Penyebab
Kerusuhan Penjara
Ahmad Taufik, PENULIS
BUKU BISNIS SEKS DI BALIK JERUJI,
ADVOKAT PADA STP LAW OFFICE, JAKARTA
SUMBER : KORAN TEMPO, 9 Maret 2012
Kerusuhan di penjara sebenarnya bukan yang
pertama kali terjadi, dan bukan hanya di Indonesia. Sebelum rusuh di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Kerobokan, Bali, yang mendapat perhatian media massa, dalam
pekan yang sama kerusuhan dan kebakaran juga terjadi di penjara Apocada,
Monterey, Meksiko, yang menyebabkan 44 narapidana tewas, dan di Honduras, yang
menyebabkan 375 orang tahanan meninggal. Jika melihat jumlah korbannya,
kerusuhan di Penjara Kerobokan tidak ada apa-apanya.
Namun efek media massa, terutama televisi,
yang memberitakan kerusuhan dan penguasaan penjara oleh narapidana, membuat
kita merasa dekat bahwa hal yang sama juga terjadi di sini, Indonesia. Belum
lagi LP Kerobokan terkenal dengan banyaknya tahanan asing, asal negeri tetangga
Australia, dan Bali adalah pulau turis mancanegara yang terkenal di berbagai
belahan dunia.
Ada tiga pemicu utama yang menyebabkan
terjadinya kerusuhan di suatu penjara. Pertama, bisnis. Bukan rahasia umum,
penjara merupakan lahan bisnis, mulai dari tahap penempatan, kenyamanan, hingga
ruang keintiman. Seseorang yang masuk sebuah penjara jika ingin mendapatkan
tempat yang layak bisa memesan ruang yang diinginkannya. Sel, ruang, atau blok
biasanya sudah dikuasai seseorang, baik yang berada di dalam maupun di luar
penjara, atau bisnis sipir (petugas penjara).
Di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat,
misalnya, untuk meminta ruang yang diinginkan, seseorang bisa membayar Rp 2
juta sampai Rp 15 juta, tergantung kondisi sel dan blok yang sudah
dikapling-kapling itu. Belum lagi uang mingguan, bulanan, listrik, alat-alat
elektronik, dan biaya lainnya. Bahkan, jika dibesuk, ada juga uang macam-macam,
dari panggilan tamping, buka kunci (sel), pintu, setoran blok, hingga hal-hal
lain.
Begitu juga, untuk memperoleh keamanan dan
kenyamanan, seseorang harus menyetor dana khusus sebagai voorman
(narapidana kepala blok) atau petugas (sipir) penjara. Seorang akan bebas dari
gangguan tahanan abal-abal (kecil tapi kadang-kadang merepotkan), bebas menggunakan
telepon seluler dan alat-alat elektronik, seperti televisi, kipas angin,
kulkas. Belum lagi bisnis-bisnis yang beredar dimulai dari yang legal, seperti
makanan, bacaan, hiburan, dan sebagainya, sampai yang ilegal, seperti judi,
ganja, ekstasi, sabu-sabu (narkoba), dan prostitusi.
Kerusuhan bisa terjadi juga karena kesamaan
kelompok. Selama menjalani hukuman di dua rumah tahanan dan tiga lembaga
pemasyarakatan, selama hampir tiga tahun, yang paling jelas adalah di tiga
tempat: Salemba, Cipinang, dan Cirebon-Jawa Barat. Di Rutan Salemba, Jakarta
Pusat, pengelompokan bisa terjadi mulai berdasarkan asal tahanan (polisi),
daerah asal (seperti Tanjung Priok), suku, hingga jenis kasus. Di LP Cipinang,
Jakarta Timur, yang paling kentara adalah pengelompokan berdasarkan suku atau
sebutan (seperti Arek/Jawa, Korea/Batak, atau Ambon). Di LP Cirebon, juga
terjadi pengelompokan berdasarkan asal tahanan (pindahan dari daerah tertentu),
pribumi, atau suku yang mengeras.
Saat saya tinggal di LP Cirebon, terjadi kerusuhan
besar antara tahanan asal Bandung dan “pribumi” (Cirebon/Indramayu dan
sekitarnya) ditambah kelompok asal Cipinang. Kebetulan saat itu saya sudah
bekerja di luar sel, dan turut membersihkan batu-batu dan senjata-senjata
(sikim) bekas kerusuhan itu. Awal bentrokan hanya dimulai dari persoalan kecil
saling tersinggung antara tahanan asal Bandung dan pribumi (Cirebon), tak jauh
dari masjid di dalam penjara itu. Penjara percontohan yang dikenal disiplin
pada masa itu (tahun 1996) porak-poranda dalam sekejap.
Kedua pemicu di atas berhubungan erat dengan
pemicu ketiga, diskriminasi. Nah, perlakuan diskriminatif yang diterapkan
sipir, mulai penjaga sampai kepala LP, terhadap tahanan berada dan anak ilang
(abal-abal) sering kali menyulut awal kerusuhan itu. Perlakuan diskriminatif
itu adalah puncak gunung es yang dibawa sejak sebelum tahanan itu masuk rutan
atau LP. Perlakuan itu dimulai sejak orang mulai dilaporkan polisi, diselidiki,
disidik, ditahan, diproses dalam pemeriksaan polisi, pemberkasan, pelimpahan
kepada jaksa, penahanan jaksa, penuntutan, proses sidang, putusan hakim, proses
lanjutan, sampai eksekusi penahanan. Di rumah tahanan, proses diskriminasi itu
masih berlanjut, mulai dari penempatan, kunjungan, fasilitas, hak remisi,
asimilasi, pembebasan bersyarat sampai kembali ke luar penjara.
Kadang-kadang ada pula perlakuan yang di luar
kewajaran yang dilakukan sipir penjara sehingga para tahanan atau narapidana
berontak. Seperti penyiksaan, pemerasan atau perlakuan sewenang-wenang lain
yang dianggap keterlaluan. Tentu saja semua yang disebut di atas bukanlah niat
yang dimaksud Menteri Kehakiman Saharjo saat mencetuskan sistem pemasyarakatan
pada 5 Juli 1963 yang kemudian diadopsi oleh amanat Presiden pada 27 April 1964
untuk menggantikan sistem penjara. Rumusan Saharjo pada waktu itu, “Di samping
menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan
bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya menjadi seorang
anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.”
Dari rumusan Menteri Saharjo itulah, tercipta
10 prinsip sistem pemasyarakatan, yaitu (1) Orang yang tersesat diayomi juga,
dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna
dalam masyarakat; (2) Menjatuhkan pidana bukan tindakan balas dendam dari
negara; (3) Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan
bimbingan; (4) Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk/jahat daripada
sebelum ia masuk lembaga; (5) Selama kehilangan kemerdekaan bergerak,
narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan
daripadanya; (6) Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh
bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan bagi kepentingan jawatan atau
kepentingan negara sewaktu saja; (7) Bimbingan dan didikan harus berdasarkan
Pancasila; (8) Tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai
manusia, meskipun tersesat; (9) Narapidana hanya dijatuhi hukuman kehilangan
kemerdekaan; (10) Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru yang
sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan.
Alih-alih ideal seperti 10 prinsip di atas,
ternyata sistem pemasyarakatan pada prakteknya tak jauh berbeda dengan sistem
penjara, malah lebih buruk lagi dengan adanya berbagai bisnis di dalamnya.
Memang sulit menuju sistem pemasyarakatan atau penjara yang ideal, apalagi jika
mengingat kapasitas penjara di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia overloaded
(kelebihan penghuni).
Penjara juga cerminan suatu masyarakat. Jika
persoalan penjara tak segera diatasi, jangan-jangan revolusi bisa terjadi dari
penjara, seperti yang terjadi pada 14 Juli 1789, saat Penjara Bastille,
Prancis, diduduki dan memicu pecahnya Revolusi Prancis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar