Perbaikan-perbaikan
Ujian Nasional
Suyanto, GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA, PELAKSANA TUGAS DIREKTUR
JENDERAL PENDIDIKAN DASAR KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
SUMBER : KORAN TEMPO, 5
Maret 2012
Ujian nasional (UN) sudah semakin dekat.
Betapa tidak, agenda penilaian pendidikan secara nasional yang cukup mendapat
perhatian masyarakat itu akan diselenggarakan serentak pada 16 April 2012 untuk
sekolah menengah atas, sekolah menengah atas luar biasa, sekolah menengah
kejuruan, serta madrasah aliyah, dan seminggu kemudian, 23 April 2012, untuk
sekolah menengah pertama serta madrasah tsanawiyah. Ibaratnya, UN sudah di
ambang pintu. Karena itu, semua pihak mulai saat ini sudah harus mempersiapkan
diri dengan baik, terutama siswa dan orang tua. Bagi siswa, persiapan yang
paling urgen, ya, belajar itu sendiri. Belajar secara teratur merupakan kunci
sukses dalam proses pendidikan di jenjang dan jenis mana pun.
Apa makna teratur? Teratur artinya memiliki
kesinambungan secara ajek. Tidak disarankan, dan amat sangat buruk, jika para
siswa belajar pada hari-hari terakhir secara kumulatif tanpa distribusi waktu,
dengan frekuensi yang lebih sering. Belajar dalam waktu sepuluh jam jauh lebih
baik jika dilakukan dalam frekuensi lima kali dengan durasi masing-masing dua
jam daripada hanya dilakukan dua kali dengan durasi masing-masing lima jam.
Harus kita ingat, dalam proses belajar juga
dikenal adanya faktor fatigue (kelelahan), baik secara fisik, kognitif,
maupun psikologis. Kalau salah satu atau bahkan semua faktor kelelahan muncul,
dapat dipastikan daya serap kegiatan belajar akan menurun, dan bahkan bisa
mencapai nihil karena kegiatan itu telah sampai pada titik kejenuhan.
Dengan demikian, tidak bijak kalau ada orang
tua dan guru memberi tekanan yang berlebihan kepada siswa untuk belajar
habis-habisan semalam suntuk pada saat UN berlangsung. Pada saat UN
berlangsung, siswa seharusnya tidak terlibat lagi belajar mati-matian.
Sebaliknya, para siswa harus rileks, santai, hanya cukup melakukan review
mata pelajaran yang akan diujikan keesokan harinya dengan cara skimming
di buku-buku yang telah mereka pelajari selama ini.
Hal ini perlu dilakukan agar siswa tidak
mengalami stres sehingga mengacaukan struktur kognitif yang mengakibatkan
sulitnya melakukan rekonstruksi kembali berbagai informasi yang ada dalam
pikiran mereka, ketika para siswa peserta UN harus melakukan retrieval
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam UN. Santai dan rileks pada hari-hari
UN hanya dapat dilakukan jika para siswa memang belajar secara teratur sejak
jauh-jauh hari sebelum penyelenggaraan UN. Bagi yang belajarnya tidak teratur,
tidak terdistribusi dengan baik sepanjang tahun, memang begitulah risiko dan
ongkosnya, harus cemas, belajar semalam suntuk, dan mengalami stres berlebihan
ketika menghadapi UN.
Jika siswa masuk dalam kelompok ini, mereka
sangat rentan secara psikologis sehingga rusaklah self concept yang ada
pada dirinya. Akibatnya, mereka tidak percaya diri, yang ujung-ujungnya
kelompok siswa seperti ini sangat mudah terkecoh oleh ulah orang-orang yang
tidak bertanggung jawab, yang dengan sengaja menyebarkan rumor atau isu dan
kabar burung tentang kunci jawaban UN yang bisa dimiliki melalui layanan SMS
dengan tarif yang berjenjang, sesuai dengan derajat kebenaran kunci jawaban
(palsu) itu.
Perbaikan Sistem
Ujian nasional tahun ini sudah mengalami
perbaikan yang sangat signifikan. Perbaikan ini dilakukan karena pemerintah
mendengar masukan dari masyarakat, dan juga karena kebutuhan sistem secara
internal agar UN bisa berjalan dengan baik, sehingga bisa menilai dan mengukur
apa yang seharusnya dinilai dan/atau diukur. Dengan menggunakan terminologi
ilmiah, perbaikan itu dilakukan agar UN memiliki reliabilitas yang tinggi,
serta memiliki validitas internal dan eksternal yang baik.
Perbaikan itu meliputi antara lain (1) jumlah
mata pelajaran yang diujikan, dari hanya tiga mata pelajaran: bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan matematika, menjadi lebih dari tiga, bahkan lima dan/atau
enam, mata pelajaran yang ada dalam kurikulum sekolah; (2) penentuan kelulusan
yang hanya menggunakan nilai tunggal UN akhirnya menggabungkan nilai UN (60
persen) dan nilai ujian sekolah (40 persen) sebagai syarat kelulusan; (3)
penggandaan soal, yang semula diadakan di daerah, kini dipusatkan agar keamanan
soal bisa dikendalikan.
Hanya percetakan yang memiliki prosedur dan
sistem security printing yang bisa ikut dalam penggandaan soal UN tahun
ini. Hal ini dilakukan, karena sumber utama kebocoran soal terletak pada
percetakan yang tidak memiliki prosedur dan sistem security printing.
Semua perbaikan itu dilakukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan UN.
Jika kita menggunakan bahasa kebijakan, perbaikan itu dilakukan agar UN dapat
dilaksanakan secara baik, adil, dan benar. Hal ini perlu ditegakkan karena UN
menyangkut nasib jutaan siswa dan ribuan sekolah di seluruh Tanah Air.
Pelaksanaan UN sungguh masif, dan dengan
demikian merupakan pekerjaan raksasa. Betapa tidak, data yang ada di Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan per 26 Februari 2012
menunjukkan sebanyak 18.042 SMA/MA, dengan jumlah siswa 1.538.539 orang dari
jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa, dan Agama, akan
mengikuti UN tahun ini. Tidak hanya itu, untuk SMK sudah terdata 9.098 sekolah
dengan jumlah siswa 1.052.973 anak. Belum lagi yang ada di jenjang SMP/MTs,
sebanyak 49.418 sekolah, yang mencakup 3.732.649 siswa. Jika sekolah dan siswa
kita jumlahkan tanpa memperhatikan jenjang dan jenis pendidikan, UN tahun ini
akan diikuti oleh 76.558 sekolah, dengan jumlah siswa 6.324.611 anak. Sungguh
merupakan kegiatan raksasa, jumlahnya mirip kegiatan pemilihan kepala daerah
sebuah kabupaten/kota. Karena itu, semua kepala dinas pendidikan di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota harus memiliki persiapan yang baik dan matang
dengan berkoordinasi secara efisien serta efektif dengan institusi terkait,
seperti kepolisian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, perguruan tinggi,
serta sekolah-sekolah di daerah masing-masing.
Jujur dan (Ber)prestasi
Semua stakeholder pendidikan harus
memahami bahwa UN tahun ini akan dilaksanakan dengan prinsip kejujuran yang
tinggi. Itulah sebabnya, tagline dan semangat melaksanakan UN tahun ini
adalah jujur dan prestasi. Kejujuran merupakan nilai universal yang patut dan harus
dimiliki semua pihak yang terkait dengan penyelenggaraan UN, antara lain siswa,
guru, pengawas, orang tua, penyelenggara, dan pemerintah daerah sekalipun.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
memiliki data yang sangat menarik mengenai indeks kejujuran tiap sekolah, yang
kalau diagregatkan mencerminkan jujur-tidaknya suatu pemerintah daerah dalam
melaksanakan UN. Sangat masuk akal dan merupakan kategori imperatif jika
kejujuran menjadi pilar penting dalam penyelenggaraan UN. Karena mulai tahun
ini ada perbaikan signifikan dalam penyelenggaraan UN terkait dengan integrasi
pendidikan menengah dengan pendidikan tinggi, nilai UN akan dan bisa digunakan
sebagai tiket untuk memasuki perguruan tinggi. Jumlah mahasiswa yang direkrut
di perguruan tinggi negeri tahun ini, paling tidak 60 persen dari mahasiswa
baru itu, harus didasarkan pada nilai UN para siswa. Karena itu, UN tahun ini
harus jujur agar dalam jangka panjang tidak merusak kualitas perguruan tinggi
kita.
Karena harus menjunjung tinggi kejujuran,
pemerintah daerah juga harus ikut bertanggung jawab dan mengkampanyekan
pentingnya kejujuran dalam pelaksanaan UN di daerahnya masing-masing. Sudah
bukan zamannya lagi jika seorang kepala daerah memberikan instruksi dan tekanan
kepada dinas pendidikan agar berbuat apa saja demi tingkat kelulusan 100
persen, yang berakibat pada ketidakjujuran penyelenggaraan di tingkat sekolah
dengan menempuh berbagai cara, seperti menyediakan joki, mengubah lembar
jawaban, dan membocorkan kunci jawaban.
Begitu juga di tingkat ujian sekolah, harus
menjamin nilai kejujuran. Jangan melakukan markup nilai ujian sekolah,
dengan motif negatif, agar jika digabungkan bersama nilai UN memiliki tingkat
kelulusan yang tinggi. Kalau hal ini terjadi, kejujuran kurang bisa ditegakkan
di sekolah itu sendiri. Data di tingkat nasional memiliki kecenderungan sekolah
memberi nilai terlalu longgar terhadap ujian sekolah. Buktinya, selalu ada
perbedaan nilai secara signifikan antara ujian sekolah dan UN. Terlebih sekolah
yang kurang bermutu selalu suka "mentraktir" nilai lebih banyak
dibanding sekolah yang bermutu. Praktek seperti ini harus segera ditinggalkan
mulai tahun ini. Sekolah yang baik ialah sekolah yang berani tidak meluluskan
siswanya yang memang tidak lulus. Inilah makna kejujuran dalam praksis
pendidikan di tingkat sekolah. Tahun ini sekolah dengan kepemimpinan kepala
sekolahnya masing-masing harus melaksanakan UN dengan semangat: jujur dan
berprestasi. Semoga semua sekolah bisa begitu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar