Persoalan
Dasar UU Keamanan Nasional
Muhadjir
Effendy, REKTOR UNIV. MUHAMMADIYAH MALANG,
MENULIS DISERTASI TENTANG
MILITER
SUMBER : JAWA POS, 16 Maret 2012
ADA persoalan terminologis mendasar
yang perlu disepakati dalam rancangan undang-undang keamanan nasional (RUU
Kamnas) yang kini digodok. Termasuk terminologi mengenai apa itu
"keamanan". Hal tersebut pernah dilontarkan Dr Riefki Muna dari LIPI
pada sebuah diskusi dalam rangka sosialisasi RUU Kamnas yang digelar
Kementerian Pertahanan.
Adapun Wakil Menteri Pertahanan RI Letjen TNI (pur) Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan, UU Kamnas akan diposisikan sebagai "payung" bagi undang-undang yang terkait dengan masalah keamanan nasional. Konsekuensinya, undang-undang yang sekarang sudah ada mungkin perlu penyesuaian terhadap semangat dan substansi UU Kamnas, serta perlu sinkronisasi antarundang-undang yang ada di bawah payung UU Kamnas tersebut.
Maksud tulisan ini adalah ikut memberikan masukan terhadap dua persoalan di atas.
Pakar militer, Samuel P. Huntington (dalam buku Soldier and the State) membuat tiga kategori keamanan, yaitu keamanan militer, keamanan internal, dan keamanan situasional. Untuk keamanan militer, dilihat dari istilah yang dikenakan saja sudah jelas bahwa yang dimaksud adalah fungsi keamanan yang diperankan militer. Di sini Huntington menekankan pada tugas dan tanggung jawab militer sebagai kekuatan bersenjata yang bersifat eksternal kendati ia juga memasukkan internal, yaitu insurgensi (pemberontakan, Red) dan kejahatan bersenjata di dalamnya.
Konseptualisasi ini mengacu pada karakteristik militer negara maju pasca-Perang Dunia II yang kekuatan militernya memiliki sejarah dan tradisi menjadi bagian dari negara penjajah. Karena itu, sangat kuat orientasi eksternal dan karakter invasionisnya. Doktrin pertahanannya bukan melindungi dan mempertahankan wilayah negara, tetapi lebih diarahkan kepada melindungi dan mempertahankan wilayah jajahan.
Pada pasca-Perang Dunia II, seiring perubahan bentuk dari imperialisme menjadi kapitalisme, doktrin melindungi dan mempertahankan wilayah jajahan berubah menjadi melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentingan negara di luar negeri, termasuk kepentingan ekonominya.
Kerangka teoretik di atas akan kurang berhasil apabila digunakan untuk menjelaskan kedudukan militer dan keamanan nasional di negara berkembang yang dari kesejarahan sangat kontras dengan sejarah militer negara maju (penjajah). Militer negara berkembang justru lahir dari kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Implikasinya, militer negara berkembang, baik postur maupun doktrinnya, cenderung sebagai tentara rumahan (home defence army), yang berorientasi internal. Pandangan tersebut sesuai dengan tesis Anthony Giddens: bahwa keberadaan militer di negara-negara yang tidak pernah menjadi penjajah (negara pra-modern) umumnya lebih memiliki fungsi internal, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk menciptakan tertib sosial.
Dalam hal penciptaan keamanan nasional (national security), ketiga kategori keamanan tersebut di atas, yaitu keamanan militer, keamanan internal, dan keamanan situasional, tidak boleh ditempatkan dalam posisi sejajar dan linier. Dalam arti ketiga-tiganya seolah secara sendiri-sendiri memberikan kontribusi kepada terwujudnya suatu keamanan nasional. Pandangan yang benar adalah ketiga-tiganya harus berjalin-berkelindan dan saling menentukan. Ketiga-tiganya tidak secara sendiri-sendiri dalam mewujudkan keamanan nasional, melainkan saling memperkuat dan menentukan.
Ada tiga fungsi yang masing-masing "memproduksi" keamanan, yaitu fungsi pertahanan-keamanan, ketertiban-keamanan, dan stabilitas-keamanan. Peran utama fungsi pertahanan adalah militer, peran utama fungsi ketertiban adalah polisi (dan aparat penegak hukum yang lain), sedangkan fungsi stabilitas dilakukan aktor-aktor lain di masyarakat yang meliputi para politisi, pelaku ekonomi, golongan profesional, para pemuka agama, dan sebagainya.
Jadi, apabila UU Kamnas nanti dimaksudkan sebagai payung, akan sangat banyak undang-undang yang harus disesuaikan dan disinkronkan. Apabila fungsi sebagai payung itu bisa dilakukan secara terpadu dan sistemik, dengan sendirinya UU Kamnas akan menjadi landasan bagi pembangunan sistem pertahanan dalam arti yang luas, atau sistem pertahanan semesta (total defence system).
Sekadar perbandingan, negara Singapura telah memberlakukan doktrin keamanan nasional yang didasarkan pada sistem pertahanan semesta pada 1984 (Derek Da Cuncha: Sociological Aspect of the Singapore Armed Forces). Di Singapura konsep pertahanan juga diberi arti yang luas, meliputi lima aspek. Pertahanan militer (military defense) adalah hanya sebagai salah satunya. Empat aspek yang lain adalah pertahanan psikologi (psychological defense), pertahanan ekonomi (economic defense), pertahanan sosial (social defense), dan pertahanan sipil (civil defense). ●
Adapun Wakil Menteri Pertahanan RI Letjen TNI (pur) Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan, UU Kamnas akan diposisikan sebagai "payung" bagi undang-undang yang terkait dengan masalah keamanan nasional. Konsekuensinya, undang-undang yang sekarang sudah ada mungkin perlu penyesuaian terhadap semangat dan substansi UU Kamnas, serta perlu sinkronisasi antarundang-undang yang ada di bawah payung UU Kamnas tersebut.
Maksud tulisan ini adalah ikut memberikan masukan terhadap dua persoalan di atas.
Pakar militer, Samuel P. Huntington (dalam buku Soldier and the State) membuat tiga kategori keamanan, yaitu keamanan militer, keamanan internal, dan keamanan situasional. Untuk keamanan militer, dilihat dari istilah yang dikenakan saja sudah jelas bahwa yang dimaksud adalah fungsi keamanan yang diperankan militer. Di sini Huntington menekankan pada tugas dan tanggung jawab militer sebagai kekuatan bersenjata yang bersifat eksternal kendati ia juga memasukkan internal, yaitu insurgensi (pemberontakan, Red) dan kejahatan bersenjata di dalamnya.
Konseptualisasi ini mengacu pada karakteristik militer negara maju pasca-Perang Dunia II yang kekuatan militernya memiliki sejarah dan tradisi menjadi bagian dari negara penjajah. Karena itu, sangat kuat orientasi eksternal dan karakter invasionisnya. Doktrin pertahanannya bukan melindungi dan mempertahankan wilayah negara, tetapi lebih diarahkan kepada melindungi dan mempertahankan wilayah jajahan.
Pada pasca-Perang Dunia II, seiring perubahan bentuk dari imperialisme menjadi kapitalisme, doktrin melindungi dan mempertahankan wilayah jajahan berubah menjadi melindungi dan mengamankan kepentingan-kepentingan negara di luar negeri, termasuk kepentingan ekonominya.
Kerangka teoretik di atas akan kurang berhasil apabila digunakan untuk menjelaskan kedudukan militer dan keamanan nasional di negara berkembang yang dari kesejarahan sangat kontras dengan sejarah militer negara maju (penjajah). Militer negara berkembang justru lahir dari kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Implikasinya, militer negara berkembang, baik postur maupun doktrinnya, cenderung sebagai tentara rumahan (home defence army), yang berorientasi internal. Pandangan tersebut sesuai dengan tesis Anthony Giddens: bahwa keberadaan militer di negara-negara yang tidak pernah menjadi penjajah (negara pra-modern) umumnya lebih memiliki fungsi internal, yaitu berkaitan dengan tanggung jawab negara untuk menciptakan tertib sosial.
Dalam hal penciptaan keamanan nasional (national security), ketiga kategori keamanan tersebut di atas, yaitu keamanan militer, keamanan internal, dan keamanan situasional, tidak boleh ditempatkan dalam posisi sejajar dan linier. Dalam arti ketiga-tiganya seolah secara sendiri-sendiri memberikan kontribusi kepada terwujudnya suatu keamanan nasional. Pandangan yang benar adalah ketiga-tiganya harus berjalin-berkelindan dan saling menentukan. Ketiga-tiganya tidak secara sendiri-sendiri dalam mewujudkan keamanan nasional, melainkan saling memperkuat dan menentukan.
Ada tiga fungsi yang masing-masing "memproduksi" keamanan, yaitu fungsi pertahanan-keamanan, ketertiban-keamanan, dan stabilitas-keamanan. Peran utama fungsi pertahanan adalah militer, peran utama fungsi ketertiban adalah polisi (dan aparat penegak hukum yang lain), sedangkan fungsi stabilitas dilakukan aktor-aktor lain di masyarakat yang meliputi para politisi, pelaku ekonomi, golongan profesional, para pemuka agama, dan sebagainya.
Jadi, apabila UU Kamnas nanti dimaksudkan sebagai payung, akan sangat banyak undang-undang yang harus disesuaikan dan disinkronkan. Apabila fungsi sebagai payung itu bisa dilakukan secara terpadu dan sistemik, dengan sendirinya UU Kamnas akan menjadi landasan bagi pembangunan sistem pertahanan dalam arti yang luas, atau sistem pertahanan semesta (total defence system).
Sekadar perbandingan, negara Singapura telah memberlakukan doktrin keamanan nasional yang didasarkan pada sistem pertahanan semesta pada 1984 (Derek Da Cuncha: Sociological Aspect of the Singapore Armed Forces). Di Singapura konsep pertahanan juga diberi arti yang luas, meliputi lima aspek. Pertahanan militer (military defense) adalah hanya sebagai salah satunya. Empat aspek yang lain adalah pertahanan psikologi (psychological defense), pertahanan ekonomi (economic defense), pertahanan sosial (social defense), dan pertahanan sipil (civil defense). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar