Selasa, 06 Maret 2012

Perbaikan-perbaikan Ujian Nasional


Perbaikan-perbaikan Ujian Nasional
Suyanto, GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA, PELAKSANA TUGAS DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN DASAR KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SUMBER : KORAN TEMPO, 5 Maret 2012



Ujian nasional (UN) sudah semakin dekat. Betapa tidak, agenda penilaian pendidikan secara nasional yang cukup mendapat perhatian masyarakat itu akan diselenggarakan serentak pada 16 April 2012 untuk sekolah menengah atas, sekolah menengah atas luar biasa, sekolah menengah kejuruan, serta madrasah aliyah, dan seminggu kemudian, 23 April 2012, untuk sekolah menengah pertama serta madrasah tsanawiyah. Ibaratnya, UN sudah di ambang pintu. Karena itu, semua pihak mulai saat ini sudah harus mempersiapkan diri dengan baik, terutama siswa dan orang tua. Bagi siswa, persiapan yang paling urgen, ya, belajar itu sendiri. Belajar secara teratur merupakan kunci sukses dalam proses pendidikan di jenjang dan jenis mana pun.

Apa makna teratur? Teratur artinya memiliki kesinambungan secara ajek. Tidak disarankan, dan amat sangat buruk, jika para siswa belajar pada hari-hari terakhir secara kumulatif tanpa distribusi waktu, dengan frekuensi yang lebih sering. Belajar dalam waktu sepuluh jam jauh lebih baik jika dilakukan dalam frekuensi lima kali dengan durasi masing-masing dua jam daripada hanya dilakukan dua kali dengan durasi masing-masing lima jam.

Harus kita ingat, dalam proses belajar juga dikenal adanya faktor fatigue (kelelahan), baik secara fisik, kognitif, maupun psikologis. Kalau salah satu atau bahkan semua faktor kelelahan muncul, dapat dipastikan daya serap kegiatan belajar akan menurun, dan bahkan bisa mencapai nihil karena kegiatan itu telah sampai pada titik kejenuhan.

Dengan demikian, tidak bijak kalau ada orang tua dan guru memberi tekanan yang berlebihan kepada siswa untuk belajar habis-habisan semalam suntuk pada saat UN berlangsung. Pada saat UN berlangsung, siswa seharusnya tidak terlibat lagi belajar mati-matian. Sebaliknya, para siswa harus rileks, santai, hanya cukup melakukan review mata pelajaran yang akan diujikan keesokan harinya dengan cara skimming di buku-buku yang telah mereka pelajari selama ini.

Hal ini perlu dilakukan agar siswa tidak mengalami stres sehingga mengacaukan struktur kognitif yang mengakibatkan sulitnya melakukan rekonstruksi kembali berbagai informasi yang ada dalam pikiran mereka, ketika para siswa peserta UN harus melakukan retrieval untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam UN. Santai dan rileks pada hari-hari UN hanya dapat dilakukan jika para siswa memang belajar secara teratur sejak jauh-jauh hari sebelum penyelenggaraan UN. Bagi yang belajarnya tidak teratur, tidak terdistribusi dengan baik sepanjang tahun, memang begitulah risiko dan ongkosnya, harus cemas, belajar semalam suntuk, dan mengalami stres berlebihan ketika menghadapi UN.

Jika siswa masuk dalam kelompok ini, mereka sangat rentan secara psikologis sehingga rusaklah self concept yang ada pada dirinya. Akibatnya, mereka tidak percaya diri, yang ujung-ujungnya kelompok siswa seperti ini sangat mudah terkecoh oleh ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang dengan sengaja menyebarkan rumor atau isu dan kabar burung tentang kunci jawaban UN yang bisa dimiliki melalui layanan SMS dengan tarif yang berjenjang, sesuai dengan derajat kebenaran kunci jawaban (palsu) itu.

Perbaikan Sistem

Ujian nasional tahun ini sudah mengalami perbaikan yang sangat signifikan. Perbaikan ini dilakukan karena pemerintah mendengar masukan dari masyarakat, dan juga karena kebutuhan sistem secara internal agar UN bisa berjalan dengan baik, sehingga bisa menilai dan mengukur apa yang seharusnya dinilai dan/atau diukur. Dengan menggunakan terminologi ilmiah, perbaikan itu dilakukan agar UN memiliki reliabilitas yang tinggi, serta memiliki validitas internal dan eksternal yang baik.

Perbaikan itu meliputi antara lain (1) jumlah mata pelajaran yang diujikan, dari hanya tiga mata pelajaran: bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika, menjadi lebih dari tiga, bahkan lima dan/atau enam, mata pelajaran yang ada dalam kurikulum sekolah; (2) penentuan kelulusan yang hanya menggunakan nilai tunggal UN akhirnya menggabungkan nilai UN (60 persen) dan nilai ujian sekolah (40 persen) sebagai syarat kelulusan; (3) penggandaan soal, yang semula diadakan di daerah, kini dipusatkan agar keamanan soal bisa dikendalikan.

Hanya percetakan yang memiliki prosedur dan sistem security printing yang bisa ikut dalam penggandaan soal UN tahun ini. Hal ini dilakukan, karena sumber utama kebocoran soal terletak pada percetakan yang tidak memiliki prosedur dan sistem security printing. Semua perbaikan itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan UN. Jika kita menggunakan bahasa kebijakan, perbaikan itu dilakukan agar UN dapat dilaksanakan secara baik, adil, dan benar. Hal ini perlu ditegakkan karena UN menyangkut nasib jutaan siswa dan ribuan sekolah di seluruh Tanah Air.

Pelaksanaan UN sungguh masif, dan dengan demikian merupakan pekerjaan raksasa. Betapa tidak, data yang ada di Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan per 26 Februari 2012 menunjukkan sebanyak 18.042 SMA/MA, dengan jumlah siswa 1.538.539 orang dari jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa, dan Agama, akan mengikuti UN tahun ini. Tidak hanya itu, untuk SMK sudah terdata 9.098 sekolah dengan jumlah siswa 1.052.973 anak. Belum lagi yang ada di jenjang SMP/MTs, sebanyak 49.418 sekolah, yang mencakup 3.732.649 siswa. Jika sekolah dan siswa kita jumlahkan tanpa memperhatikan jenjang dan jenis pendidikan, UN tahun ini akan diikuti oleh 76.558 sekolah, dengan jumlah siswa 6.324.611 anak. Sungguh merupakan kegiatan raksasa, jumlahnya mirip kegiatan pemilihan kepala daerah sebuah kabupaten/kota. Karena itu, semua kepala dinas pendidikan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota harus memiliki persiapan yang baik dan matang dengan berkoordinasi secara efisien serta efektif dengan institusi terkait, seperti kepolisian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perguruan tinggi, serta sekolah-sekolah di daerah masing-masing.

Jujur dan (Ber)prestasi

Semua stakeholder pendidikan harus memahami bahwa UN tahun ini akan dilaksanakan dengan prinsip kejujuran yang tinggi. Itulah sebabnya, tagline dan semangat melaksanakan UN tahun ini adalah jujur dan prestasi. Kejujuran merupakan nilai universal yang patut dan harus dimiliki semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan UN, antara lain siswa, guru, pengawas, orang tua, penyelenggara, dan pemerintah daerah sekalipun.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki data yang sangat menarik mengenai indeks kejujuran tiap sekolah, yang kalau diagregatkan mencerminkan jujur-tidaknya suatu pemerintah daerah dalam melaksanakan UN. Sangat masuk akal dan merupakan kategori imperatif jika kejujuran menjadi pilar penting dalam penyelenggaraan UN. Karena mulai tahun ini ada perbaikan signifikan dalam penyelenggaraan UN terkait dengan integrasi pendidikan menengah dengan pendidikan tinggi, nilai UN akan dan bisa digunakan sebagai tiket untuk memasuki perguruan tinggi. Jumlah mahasiswa yang direkrut di perguruan tinggi negeri tahun ini, paling tidak 60 persen dari mahasiswa baru itu, harus didasarkan pada nilai UN para siswa. Karena itu, UN tahun ini harus jujur agar dalam jangka panjang tidak merusak kualitas perguruan tinggi kita.

Karena harus menjunjung tinggi kejujuran, pemerintah daerah juga harus ikut bertanggung jawab dan mengkampanyekan pentingnya kejujuran dalam pelaksanaan UN di daerahnya masing-masing. Sudah bukan zamannya lagi jika seorang kepala daerah memberikan instruksi dan tekanan kepada dinas pendidikan agar berbuat apa saja demi tingkat kelulusan 100 persen, yang berakibat pada ketidakjujuran penyelenggaraan di tingkat sekolah dengan menempuh berbagai cara, seperti menyediakan joki, mengubah lembar jawaban, dan membocorkan kunci jawaban.

Begitu juga di tingkat ujian sekolah, harus menjamin nilai kejujuran. Jangan melakukan markup nilai ujian sekolah, dengan motif negatif, agar jika digabungkan bersama nilai UN memiliki tingkat kelulusan yang tinggi. Kalau hal ini terjadi, kejujuran kurang bisa ditegakkan di sekolah itu sendiri. Data di tingkat nasional memiliki kecenderungan sekolah memberi nilai terlalu longgar terhadap ujian sekolah. Buktinya, selalu ada perbedaan nilai secara signifikan antara ujian sekolah dan UN. Terlebih sekolah yang kurang bermutu selalu suka "mentraktir" nilai lebih banyak dibanding sekolah yang bermutu. Praktek seperti ini harus segera ditinggalkan mulai tahun ini. Sekolah yang baik ialah sekolah yang berani tidak meluluskan siswanya yang memang tidak lulus. Inilah makna kejujuran dalam praksis pendidikan di tingkat sekolah. Tahun ini sekolah dengan kepemimpinan kepala sekolahnya masing-masing harus melaksanakan UN dengan semangat: jujur dan berprestasi. Semoga semua sekolah bisa begitu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar