Manajemen
Lapas
Ahmad Yani, WAKIL KETUA F-PPP DPR RI, ANGGOTA
KOMISI III DPR RI
SUMBER : REPUBLIKA, 10 Maret 2012
Kerusuhan
di Penjara Kerobokan adalah ekses dari perilaku menyederhanakan persoalan lama
yang sengaja tak pernah diselesaikan. Kejadian ini menjadi preseden karena
memberi pesan sangat jelas kepada semua penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas)
di seluruh Indonesia. Jika penyimpangan dan kesemrawutan di lapas tidak segera
dibenahi, kerusuhan serupa bisa meledak setiap saat di penjara lainnya.
Aneka
cerita tentang perlakuan tidak manusiawi dan diskriminasi terhadap para
narapidana (napi) bukan hanya terjadi di Lapas Kerobokan, Denpasar, Bali.
Potret dan gambaran yang kurang lebih sama juga terjadi di hampir semua Lapas.
Semua
bentuk penyimpangan dalam manajemen penjara memang sudah menjadi cerita di
ruang publik. Termasuk “perselingkuhan“ Napi dengan oknum sipir penjara untuk
menjalankan kegiatan-kegiatan melanggar hukum. Contoh ekstremnya, kalau
perdagangan dan peredaran narkoba bisa dijalankan dan dikendalikan dari dalam
sel penjara, tentu karena oknum sipir penjara membuka akses bagi para bandar
besar yang sudah dibui. Begitulah keistimewaan yang bisa dinikmati napi atau
tersangka berduit.
Segera Dibenahi
Akar
persoalan dari kerusuhan di Lapas Kerobokan adalah pemberontakan dari kelompok
napi yang merasa manajemen lapas diskriminatif terhadap mereka. Sebelum
kerusuhan, terjadi peristiwa antara seorang napi dan napi lainnya. Sekelompok
napi mendesak manajemen lapas menyelesaikan kasus penusukan hingga tuntas,
proporsional dengan seadil-adilnya. Namun, manajemen lapas tidak peduli dengan
tuntutan tersebut.
Penyelesaian
kasus itu tidak tuntas. Akibatnya, kelompok napi yang ditusuk menganggap ada
perlakuan tidak adil atau diskriminatif. Kerusuhan pun tak terhindarkan.
Cerita
tentang kesemrawutan dan penyimpangan di Lapas Kerobokan sudah go international. Kathryn Bonella,
seorang penulis Australia, dalam bukunya berjudul Hotel K (Hotel Kerobokan,
2009), cukup detail mendeskripsikan suasana keseharian yang pengap di Lapas
Kerobokan. Bonella menggambarkan, Lapas Kerobokan sebagai penjara di mana
pembunuh berantai, psikopat, dan terpidana narkoba bercampur tanpa pemisahan.
Hanya 17 sipir yang bertugas dalam satu periode jam kerja untuk mengawasi lebih
dari 1.000 narapidana.
Memang,
kapasitas Lapas Kerobokan hanya 300 napi. Saat kerusuhan meledak, Kerobokan
dihuni 1.015 orang napi. Kerusuhan jadi mudah menjalar dan sulit dikendalikan
saat para napi yang berdesakkan itu tersulut emosinya.
Dalam
konteks ini, kerusuhan di Lapas Kerobokan harus dimaknai sebagai pesan yang
sangat jelas dari para napi kepada regulator, khususnya Kementerian Hukum dan
HAM. Pesan yang disampaikan adalah benahi manajemen lapas, pulihkan harkat
kemanusiaan para napi, jangan pernah lagi mengeksploitasi kelemahan napi dan
keluarganya, hilangkan diskriminasi, serta hapus pungutan liar di lapas.
Diyakini
bahwa kerusuhan di Lapas Kerobokan serta muatan pesan atau aspirasi para napi
yang memicu kerusuhan itu sudah sampai ke telinga semua penghuni lapas lainnya
di seluruh Indonesia. Saya mengingatkan, alasan yang memicu kerusuhan Lapas
Kerobokan bisa menimbulkan preseden. Artinya, jika Kementerian Hukum dan HAM
tidak segera membenahi manajemen di semua lapas, kerusuhan serupa bisa terjadi
setiap saat di lapas mana pun.
Karena
itu, jumlah penghuni setiap lapas harus sesuai kapasitas yang ada.
Lapas di mana pun tidak boleh lagi kelebihan kapasitas. Selain tidak manusiawi, bisa dipastikan bahwa kelebihan kapasitas akan menimbulkan banyak persoalan baru, serta menjadi peluang bagi oknum sipir melakukan penyimpangan dan diskriminasi.
Lapas di mana pun tidak boleh lagi kelebihan kapasitas. Selain tidak manusiawi, bisa dipastikan bahwa kelebihan kapasitas akan menimbulkan banyak persoalan baru, serta menjadi peluang bagi oknum sipir melakukan penyimpangan dan diskriminasi.
Mencegah
lapas kelebihan penghuni tidak cukup hanya dengan membangun kompleks lapas baru
atau melakukan perluasan lapas. Pembangunan lapas baru harus diikuti pula dengan
melakukan pengurangan penghuni lapas. Cara paling efektif, memberikan remisi
bagi para napi yang memang layak mendapatkan remisi. Kalau pembinaan napi di
lapas selama ini berjalan efektif, mestinya tidak sedikit napi yang layak
mendapat remisi.
Pungutan
liar di lapas sudah barang tentu harus diperangi. Keluarga para terpidana
umumnya sudah sangat menderita dan lemah. Jangan lagi mengekspoitasi nestapa
mereka dengan pungutan-pungutan ilegal di lapas. Cerita pungli di lapas itu
bukannya mengada-ada. Karena itu, Kementerian Hukum dan HAM jangan tutup mata
terhadap penyimpangan tersebut.
Para napi pun harus dipisahkan sesuai dengan
latar belakang pelanggaran hukumnya. Kalau terpidana perampok dan pembunuh
dibaurkan dengan terpidana koruptor atau narkoba, itu adalah ruang yang sangat
mungkin bagi oknum sipir menawarkan diskriminasi perlakuan. Diskriminasi
terbuka secara berkelanjutan akan menimbulkan dendam dan amarah para napi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar