Jumat, 09 Maret 2012

Adab Perempuan


Adab Perempuan
Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 9 Maret 2012



Dari perayaan hari jadi ke-70 dua legenda dunia beberapa waktu lalu, ilmuwan Stephen Hawking dan petinju Muhammad Ali, ternyata muncul satu jawaban yang sama dari dua pertanyaan yang diajukan secara berbeda, situasi, latar belakang, dan tujuannya. 
Jawaban sama kedua tokoh di atas sebenarnya juga merupakan jawaban dari pertanyaan platonik, “Hal apakah di semesta ini yang menjadi medium terbaik untuk manusia mencapai keutuhannya, dan akhirnya mencapai (hakikat)-Nya?”. Pertanyaan ini saya ajukan di masa SMA dulu.

Sementara itu, dua pertanyaan lain yang diajukan masing-masing pada perayaan hari jadi dua tokoh di atas, pertama pada Hawking, “Hal apa sebenarnya yang menjadi misteri terbesar dalam hidup Anda?”, dan kedua pada Ali, “Siapakah lawan terberat yang paling sulit Anda taklukkan?”

Untuk tiga pertanyaan itu, ternyata muncul satu kata yang persis sama: “Perempuan”. Jawaban ini terdengar sangat maskulin dan machoistik. Mungkin. Namun, mungkin pula jawaban sama akan berlaku jika semua pertanyaan di atas diajukan kepada pihak atau sasaran sebaliknya. 

Pada kenyataanya, kita harus jujur mengakui, lelaki dan perempuan, jantan dan betina, adalah dua ciptaan dengan kualitas serupa yang kekurangan kodrati dan kebudayaannya hanya bisa ditutupi dan diatasi lawan jenisnya. Inilah interkomplementasi terbaik, terumit, juga terindah yang bisa terjadi di bawah langit ini.

Tanpa prasangka di balik jawaban serupa di atas, kita tentu bisa mengakui jujur, ternyata kebudayaan tumbuh dan peradaban dibentuk sebuah pemahaman, aksi hingga kreasi yang lebih menguntungkan (dominasi) lelaki. Sebuah adab dan budaya yang machoistik mengunggulkan kriteria-kriteria dasar maskulinitas.

Semua sektor kehidupan kita: politik, agama, ekonomi-bisnis, kekuasaan, pendidikan, hingga pada soal-soal modis seperti busana, sepatu, perhiasan atau tata wajah, seakan memihak lelaki.

Maskulinitas Kontinental

Saya harus mengatakan, dengan argumentasi dan data yang bukan menjadi tujuan tulisan ini, peradaban macho itu merupakan akar atau fundamen dari peradaban kontinental (daratan), bukan maritim (kelautan).

Apa yang jelas terterima (taken for granted) oleh kita dari sejarah manusia dan kebudayaannya, perempuan ternyata begitu minor, ternafikan, bahkan menjadi pinggiran dalam pertimbangan kita di semua urusan, terutama dalam mekanisme kekuasaan di berbagai bidang.

Dengan posisi dan pengertian sebagaimana jawaban serupa di atas, perempuan adalah fakta historis dan kultural dari dominasi, represi, atau pengingkaran kaum lelaki. Bahkan itu juga terjadi di negara-negara yang di masa mutakhir ini memiliki klaim sebagai anggota komunitas modern yang progresif, demokratis, antidiskriminasi, egaliter, pembela HAM, dan sebagainya.

Katakanlah negeri-negeri semacam Prancis, Rusia, Jepang, China, atau Spanyol, Italia, hingga kaum jiran seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan banyak negeri di Afrika, hampir tidak pernah merelakan pucuk kekuasaannya pada perempuan.

Yang paling ironis dan memalukan dari kenyataan di atas, justru ini terjadi di negeri yang memiliki klaim terbesar, bahkan merasa memiliki hak untuk secara represif memaksa negeri lain mengafirmasi klaim tentang kesetaraan: Amerika Serikat (AS).

Di sektor politik, misalnya, negeri kaum imigran itu tidak memberi satu pun nama seorang perempuan dalam jajaran puluhan presidennya, bahkan juga “sekadar” jabatan wakil presiden.

Hal tersebut telah terjadi dua ratus tahun lebih. Menarik diamati kasus terakhir, dalam pemilu presiden AS tiga tahun lebih lalu yang memunculkan dua alternatif kandidat Partai Demokrat: Barrack Obama dan Hillary Clinton. 

Dalam pemilihan calon-presiden tunggal itu rakyat Amerika, sekurangnya pendukung Partai Demokrat—yang relatif lebih terbuka, egaliter dan progresif ketimbang seteru abadinya, Partai Konservatif—sebenarnya memiliki dua kandidat capres yang berpeluang menciptakan sejarah baru negara adidaya itu.

Bila Obama yang terpilih, sejarah baru itu tercipta karena ia menjadi warga berkulit gelap pertama yang memimpin negeri adidaya itu. Begitupun bila Hillary terpilih, AS mencatatkan sejarah besar dengan “mengizinkan” perempuan memimpin bangsa itu untuk kali pertama. 

Namun apa yang terjadi? Ternyata sebagian besar rakyat Amerika lebih memilih calonnya yang berkulit gelap, yang dahulu dihina, disebut neger, dan disiksa luar biasa sebagai budak.

Padahal bagi Hillary, kesempatan itu sangat langka, dan sulit terulang, karena semua kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya hampir tidak tersaingi pemimpin perempuan AS mana saja, setidaknya hingga saat pemilihan di masa itu.

Kebohongan Apologetis

Semua hal di atas menjadi bukti bagaimana machoisme sebenarnya sudah menjadi kesadaran tersembunyi yang kemudian membangun struktur kehidupan dan kebudayaan manusia, termasuk di negeri ini.

Sekurangnya ini terjadi sejak kebudayaan Arya masuk ke separuh wilayah negeri ini melalui pangeran, pendeta, dan pedagang India di awal abad Masehi. Tapi, pengaruh itu melesap hingga sekarang, bukan hanya dalam soal pembagian kerja, pembagian rezeki, hingga soal kecil penyebutan “bapak-bangsa”, dan lainnya.

Bahkan munculnya presiden perempuan pertama di negeri ini pun mungkin dapat dikatakan by political accident, tidak melalui proses pemilihan yang ketat. Fakta memperlihatkan realitas elite politik, ekonomi, agama, dan sebagainya dari negeri modern ini dikuasai adab “lelaki” di atas.

Walau pada tingkat lokal sebenarnya sejarah negeri ini bicara dengan fakta yang agak berbeda. Sejak masa feodal hingga kolonial dan pembebasannya, sejarah itu diisi pula oleh fakta adanya pemimpin-pemimpin—formal dan tidak—perempuan. 

Hal itu terjadi bukan hanya karena latar peradaban primordial kita yang maritim dan cenderung matrilineal, namun juga karena latar geografis dan geologis kita yang memberi ruang dan peluang bagi perempuan untuk hadir, beraktualisasi, dan menunjukkan kemampuannya yang setara lelaki (bahkan di sebagian hal melebihinya).

Kita bisa menyaksikan sisa-sisa hal itu pada adat dan adab yang masih terpelihara (sebagian) dalam suku bangsa atau etnis-etnis kita. Di Bali, Makassar, Maluku, hingga Minang atau Aceh, misalnya.

Namun, tak dapat ditolak, ternyata semua perangkat kebudayaan—yang kita internalisasi selama masa kolonialisme 2.000 tahun—hingga sistem-sistem kemasyarakatan dan kenegaraan kita mutakhir, bukan hanya sekadar mengingkari, tapi juga menciptakan ranjau luar biasa bagi adab perempuan.

Ini merupakan satu kenyataan yang dalam “rasionalitas penuh prasangka kontinental” kita saat ini, secara permanen, sulit untuk disadari, terlebih untuk dipertimbangkan kembali.
Setidaknya dengan sebuah pertimbangan sederhana, interkomplementasi yang seimbang dan setara antara kedua kodrat genital itu akan membangkitkan energi dan sinergi yang lebih dahsyat, ketimbang—katakanlah—dengan adab yang memberi dominasi pada lelaki.

Kerja ini bukan hanya berlangsung dalam kaidah-kaidah normatif, dalam tradisi baru, atau rekonstruksi sistemik, tetapi lebih penting dan mulia bila itu dimulai dari sikap dan perilaku individual.

Persoalan, memang pada akhirnya, lebih berpulang pada kaum lelaki, dengan tawaran penyelesaian yang tetap saja maskulin: hendakkah lelaki berbagi? Sungguh ini penyelesaian yang sangat tidak mudah. Bukan saja karena lelaki enggan membagi peran dengan perempuan, tetapi bahkan perempuan telah diposisikan sebagai harta yang didominasi secara pribadi.

Akan tetapi, demi sebuah perubahan yang sejati, demi temuan-temuan bersolusi bagi persoalan-persoalan kompleks mutakhir, demi masa depan yang habis-habisan kita impikan, semua pihak—lelaki, khususnya—harus keras dan memaksa diri memulai usaha ini.

Hanya saja, saya khawatir lelaki tidak mampu melakukan ini, bukan karena mereka terbukti lemah—dalam banyak hal—ketimbang perempuan, tetapi juga karena bisa jadi mereka tak berhasrat menyempurnakan identitas kemanusiaannya.

Karena dengan keadaan aktual saat ini, lelaki bisa tetap bebas membuat segala jenis apologi bagi “kebohongan” peradaban yang dilakukannya. Kita membutuhkan banyak pelopor, juga dalam hal ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar