Minggu, 18 Maret 2012

Seni Sepak Bola Sepuluh-Nol


Seni Sepak Bola Sepuluh-Nol
Agus Dermawan T, KRITIKUS, ESAIS KEBUDAYAAN, PENULIS BUKU-BUKU SENI
SUMBER : KORAN TEMPO, 17 Maret 2012



“Namun realitas betapa sepak bola belum menjadi tema utama dalam seni rupa bukan baru muncul akhir-akhir ini saja. Sejak puluhan tahun lalu sepak bola terbukti tersisih dalam sejarah seni rupa kita yang lumayan panjang.”

Ketika tim nasional sepak bola Indonesia bertarung hebat di Piala Suzuki AFF 2010 dan pesta olah raga SEA Games 2011, banyak perupa Indonesia berkehendak mengangkat sepak bola Indonesia ke wilayah ekspresi seni rupa. Para perupa itu berpikir, paling tidak seni rupa akan mendampingi film Indonesia yang telah melahirkan karya sinema sepak bola Garuda di Dadaku dan Tendangan dari Langit, atau novel sepak bola 11 Patriot karya Andrea Hirata.

Namun, belum sampai kebanggaan itu mengkristal dan melayang indah sebagai ilham, sepak bola Indonesia terpuruk lagi. Kekalahan sangat memalukan sekaligus mencurigakan 10-0 dari Bahrain dalam penyisihan Grup E Pra-Piala Dunia Zona Asia mengembalikan sepak bola Indonesia ke keranjang sampah ingatan perupa.

Djoko Pekik, yang dikenal sebagai “pelukis satu miliar“, mendefinisikan kekalahan seperti itu sebagai penggerusan simpati kesenian atas kejadian. Sebuah penggerusan simpati akan berakhir dengan penghapusan ingatan. Namun, apabila kekalahan yang lahir dari kesengajaan seperti itu terus-menerus datang, penghapusan ingatan pada akhirnya menjelma jadi ilham kebencian. Djoko Pekik telah menunjukkan contoh wujud dari ilham kebencian itu lewat serial lukisan berjudul Memburu Celeng, yang berkisah mengenai kerendahan kemanusiaan politik era Soeharto.

Dari perkara ini kita boleh mengingat lagi Marshall McLuhan yang mengatakan bahwa seniman adalah antena sosial. Perupa (pelukis, pematung, pengukir, pegrafis, fotografer, sampai seniman multimedia) merupakan bagian penting dari mata radar antena itu. Dengan begitu, apa yang terolah dalam karya seniman adalah sublimasi dari fenomena sosial yang dominan berkelindan di masyarakatnya, seperti sepak bola. Karena itu, sungguh ganjil bila ternyata olahraga yang paling populer dan paling heboh di Indonesia ini tidak masuk dalam benak penciptaan seni rupa Indonesia. Tidak seperti prestasi tinju Amerika yang berkalikali jadi subject matter lukisan George Wesley Bellow. Atau reputasi baseball yang acap dieksplorasi Norman Rockwell.

Lukisan Hidup

Namun realitas betapa sepak bola belum menjadi tema utama dalam seni rupa bukan baru muncul akhir-akhir ini saja. Sejak puluhan tahun lalu sepak bola terbukti tersisih dalam sejarah seni rupa kita yang lumayan panjang.

Sudjojono (1913-1986) adalah pelukis yang tak pernah capek bicara sepak bola. Selama hidupnya ia selalu mengingat nama Pele, Kwee Kiat Sek, Ramang, sampai sang pelatih Endang Witarsa. Ia juga suka membicarakan nama Silvio Gazzaniga, seniman ukir Italia yang pada 1970 merancang bentuk trofi Piala Dunia.“Sepak bola itu lukisan hidup. Gerak setiap pemainnya seperti garis-garis yang terus-menerus dicoretkan di atas kertas atau kanvas. Sepak bola itu seni,“katanya.

Pendiri Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia (Persegi) pada 1938 itu memang biang sepak bola sejak muda. Ketika pada 1933 ditugaskan sebagai guru Taman Siswa di Rogojampi, Jawa Timur, ia mendirikan perkumpulan sepak bola, Laar. Perkumpulan ini kemudian diabadikan oleh penggemar sepak bola di kota kecamatan itu dalam nama REEO, singkatan dari Roekoen Enggal Enggal Oetomo, yang artinya “perasaan rukun akan menghadirkan keutamaan hidup“. Sampai 1970-an perkumpulan sepak bola ini masih ada. Namun sedekat-dekatnya seniman nasionalis ini kepada sepak bola, ia tak pernah sekali pun melukis tentang dunia sepak bola Indonesia.“Sepak bola Indonesia tidak pernah mengukir langit dunia, jadi tidak me rangsang kuas dan kanvas saya....“

Pelukis Rusli (1913-2005) adalah penggila bola tiada duanya. Ia tahu betul watak pelatih Jose Mourinho. Ia selalu bergairah bila menjelaskan kebenaran gol “tangan Tuhan“ Diego Maradona.“Sepak bola sanggup menyapu ilham apa pun,“ujarnya. Namun, tahukah Anda, dalam riwayat berkaryanya selama 65 tahun, tak ada satu pun lukisannya yang menyentuh adegan sepak bola Indonesia? Selebihnya, ia bertutur bahwa dirinya tidak tergetar melukis keunggulan pesepak bola negara lain.

Bercak Kotoran

Sejak awal abad ke-20 sampai kehebohan Piala Suzuki AFF 2010 dan SEA Games 2011, sepak bola belum jadi tema yang menarik bagi pelaku seni rupa. Yuswantoro Adi, pelukis pemenang kompetisi Philip Morris Asia Tenggara, mengatakan bahwa sepak bola Indonesia, dengan pengurus yang korup dan berantem terus, sudah habis-habisan menguras emosi, sehingga tak ada sisa lagi untuk diluapkan, meskipun sekali waktu ia juga mengambil unsur dunia sepak bola untuk menggenapkan metafora lukisannya yang bertema parodi kehi dupan.“Lukisan permainan sepak bola bisa lahir kalau kesebelasan kita menang,“ katanya. Sayangnya, kita lebih sering kalah.

Sekali-sekali ada juga seniman yang iseng menggiring bola dalam ciptaannya.
Di antaranya adalah Dipo Andy dan Galam Zukifli, dua perupa muda yang berprestasi. Namun mereka lebih berminat melukis sosok legendaris ganteng dan kaya seperti David Beckham dan Cristiano Ronaldo ketimbang peluh pesepak bola Indonesia. Mereka jauh dari minat melukis sosok kiper Si Polan, yang gawangnya dijebol 10 bola oleh Bahrain. Perupa Tisna Sanjaya mencipta seni grafis dengan cara menendangkan bola berlumur cat ke selembar kain. Karya ini boleh ditafsirkan sebagai simbolisme dari dunia sepak bola Indonesia, yang jauh lebih banyak menghadiahkan bercak-bercak kotoran ketimbang trofi emas kemenangan.

Pelukis realis potensial Afriani pernah satu kali menggambarkan bola dipermainkan di lapangan dalam judul Menggiring Bola (2009). Lukisan ini menggambarkan anak-anak kampung bermain bola di sepetak lapangan berdebu. Sebuah sindiran untuk PSSI yang kurang memfasilitasi pemain muda usia. Karya di atas mendampingi lukisan Nyoman Masriadi, Jago Kandang (2007). Lukisan ini menceritakan dua pemain sedang berebut bola di rumput hijau. Salah satu pemain berseragam merah-putih (seragam PSSI) dan bernomor kaus 13, angka sial yang bikin timnas kalah melulu. Ironisnya, lukisan tentang kesialan sepak bola Indonesia ini malah memenangi rekor penjualan. Dalam acara lelang Sotheby's di Hong Kong, lukisan Jago Kandang terbayar US$ 370.668 (sekitar Rp 3,5 miliar). Hampir empat kali lipat hadiah juara Piala Suzuki AFF 2010, yang cuma US$ 100 ribu.

Gairah besar memanifestasikan sepak bola dalam seni rupa pernah muncul kala promotor dan kurator menyetel seniman untuk menyambut perhelatan akbar Piala Dunia. Namun, seperti tampak dalam pameran “Soccer Fever“ pada Juni 2010 di Galeri Canna, Jakarta, tak satu pun karya puluhan perupa itu menyentuh timnas, apalagi menjunjung PSSI.

Tapi, eeiit!, ternyata ada juga seniman yang menyampaikan kebanggaannya akan kesebelasan Indonesia. Ketut Sadia, pelukis mazhab Batuan, Bali, menampilkan karya berjudul Indonesia Tiga, Brazil Dua, dalam pameran lukisan tradisional “Bali Maha Sani“ di Jakarta, Februari lalu. Dalam lukisan yang riuh-rendah itu timnas Indonesia mampu menang tipis 3-2 melawan Brasil! Aha, ini harapan, apa nyindir...?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar