Memacu
Good Governance
melalui
Jurnalisme Televisi
Budiyati
Abiyoga, PRODUSER FILM, KETUA LEMBAGA PUSAT
PENDIDIKAN FILM
DAN TELEVISI (P2FTV)
SUMBER : KORAN TEMPO, 17 Maret 2012
Menonton
salah satu stasiun televisi yang menayangkan debat tiga pasangan calon yang
mengikuti pilkada Kabupaten Bekasi pada 7 Maret 2012, terlihat semua calon
memberi penekanan pada program perluasan lapangan kerja, pendidikan, prasarana,
dan penanggulangan kemiskinan. Salah seorang dari dua panelis kemudian
menanyakan program apa yang akan mereka laksanakan untuk menegakkan good
governance. Dari jawaban semua pasangan, terkesan bahwa mereka kurang menguasai
aspek itu. Karena waktu terbatas, yang dipakai pula untuk basa-basi, program
ekonomi yang disampaikan juga masih kurang dalam penajaman.
Ada
pertanyaan yang diajukan oleh pembawa acara TV selaku moderator, ada yang oleh
panelis, dan ada yang diajukan di antara pasangan calon. Sewaktu salah seorang
calon wakil bupati yang berprofesi sebagai dosen melempar pertanyaan soal
MDG's, ternyata lawannya tidak paham apa itu MDG's, yang menjadi salah satu
tugas kepala daerah untuk pencapaian tujuannya.
Padahal
inti berbagai program yang diutarakan semua calon sebenarnya adalah
penanggulangan kemiskinan, yang menjadi sasaran utama Millennium Development Goals (MDG's), dan mempunyai keterkaitan
pula dengan good governance. MDG's
2015, sebagai deklarasi bersama negara-negara berkembang termasuk Indonesia di
Johannesburg, Afrika Selatan, pada 2002, menetapkan Goal 1 dari 8 Goals adalah
memberantas kemiskinan dan kelaparan, yang sangat erat kaitannya dengan
pendidikan, perluasan lapangan kerja, pelayanan kesehatan, sanitasi, dan lain
sebagainya. Sedangkan penyampaian program secara terbuka dalam program debat
antarcalon itu sendiri sudah bisa masuk kategori iktikad membangun good governance, paling tidak dari aspek
transparansi dan profesionalisme.
Dari
tayangan tersebut, ada indikasi kuat mengenai pentingnya perluasan pemahaman
dan wawasan tentang good governance,
melalui media massa ataupun lebih tajam lagi melalui program-program
pemberdayaan institusi door to door.
Sebetulnya sudah cukup banyak program TV yang terkait dengan hal ini, walaupun
tidak keseluruhan aspek good governance
tercakup dalam satu program yang sama. Tetapi tampaknya pengertian mengenai
kaitannya dengan penegakan good governance masih kurang.
Sekadar
menyebut beberapa program TV yang mengandung pembelajaran cukup kental soal ini
adalah Indonesia Lawyers Club dan Managing The Nation, di samping sejumlah
acara talk show yang menyikapi dengan kritis berbagai isu panas yang berkembang
di tengah masyarakat.
Dalam
memberikan materi pendidikan jurnalisme untuk in-house training stasiun
televisi, saya mengaitkan nya dengan pentingnya misi untuk memacu
terselenggaranya kepemerintahan yang baik. Bukannya sok idealis, tapi karena
hanya dengan good governance akan tercipta iklim kehidupan berbangsa dan
bernegara yang sehat, termasuk di dalamnya adalah iklim usaha formal maupun
informal yang akan membuka kesejahteraan secara merata, dan dalam skala kecil
termasuk pula kelangsungan hidup industri pertelevisian.
Untuk
menuju arah itu, media televisi, seperti halnya media massa lainnya, dapat
menjadi sarana kontrol sosial yang ampuh. Upaya memacu kepemerintahan yang baik
melalui jurnalisme televisi bukan sekadar asal mengkritik dengan gegap-gempita
untuk menarik konsumen. Kritik yang cenderung menjadi hujatan akan mengurangi
obyektivitas berita. Demikian pula sebaliknya, program TV yang dananya berasal
dari suatu instansi akan berkurang nilainya kalau bertebaran pujian terhadap
instansi pemberi dana.
Media
televisi memang sangat mengutamakan fungsi hiburan agar menarik, dengan tujuan
meraih rating dan audience share yang
tinggi, untuk meningkatkan pendapatan utama dari iklan. Kunci keberhasilan dari
aspek ekonomi yang terkait dengan keberhasilan menjaring konsumen adalah pada
kemampuan mengemas produk jurnalistik agar prinsip-prinsip good governance dapat disajikan dengan tetap menarik tanpa harus
mengorbankan etika jurnalistik. Prinsip-prinsip itu bisa tersebar di berbagai
program berita atau ulasan, dapat pula terangkum dalam suatu program yang sama.
Terkait
dengan banyaknya penyimpangan dana dalam jumlah fantastis yang setiap hari
diberitakan media massa, akan sangat menarik apabila ada program TV secara stripping (penayangan setiap hari) yang
memonitor proyek-proyek dengan anggaran besar secara populer, sehingga mudah
dipahami publik. Di samping mewadahi prinsip akuntabilitas dan profesionalisme,
program ini akan dapat membuka kesempatan untuk kesetaraan, partisipasi, dan
pengawasan publik, sehingga akan menjadi pendorong untuk meningkatkan daya
tanggap atau kepekaan dari penyelenggara pemerintahan. Termasuk di dalamnya
pelaksanaan penegakan hukum yang adil, kepemerintahan yang efisien dan efektif
alias tidak boros, dan wawasan realistis yang berakar pada kenyataan yang
benar-benar dihadapi masyarakat.
Dalam
upaya memacu percepatan good governance,
jurnalisme TV tetap perlu mengikuti rambu-rambu kode etik jurnalistik dan
pertelevisian, walaupun di sini tidak tertutup kemungkinan adanya area abu-abu.
Untuk telaah yang saling bertentangan atau berada di daerah abu-abu, dibutuhkan
wawasan dan mata nurani untuk memutuskannya.
Wawasan yang sifatnya tidak teknis
pun tetap perlu dibekali pendidikan, karena terkait dengan interaksi lingkungan
yang mencakup berbagai aspek, serta skala lokal, nasional, maupun global. Dalam
hal ini Arya Gunawan, penanggung jawab program pemberdayaan media untuk UNESCO
di Teheran, dalam Koran Tempo 18 Februari 2012 telah mengingatkan pentingnya
memperkuat pendidikan jurnalisme sebagai salah satu hal yang disoroti saat
perayaan puncak Hari Pers Nasional (HPN) di Jambi, 9 Februari 2012. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar