Minggu, 18 Maret 2012

Memacu Good Governance melalui Jurnalisme Televisi


Memacu Good Governance
melalui Jurnalisme Televisi
Budiyati Abiyoga, PRODUSER FILM, KETUA LEMBAGA PUSAT PENDIDIKAN FILM
DAN TELEVISI (P2FTV)
SUMBER : KORAN TEMPO, 17 Maret 2012



Menonton salah satu stasiun televisi yang menayangkan debat tiga pasangan calon yang mengikuti pilkada Kabupaten Bekasi pada 7 Maret 2012, terlihat semua calon memberi penekanan pada program perluasan lapangan kerja, pendidikan, prasarana, dan penanggulangan kemiskinan. Salah seorang dari dua panelis kemudian menanyakan program apa yang akan mereka laksanakan untuk menegakkan good governance. Dari jawaban semua pasangan, terkesan bahwa mereka kurang menguasai aspek itu. Karena waktu terbatas, yang dipakai pula untuk basa-basi, program ekonomi yang disampaikan juga masih kurang dalam penajaman.

Ada pertanyaan yang diajukan oleh pembawa acara TV selaku moderator, ada yang oleh panelis, dan ada yang diajukan di antara pasangan calon. Sewaktu salah seorang calon wakil bupati yang berprofesi sebagai dosen melempar pertanyaan soal MDG's, ternyata lawannya tidak paham apa itu MDG's, yang menjadi salah satu tugas kepala daerah untuk pencapaian tujuannya.

Padahal inti berbagai program yang diutarakan semua calon sebenarnya adalah penanggulangan kemiskinan, yang menjadi sasaran utama Millennium Development Goals (MDG's), dan mempunyai keterkaitan pula dengan good governance. MDG's 2015, sebagai deklarasi bersama negara-negara berkembang termasuk Indonesia di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 2002, menetapkan Goal 1 dari 8 Goals adalah memberantas kemiskinan dan kelaparan, yang sangat erat kaitannya dengan pendidikan, perluasan lapangan kerja, pelayanan kesehatan, sanitasi, dan lain sebagainya. Sedangkan penyampaian program secara terbuka dalam program debat antarcalon itu sendiri sudah bisa masuk kategori iktikad membangun good governance, paling tidak dari aspek transparansi dan profesionalisme.

Dari tayangan tersebut, ada indikasi kuat mengenai pentingnya perluasan pemahaman dan wawasan tentang good governance, melalui media massa ataupun lebih tajam lagi melalui program-program pemberdayaan institusi door to door. Sebetulnya sudah cukup banyak program TV yang terkait dengan hal ini, walaupun tidak keseluruhan aspek good governance tercakup dalam satu program yang sama. Tetapi tampaknya pengertian mengenai kaitannya dengan penegakan good governance masih kurang.

Sekadar menyebut beberapa program TV yang mengandung pembelajaran cukup kental soal ini adalah Indonesia Lawyers Club dan Managing The Nation, di samping sejumlah acara talk show yang menyikapi dengan kritis berbagai isu panas yang berkembang di tengah masyarakat.

Dalam memberikan materi pendidikan jurnalisme untuk in-house training stasiun televisi, saya mengaitkan nya dengan pentingnya misi untuk memacu terselenggaranya kepemerintahan yang baik. Bukannya sok idealis, tapi karena hanya dengan good governance akan tercipta iklim kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat, termasuk di dalamnya adalah iklim usaha formal maupun informal yang akan membuka kesejahteraan secara merata, dan dalam skala kecil termasuk pula kelangsungan hidup industri pertelevisian.

Untuk menuju arah itu, media televisi, seperti halnya media massa lainnya, dapat menjadi sarana kontrol sosial yang ampuh. Upaya memacu kepemerintahan yang baik melalui jurnalisme televisi bukan sekadar asal mengkritik dengan gegap-gempita untuk menarik konsumen. Kritik yang cenderung menjadi hujatan akan mengurangi obyektivitas berita. Demikian pula sebaliknya, program TV yang dananya berasal dari suatu instansi akan berkurang nilainya kalau bertebaran pujian terhadap instansi pemberi dana.

Media televisi memang sangat mengutamakan fungsi hiburan agar menarik, dengan tujuan meraih rating dan audience share yang tinggi, untuk meningkatkan pendapatan utama dari iklan. Kunci keberhasilan dari aspek ekonomi yang terkait dengan keberhasilan menjaring konsumen adalah pada kemampuan mengemas produk jurnalistik agar prinsip-prinsip good governance dapat disajikan dengan tetap menarik tanpa harus mengorbankan etika jurnalistik. Prinsip-prinsip itu bisa tersebar di berbagai program berita atau ulasan, dapat pula terangkum dalam suatu program yang sama.

Terkait dengan banyaknya penyimpangan dana dalam jumlah fantastis yang setiap hari diberitakan media massa, akan sangat menarik apabila ada program TV secara stripping (penayangan setiap hari) yang memonitor proyek-proyek dengan anggaran besar secara populer, sehingga mudah dipahami publik. Di samping mewadahi prinsip akuntabilitas dan profesionalisme, program ini akan dapat membuka kesempatan untuk kesetaraan, partisipasi, dan pengawasan publik, sehingga akan menjadi pendorong untuk meningkatkan daya tanggap atau kepekaan dari penyelenggara pemerintahan. Termasuk di dalamnya pelaksanaan penegakan hukum yang adil, kepemerintahan yang efisien dan efektif alias tidak boros, dan wawasan realistis yang berakar pada kenyataan yang benar-benar dihadapi masyarakat.

Dalam upaya memacu percepatan good governance, jurnalisme TV tetap perlu mengikuti rambu-rambu kode etik jurnalistik dan pertelevisian, walaupun di sini tidak tertutup kemungkinan adanya area abu-abu. Untuk telaah yang saling bertentangan atau berada di daerah abu-abu, dibutuhkan wawasan dan mata nurani untuk memutuskannya. 
Wawasan yang sifatnya tidak teknis pun tetap perlu dibekali pendidikan, karena terkait dengan interaksi lingkungan yang mencakup berbagai aspek, serta skala lokal, nasional, maupun global. Dalam hal ini Arya Gunawan, penanggung jawab program pemberdayaan media untuk UNESCO di Teheran, dalam Koran Tempo 18 Februari 2012 telah mengingatkan pentingnya memperkuat pendidikan jurnalisme sebagai salah satu hal yang disoroti saat perayaan puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Jambi, 9 Februari 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar