kesaksian di sini adalah tugas yang dipikul umat Islam
untuk meluruskan sikap-sikap ekstrem yang ada pada dua kelompok agama pada
zaman ketika Quran diturunkan kepada Nabi, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani.
Tafsir al-Tabari, misalnya, menyebut bahwa
umat Islam dipuji oleh Tuhan sebagai umat yang tengah-tengah karena mereka
tidak terjerembab dalam dua titik ekstrim. Yang pertama adalah ekstrimitas umat
Kristen yang mengenal tradisi “rahbaniyyah” atau kehidupan kependetaan yang
menolak secara ekstrim dimensi jasad dalam kehidupan manusia (seperti dalam
praktek selibat). Yang kedua adalah ekstrimitas umat Yahudi yang, dalam
keyakinan umat Islam, melakukan distorsi atas Kitab Suci mereka serta melakukan
pembunuhan atas sejumlah nabi.
Muhammad Abduh, melalui muridnya Rashid Rida,
mengemukakan pendapat yang sedikit berbeda. Dalam tafsirnya yang masyhur
al-Manar, Abduh mengemukakan bahwa apa yang dimaksud dengan wasat ialah sikap
tengah-tengah antara dua titik ekstrim. Yang pertama, materialisme yang ekstrim
yang dianut oleh kalangan “al-jusmaniyyun”, yakni mereka yang hanya
memperhatikan aspek wadag atau badan saja, mengabaikan dimensi rohaniah dan
spiritual dalam kehidupan manusia. Yang kedua, spiritualisme yang ekstrim yang
hanya memperhatikan dimensi rohaniah belaka, tanpa memberikan perlakuan yang
adil terhadap dimensi jasmaniah. Kelompok yang menganut pandangan ini, oleh
Abduh, disebut sebagai “al-ruhaniyyun”.
Umat Islam, dalam tafsiran Abduh, adalah umat
yang “wasat”, moderat, karena mengambil sikap tengah antara materialisme dan
spiritualisme. Dengan kata lain, istilah “wasat” dalam ayat di atas, baik dalam
pemahaman penafsir klasik seperti al-Tabari (w. 923) dan al-Razi (w. 1209),
atau penafsir modern seperti Muhammad Abduh (w. 1905), dipahami dalam kerangka
konsep keunggulan umat Islam atas umat-umat yang lain, terutama Yahudi dan
Kristen. Rahasia keunggulan itu terdapat dalam sikap umat Islam yang mengambil
jalan tengah antara dua titik ekstrem yang mencirikan baik kalangan Kristen
atau Yahudi. Istilah “wasat”, dengan demikian, berkaitan dengan konsep
superioritas Islam atas agama-agama lain.
Sebagaimana kita lihat, pengertian kata
“wasat” mempunyai pergeseran jauh saat ini. Sekarang, istilah itu bukan lagi
dimaknai dalam kerangka superioritas Islam atas agama-agama lain, tetapi justru
dipahami sebagai kritik internal dalam diri umat Islam sendiri. Istilah itu,
sekarang, diperlawankan terhadap corak Islam lain yang ekstrem dan radikal,
yakni corak keagamaan yang membenarkan penggunaan kekerasan dalam dakwah.
Perkembangan ini menarik kita cermati karena
ciri ekstrimitas yang semula melekat pada golongan lain di luar Islam seperti
dimengerti dalam tafsiran klasik di atas, ternyata bisa dijumpai dalam kalangan
Islam sendiri. Hal ini juga memperlihatkan bahwa sebuah konsep dalam Quran,
seperti kata “wasat” itu, dipahami secara dinamis dari waktu ke waktu.
Perubahan konteks sejarah dan tantangan dalam tubuh umat Islam sendiri membuat
pemahaman penafsir Quran tentang sejumlah konsep dalam kitab suci itu berubah
secara lentur. ●
Assalamu alaikum
BalasHapusBagus sekali artikel ente, ane sebenarnya juga penganut Islam Moderat, yang lebih terbuka dengan zaman kini(bukan melenceng dari ajaran).
Wassalamu alaikum