BBM
dan Bushido
Sarlito
Wirawan Sarwono, GURU BESAR
FAKULTAS PSIKOLOGI UI,
DEKAN FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA
SUMBER : SINDO, 18 Maret 2012
Waktu
masih duduk di SD dan SMP di kota kecil Tegal di Jawa Tengah, saya sudah
mengenal barang-barang impor dari Jepang seperti kamera dan jam tangan yang
modelnya persis buatan Jerman.
Saya
lupa merek Jermannya karena sudah lama sekali (mungkin Rollei, Canon, atau
Leica), tetapi yang buatan Jepang tidak mencantumkan merek itu. Jadi kalau ada
kamera atau arloji model Jerman, tanpa merek Jerman, pasti kamera atau arloji Jepang
dan laris seperti gado-gado lontong karena harganya murah walaupun kualitasnya
sekali-pakai-buang (padahal zaman sekarang malah semua serba-sekali-pakai buang,
bukan hanya kamera, tetapi juga bolpoin sampai tisu, malah lawan main seks
juga).
Di sisi lain,yang saya dengar waktu itu, barang-barang Jepang KW (kualitas) 3 atau 4 itu di Jepang sendiri dijual mahal. Kalau tidak salah kebijakan ekonomi Jepang waktu itu disebut politik dumping. Maksudnya, banting harga murahmurah untuk merebut pasar di luar walaupun rakyat sendiri harus menderita dengan membayar mahal. Padahal waktu itu Jepang baru kalah perang dunia II. Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak kena bom atom dan lebih dari 2 juta orang tewas terbakar hidup-hidup (mana yang lebih sengsara: mati tenggelam karena tsunami atau terbakar radiasi, ya).
Bukan itu saja. Jepang yang sudah hancur lebur harus membayar pampasan (ganti rugi) perang kepada negara- negara yang pernah dijajahnya, termasuk Indonesia. Karena itu pada 1960-an banyak teman seusia saya yang dikirim untuk belajar ke Jepang. Pulangnya mereka bukan hanya menyandang gelar Insinyur, tetapi juga menyandang dan I atau II karate atau yudo. Jadi rakyat Jepang sudah amat sangat menderita saat itu (+ 10 tahun pascabom atom), sementara Indonesia yang mengambil manfaatnya: mendapat kemerdekaan dan pampasan.
Tapi pada 1974,29 tahun setelah bom atom, di Indonesia terjadi Malari (Gerakan Mahasiswa Lima Belas Januari) yang membuat Laksamana Sudomo, Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) waktu itu, naik pitam. Misi demo waktu itu adalah mengusir dominasi Jepang dari perekonomian Indonesia. Mobil-mobil Jepang dibakar oleh massa, termasuk mobil saya yang hampir jadi korban kalau tidak buruburu diumpetin di garasi.
Jadi, Jepang yang kalah perang, rakyatnya sudah sangat menderita, kok bisa survive hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun, bahkan sampai hari ini ketika hampir semua negara Eropa dan Amerika sudah mengalami krismon (krisis moneter), Jepang masih jaya. Inflasinya hampir 0% dan hari ini jalan-jalan di Indonesia dipenuhi oleh 80–90% motor dan mobil buatan Jepang. Mengapa? Apa sebabnya bisa begitu? Dan apa kabar Malari? Karena penasaran, saya tanya-tanya kawan-kawan yang tahu tentang budaya Jepang. Termasuk teman-teman yang beristri wanita Jepang.
Kata mereka, ada satu semangat atau filsafat orang Jepang yang tidak ada pada bangsa-bangsa lain di dunia,yaitu bushido. Bushidoadalah falsafah para samurai atau pejuang-pejuang Jepang yang selalu menyandang pedang panjang (samurai juga namanya),hemat (serbasederhana, seadanya, daur ulang, dsb), setia pada atasan, menguasai ilmu bela diri,dan jaga kehormatan sampai mati. Artinya, buat orang Jepang tidak apa-apa mati untuk kehormatan dirinya dan bangsanya. Jadi pantaslah kalau di masa politik dumping tidak ada demo-demo di Jepang.
Jangankan disuruh ketatkan ikat pinggang, para penerbang Kamikaze pun dengan semangat menerjunkan pesawat-pesawat mereka ke cerobong asap kapal perang Amerika. Amerika kalang kabut sehingga akhirnya memutuskan untuk mengebom saja Jepang. Setelah menyerah, Jepang tetap setia kepada janjinya, termasuk membayar pampasan perang, walaupun rakyatnya harus sangat menderita. Kawan-kawan saya yang beruntung bisa “mengebom” hati wanita Jepang juga bercerita, sekali wanita itu sudah menyerah, maka sampai mati dia akan setia tanpa perlu bercerai dan kawin ulang.
Sekarang mari kita tengok kondisi Indonesia menjelang kenaikan harga BBM tanggal 1 April 2012. Sebetulnya bukan sekali ini saja harga BBM In-donesia naik.Alasannya selalu karena harga BBM dunia naik. Apalagi di zamannya Perang Teluk. Tapi di zaman Suharto pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pukul 21.00 dan melaksanakannya pukul 00.00.Masyarakat panik sebentar, langsung menyerbu pompapompa bensin untuk antre beberapa jam untuk sekadar mendapat beberapa liter bensin (kalau dihitung beberapa ribu rupiah keuntungan membeli bensin sebelum harga naik, saya kira tidak sepadan dengan capainya antre, tetapi dilakukan juga).
Keesokan harinya ada demo-demo kecil (demo besar dilarang),tetapi sesudah itu ya, sudah. Setiap anggota masyarakat mencari caranya masing-masing untuk menyesuaikan diri dan life goes as usual. Tapi sekarang sosialisasi pemerintah terlalu lama. Berbulan- bulan. Diskusi-diskusi tidak hanya di ruang tertutup antara pemerintah dan DPR, tetapi juga di ruang-ruang publik, termasuk TV.Yang diwawancara bukan hanya pakar, tetapi ibu rumah tangga, sopir bajaj, dan nelayan.Tentu saja semua tidak setuju.Termasuk Megawati dan saya juga tidak setuju.
Tapi terus alternatifnya apa? Harga BBM dunia naik adalah kenyataan yang tidak berbohong dan tidak bisa dibohongi. Jadi kita semua harus bersamasama mencari jalan keluar. Saya baru pulang dari Mesir dan negara itu hampir bangkrut karena semua disubsidi pemerintah. Mulai dari roti sampai beasiswa mahasiswa Indonesia yang belajar di sana.Bahkan air minum di sana gratis.
Pemerintah mau mengurangi subsidi, pasti masyarakat demo. Selama masyarakat masih demo melulu, IMF tidak mau kasih pinjam duit dan kalau tidak digelontor duit, pemerintah tidak bisa membayar pegawai-pegawainya (termasuk polisi dan tentara), apalagi membangun infrastruktur. Rakyat juga yang makin sengsara. Sebaliknya di Indonesia, khususnya di Jakarta, apa sih sebenarnya yang benar-benar menyengsarakan rakyat? Pegawai saya, yang gajinya hanya sekitar Rp2 juta (tetapi masih bujangan), sudah kredit motor.
Dulu ibu saya di Tegal mau menelepon eyang putri saya di Jakarta harus memutar sentral telepon, minta sambung interlokal, dan menunggu kadang-kadang sampai dua hari baru mendapat sambungan (sialnya, kalau pas nyambung, ibu tidak di rumah). Sekarang dengan HP seharga Rp200.000 dan pulsa Rp 5.000,pembantu rumah saya bisa ber-SMS ke pacarnya di Pacitan dan dijawab dalam waktu kurang dari satu menit. Tiket pesawat terbang terkadang lebih murah ketimbang naik kereta api atau jalan darat sehingga makin banyak orang bisa naik pesawat (termasuk aki-aki yang duduk di sebelah saya, batuk-batuk sebentar, dan meludah di karpet pesawat).
Memang, masih banyak orang miskin di Indonesia. Tapi kemiskinan tidak bisa diatasi dengan demo.Apalagi menyuruh SBY dan Boediono turun. Kalau sudah turun, terus apa? Tentu banyak yang mau jadi presiden, tetapi persoalan ini tidak bisa diatasi oleh seorang presiden saja.Jawabannya adalah rakyat yang rela berkorban, mau hidup hemat, menguasai ilmu dan bersemangat kerja, setia pada pimpinan, dan membela kehormatan diri, bangsa, dan negara. Dengan perkataan lain, kita harus bersemangat bushido dan mengajarkan bushido ke anak-keturunan kita.
Restorasi Meiji di Jepang berlangsung selama 200 tahun sehingga Jepang bisa menjadi negara besar dan kuat seperti sekarang.Jadi jangan berharap semangat bushido akan menyelesaikan masalah Indonesia jika waktunya hanya lima tahun masa jabatan presiden. ●
Di sisi lain,yang saya dengar waktu itu, barang-barang Jepang KW (kualitas) 3 atau 4 itu di Jepang sendiri dijual mahal. Kalau tidak salah kebijakan ekonomi Jepang waktu itu disebut politik dumping. Maksudnya, banting harga murahmurah untuk merebut pasar di luar walaupun rakyat sendiri harus menderita dengan membayar mahal. Padahal waktu itu Jepang baru kalah perang dunia II. Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak kena bom atom dan lebih dari 2 juta orang tewas terbakar hidup-hidup (mana yang lebih sengsara: mati tenggelam karena tsunami atau terbakar radiasi, ya).
Bukan itu saja. Jepang yang sudah hancur lebur harus membayar pampasan (ganti rugi) perang kepada negara- negara yang pernah dijajahnya, termasuk Indonesia. Karena itu pada 1960-an banyak teman seusia saya yang dikirim untuk belajar ke Jepang. Pulangnya mereka bukan hanya menyandang gelar Insinyur, tetapi juga menyandang dan I atau II karate atau yudo. Jadi rakyat Jepang sudah amat sangat menderita saat itu (+ 10 tahun pascabom atom), sementara Indonesia yang mengambil manfaatnya: mendapat kemerdekaan dan pampasan.
Tapi pada 1974,29 tahun setelah bom atom, di Indonesia terjadi Malari (Gerakan Mahasiswa Lima Belas Januari) yang membuat Laksamana Sudomo, Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) waktu itu, naik pitam. Misi demo waktu itu adalah mengusir dominasi Jepang dari perekonomian Indonesia. Mobil-mobil Jepang dibakar oleh massa, termasuk mobil saya yang hampir jadi korban kalau tidak buruburu diumpetin di garasi.
Jadi, Jepang yang kalah perang, rakyatnya sudah sangat menderita, kok bisa survive hanya dalam waktu kurang dari 30 tahun, bahkan sampai hari ini ketika hampir semua negara Eropa dan Amerika sudah mengalami krismon (krisis moneter), Jepang masih jaya. Inflasinya hampir 0% dan hari ini jalan-jalan di Indonesia dipenuhi oleh 80–90% motor dan mobil buatan Jepang. Mengapa? Apa sebabnya bisa begitu? Dan apa kabar Malari? Karena penasaran, saya tanya-tanya kawan-kawan yang tahu tentang budaya Jepang. Termasuk teman-teman yang beristri wanita Jepang.
Kata mereka, ada satu semangat atau filsafat orang Jepang yang tidak ada pada bangsa-bangsa lain di dunia,yaitu bushido. Bushidoadalah falsafah para samurai atau pejuang-pejuang Jepang yang selalu menyandang pedang panjang (samurai juga namanya),hemat (serbasederhana, seadanya, daur ulang, dsb), setia pada atasan, menguasai ilmu bela diri,dan jaga kehormatan sampai mati. Artinya, buat orang Jepang tidak apa-apa mati untuk kehormatan dirinya dan bangsanya. Jadi pantaslah kalau di masa politik dumping tidak ada demo-demo di Jepang.
Jangankan disuruh ketatkan ikat pinggang, para penerbang Kamikaze pun dengan semangat menerjunkan pesawat-pesawat mereka ke cerobong asap kapal perang Amerika. Amerika kalang kabut sehingga akhirnya memutuskan untuk mengebom saja Jepang. Setelah menyerah, Jepang tetap setia kepada janjinya, termasuk membayar pampasan perang, walaupun rakyatnya harus sangat menderita. Kawan-kawan saya yang beruntung bisa “mengebom” hati wanita Jepang juga bercerita, sekali wanita itu sudah menyerah, maka sampai mati dia akan setia tanpa perlu bercerai dan kawin ulang.
Sekarang mari kita tengok kondisi Indonesia menjelang kenaikan harga BBM tanggal 1 April 2012. Sebetulnya bukan sekali ini saja harga BBM In-donesia naik.Alasannya selalu karena harga BBM dunia naik. Apalagi di zamannya Perang Teluk. Tapi di zaman Suharto pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM pukul 21.00 dan melaksanakannya pukul 00.00.Masyarakat panik sebentar, langsung menyerbu pompapompa bensin untuk antre beberapa jam untuk sekadar mendapat beberapa liter bensin (kalau dihitung beberapa ribu rupiah keuntungan membeli bensin sebelum harga naik, saya kira tidak sepadan dengan capainya antre, tetapi dilakukan juga).
Keesokan harinya ada demo-demo kecil (demo besar dilarang),tetapi sesudah itu ya, sudah. Setiap anggota masyarakat mencari caranya masing-masing untuk menyesuaikan diri dan life goes as usual. Tapi sekarang sosialisasi pemerintah terlalu lama. Berbulan- bulan. Diskusi-diskusi tidak hanya di ruang tertutup antara pemerintah dan DPR, tetapi juga di ruang-ruang publik, termasuk TV.Yang diwawancara bukan hanya pakar, tetapi ibu rumah tangga, sopir bajaj, dan nelayan.Tentu saja semua tidak setuju.Termasuk Megawati dan saya juga tidak setuju.
Tapi terus alternatifnya apa? Harga BBM dunia naik adalah kenyataan yang tidak berbohong dan tidak bisa dibohongi. Jadi kita semua harus bersamasama mencari jalan keluar. Saya baru pulang dari Mesir dan negara itu hampir bangkrut karena semua disubsidi pemerintah. Mulai dari roti sampai beasiswa mahasiswa Indonesia yang belajar di sana.Bahkan air minum di sana gratis.
Pemerintah mau mengurangi subsidi, pasti masyarakat demo. Selama masyarakat masih demo melulu, IMF tidak mau kasih pinjam duit dan kalau tidak digelontor duit, pemerintah tidak bisa membayar pegawai-pegawainya (termasuk polisi dan tentara), apalagi membangun infrastruktur. Rakyat juga yang makin sengsara. Sebaliknya di Indonesia, khususnya di Jakarta, apa sih sebenarnya yang benar-benar menyengsarakan rakyat? Pegawai saya, yang gajinya hanya sekitar Rp2 juta (tetapi masih bujangan), sudah kredit motor.
Dulu ibu saya di Tegal mau menelepon eyang putri saya di Jakarta harus memutar sentral telepon, minta sambung interlokal, dan menunggu kadang-kadang sampai dua hari baru mendapat sambungan (sialnya, kalau pas nyambung, ibu tidak di rumah). Sekarang dengan HP seharga Rp200.000 dan pulsa Rp 5.000,pembantu rumah saya bisa ber-SMS ke pacarnya di Pacitan dan dijawab dalam waktu kurang dari satu menit. Tiket pesawat terbang terkadang lebih murah ketimbang naik kereta api atau jalan darat sehingga makin banyak orang bisa naik pesawat (termasuk aki-aki yang duduk di sebelah saya, batuk-batuk sebentar, dan meludah di karpet pesawat).
Memang, masih banyak orang miskin di Indonesia. Tapi kemiskinan tidak bisa diatasi dengan demo.Apalagi menyuruh SBY dan Boediono turun. Kalau sudah turun, terus apa? Tentu banyak yang mau jadi presiden, tetapi persoalan ini tidak bisa diatasi oleh seorang presiden saja.Jawabannya adalah rakyat yang rela berkorban, mau hidup hemat, menguasai ilmu dan bersemangat kerja, setia pada pimpinan, dan membela kehormatan diri, bangsa, dan negara. Dengan perkataan lain, kita harus bersemangat bushido dan mengajarkan bushido ke anak-keturunan kita.
Restorasi Meiji di Jepang berlangsung selama 200 tahun sehingga Jepang bisa menjadi negara besar dan kuat seperti sekarang.Jadi jangan berharap semangat bushido akan menyelesaikan masalah Indonesia jika waktunya hanya lima tahun masa jabatan presiden. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar