Perilaku
Masyarakat terhadap Flu Burung
Agus Widjanarko, KETUA
HIMPUNAN AHLI KESEHATAN LINGKUNGAN
CABANG KOTA PASURUAN
SUMBER : KORAN TEMPO, 10 Maret 2012
Rilis Kementerian Kesehatan RI menyebutkan,
sepanjang dua bulan pertama 2012 ini tercatat sudah empat orang yang meninggal
akibat flu burung. Dengan demikian, jumlah kumulatif kejadian flu burung di
Indonesia sejak berjangkit pertama kali pada 2005 hingga akhir Februari 2012
adalah 186 kasus dengan kematian sebanyak 154 jiwa. Mengingat pada musim hujan
virus penyakit ini lebih masif, segala upaya untuk mengendalikannya harus
disiapkan sejak dini, termasuk memaksimalkan peran masyarakat.
Bahwa penyakit flu burung (avian influenza)
merupakan penyakit menular serta mengancam kesehatan masyarakat memang telah
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1371/Menkes/SK/IX/2005.
Dengan demikian, masyarakat berhak sekaligus berperan dalam upaya pencegahan
dan perlindungan terhadap penularan flu burung dari hewan unggas, babi, dan
hewan lainnya.
Disadari bahwa kematian akibat flu burung
lebih banyak disebabkan oleh keterlambatan penanganan karena kedatangan pasien
di rumah sakit biasanya telah dalam kondisi parah. Pada konteks ini, perilaku
masyarakat menjadi sangat menentukan karena, meskipun telah disiapkan sarana
dan prasarana pelayanan kesehatan yang memadai dengan didukung oleh tenaga
kesehatan yang andal, jatuhnya banyak korban sulit dihindari bila masyarakat
kurang peka terhadap tanda-tanda dini penyakit ini.
Perilaku masyarakat terhadap kesehatan
merupakan fungsi dari pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat dalam
menghadapi suatu fenomena. Memperhatikan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 yang datanya diambil ketika puncak kejadian flu burung
pada 2006 baru saja mereda, ditemukan bahwa proporsi masyarakat Indonesia usia
10 tahun atau lebih yang pernah mendengar tentang flu burung adalah sebesar
64,7 persen. Dari jumlah tersebut, proporsi yang mempunyai pengetahuan benar
tentang flu burung adalah 78,7 persen, serta yang bersikap benar tentang flu
burung sebanyak 87,7 persen.
Kepada masyarakat yang menyatakan pernah
mendengar istilah flu burung, langkah selanjutnya untuk mengukur tingkat
pengetahuan mereka adalah dengan menanyakan soal penularan penyakit flu burung.
Pengetahuan masyarakat dinyatakan memadai apabila menjawab cara penularan flu
burung melalui kontak dengan unggas sakit atau kontak dengan kotoran
unggas/pupuk kandang. Pengetahuan masyarakat dianggap tidak benar apabila
mereka memberikan jawaban cara penularannya melalui udara, berdekatan dengan
penderita, lalat, makanan, dan lainnya.
Sikap masyarakat dinilai dengan pertanyaan
tentang upaya yang dilakukan apabila menemukan unggas yang sakit atau mati
mendadak. Sikap dinyatakan tepat jika menjawab salah satu dari: melaporkan
kepada aparat, atau membersihkan kandang unggas, atau mengubur/membakar unggas
sakit. Sebaliknya, sikap dipandang tidak benar jika jawabannya adalah unggas
tersebut dimasak/dimakan atau dijual atau yang lainnya.
Pengetahuan
Walaupun pemberitaan oleh media cetak maupun
elektronik perihal kejadian kasus flu burung pada masa puncak penularannya
cukup meluas, pada kenyataannya masih terdapat 21,3 persen masyarakat Indonesia
yang belum memahami flu burung. Menariknya, semakin tua usianya, semakin
menurun tingkat pengetahuan masyarakat tentang flu burung. Sebaliknya, semakin
tinggi jenjang pendidikannya, semakin tinggi pula tingkat pengetahuan
masyarakat tentang flu burung. Demikian pula, tingkat pengeluaran masyarakat
cenderung berbanding lurus dengan tingkat pengetahuannya. Hal ini menandakan
bahwa penyerapan informasi tentang flu burung belum merata di kalangan
masyarakat, terutama pada kelompok usia lanjut, berpendidikan rendah, dan
berpenghasilan rendah.
Menurut Allport, sikap merupakan kesiapan
saraf (neural setting) sebelum memberikan respons. Dengan kata lain,
sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak. Mencermati sikap masyarakat
Indonesia terkait dengan flu burung, tampak bahwa proporsinya di atas tingkat
pengetahuan. Meskipun tingkat pengetahuan belum maksimal, ternyata mereka
sedikit lebih tepat dalam mengambil sikap. Sedangkan bila dilihat dari
karakteristik usia, jenjang pendidikan, dan tingkat pengeluaran masyarakat, ada
fenomena yang tidak jauh berbeda dengan tingkat pengetahuan. Semakin tua,
semakin rendah jenjang pendidikan, dan semakin rendah biaya yang dikeluarkan
untuk kebutuhan sehari-hari, kian rendah pula ketepatan mereka dalam bersikap.
Tindakan
Tindakan memang tidak diukur dalam Riset
Kesehatan Dasar 2007. Tindakan akan lebih mudah dievaluasi justru ketika kasus
flu burung meningkat, terlebih jika telah menyerang manusia. Kendati sikap
mengandung daya pendorong atau motivasi dalam melakukan suatu tindakan, tidak
otomatis tindakan akan identik dengan sikap yang diutarakan.
Keputusan mencari pengobatan ketika ditemukan
penderita dengan gejala-gejala terserang penyakit flu burung merupakan tengara
yang dapat menunjukkan tindakan masyarakat yang sebenarnya. Pada kenyataannya,
tidak jarang terjadi keterlambatan untuk memperoleh pertolongan medis karena
tingkat ketanggapan masyarakat yang masih rendah dalam kasus-kasus darurat
seperti ini.
Informasi tentang flu burung telah disebarkan
dalam berbagai model media promosi kesehatan, mulai dari yang berwujud brosur, leaflet
, siaran radio, tayangan televisi, bahkan sampai media lokal tradisional.
Liputan media massa pun telah menjadi ajang promosi gratis bagi penguatan
pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan flu burung yang pada gilirannya
diharapkan dapat membentuk sikap positif dan tindakan nyata.
Maka, untuk mendorong agar ketiga fungsi
perilaku ini dapat ditingkatkan secara optimal dibutuhkan kepedulian masyarakat
terhadap lingkungannya. Masih adanya ketakacuhan masyarakat terhadap aliran
informasi, sebagaimana tecermin pada angka-angka proporsi tingkat pengetahuan
dan sikap masyarakat Indonesia terhadap flu burung, harus segera dieliminasi.
Apalagi saat ini kasus flu burung tidak begitu merebak, sehingga arus informasi
juga tidak sederas dibandingkan ketika ia berjangkit lima tahun yang lalu.
Sudah sepantasnya masyarakat, dengan dukungan
dari pemangku kepentingan, tergerak untuk mulai mandiri dalam mencermati dan
memecahkan masalah-masalah kesehatan yang timbul. Masyarakat harus menjadi
pengamat atas kejadian penyakit yang ada kemungkinan dapat menyebar di
lingkungannya. Dengan pengamatan yang tepat dan berkesinambungan, kemunculan
penyakit flu burung dapat dideteksi sedini mungkin sehingga tindakan yang
diambil pun bisa lebih mudah dan terkendali. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar