Ekonomi-Politik
Kompensasi Kenaikan Harga BBM
Khudori, PEGIAT
ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI),
ANGGOTA KELOMPOK KERJA AHLI DEWAN KETAHANAN
PANGAN PUSAT (2010-2014)
SUMBER : KORAN TEMPO, 9 Maret 2012
Kenaikan harga bahan bakar minyak kini menjadi
keniscayaan. Setelah program pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan
konversi BBM ke gas menuai protes bertubi-tubi, pemerintah sepertinya tegap
melangkah: per 1 April harga BBM akan naik sebesar Rp 1.500-2.000 per liter.
Selain untuk menyelamatkan APBN, menurut pemerintah kenaikan harga itu adalah
konsekuensi meroketnya harga BBM yang tersengat konflik AS-Iran. Menurut
kalkulasi, dengan tingkat kenaikan sebesar itu akan dihemat subsidi sebesar Rp
57-76,15 triliun. Pemerintah tidak ingin subsidi BBM tahun ini sebesar Rp 123,6
triliun akan membengkak seperti tahun lalu (dari Rp 129,7 triliun menjadi Rp
160 triliun).
Di luar itu, seperti yang sudah-sudah,
kenaikan harga BBM didasari melencengnya subsidi. Menurut pemerintah, subsidi
banyak dinikmati kaum berpunya, bukan warga miskin. Menyadari dampak negatif
kenaikan harga BBM terhadap warga miskin, pemerintah memberikan kompensasi. Ada
empat bentuk kompensasi. Pertama, bantuan langsung tunai (BLT) Rp 150 ribu
kepada 18,5 juta rumah tangga (74 juta jiwa) selama sembilan bulan. Kedua,
penambahan subsidi siswa miskin. Ketiga, penambahan jumlah penyaluran beras
untuk warga miskin (raskin). Keempat, subsidi pengelola angkutan masyarakat.
Pemerintah yakin, dengan empat bentuk
kompensasi itu kenaikan jumlah warga miskin sebesar 1-1,5 persen bisa
dihindari. Bahkan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono yakin
ada peluang warga miskin yang saat ini berjumlah 29,89 juta orang (12,36
persen) bisa ditekan. Agung mengutip hitungan BPS bahwa kenaikan harga BBM Rp
1.500 per liter hanya menaikkan inflasi 1-2 persen. Secara akademik, data-data
itu terbuka diperdebatkan. Sebab, bagaimanapun canggihnya sebuah pisau
analisis, ia tidak bisa mewakili realitas obyektif. Output-nya
bergantung pada asumsi yang dibangun dan “alat” analisis yang digunakan.
Pada 2005, pemerintah dua kali menaikkan
harga BBM dengan total kenaikan 87 persen. Dengan memanfaatkan kalkulasi
LPEM-FEUI, pemerintah yakin kenaikan harga BBM yang disertai program kompensasi
akan menurunkan jumlah penduduk miskin dari 16,43 persen menjadi 13,87 persen.
Kenyataannya, kenaikan harga BBM mendongkrak inflasi menjadi 17,1 persen dan
jumlah warga miskin justru naik dari 15,97 persen menjadi 17,75 persen (BPS,
2007). Sekali lagi, perhitungan-perhitungan semacam ini dilakukan dengan
sejumlah asumsi yang tidak mungkin mewakili realitas sesungguhnya. Hasilnya
bisa saja menyesatkan.
Mempercayai hasil perhitungan
teknis-matematis semacam itu sama saja kita percaya bahwa di negeri ini sudah
tidak ada korupsi, birokrasi sudah siap dan kapabel dalam menjalankan program
kompensasi, aktivis LSM sepenuhnya mandiri dan berada di pihak yang lemah, dan
birokrat serta komunitas bisnis serta politik sudah jauh-jauh meninggalkan
sikap sebagai rent seeker. Faktanya, kondisi sosial-ekonomi, politik,
dan budaya kita nyaris tidak berubah. Dengan demikian, hasil perhitungan itu
bisa jadi benar di atas kertas. Tapi, secara empiris, belum tentu sesuai dengan
kondisi di lapangan.
Apalagi, pengalaman program kompensasi BBM di
masa lalu tidak cukup meyakinkan untuk membuat kita percaya bahwa kapasitas
pemerintah dengan birokrasi pelaksana dan pengawasannya sudah cukup cakap.
Mereka sudah jauh dari mental korup dan oportunistik. Contohnya, dari Rp 4,4
triliun dana kompensasi BBM tahun 2003, hanya Rp 2,94 triliun (66,3 persen)
yang bermanfaat bagi kelompok sasaran. Sisanya, Rp 0,939 triliun (21,2 persen)
bermanfaat tapi salah sasaran karena diterima bukan oleh kelompok sasaran.
Bahkan Rp 0,553 triliun (12,5 persen) seharusnya tak masuk program kompensasi
BBM (Indef, 2003).
Seandainya hasil perhitungan tersebut benar,
menggunakan hal ini sebagai judgement kenaikan harga BBM adalah
kamuflase yang menyesatkan dan menipu publik. Tidak banyak diketahui publik,
dana kompensasi kenaikan harga BBM itu bersumber dari utang. Itu artinya,
kompensasi kenaikan harga BBM tidak lebih dari “suap politik” penguasa kepada
rakyat. “Suap politik” diberikan agar kebijakan kenaikan harga BBM tidak
diprotes. Mengguyur rakyat dengan kompensasi Rp 30-40 triliun di saat
popularitas partai penguasa merosot kian memperkuat dugaan modus “suap politik”
itu.
Selain itu, menggunakan kalkulasi di atas
sebagai judgement jelas menyesatkan. Sebab, muncul kesan seolah-olah
santunan sosial, akses pendidikan, kesehatan dan beras murah, hanya bisa
dilakukan apabila subsidi BBM dipangkas. Padahal sesungguhnya tidak demikian.
Adalah amanat konstitusi bahwa negara menyediakan penghidupan yang layak,
tempat tinggal, dan lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi rakyat, serta
rakyat berhak memperoleh pelayanan kesehatan (pasal 28h ayat 1), akses
pendidikan (pasal 31ayat 1 dan 2), dan hak untuk dipelihara bagi fakir miskin
dan anak-anak telantar (pasal 34 ayat 1).
Rakyat juga berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2), hak atas jaminan
sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat (pasal 28h ayat 3), hak mendapatkan fasilitas pelayanan umum yang
layak (pasal 34 ayat 1), dan hak mengembangkan diri lewat pemenuhan kebutuhan
dasar (pasal 28c ayat 1). Ada-tidaknya pengurangan subsidi BBM tidak
menghapuskan kewajiban negara untuk memenuhi hak dasar warganya itu.
Selama ini kewajiban tersebut belum
ditunaikan dengan baik oleh negara. Dengan memeluk erat-erat neoliberalisme,
negara punya alasan tidak terlibat lagi dalam urusan-urusan publik. Intervensi
negara dalam berbagai sektor publik dianggap sebagai biang distorsi. Pasar
dipercaya amat perkasa dan bahkan bisa meregulasi diri sendiri. Kebijakan “emoh
negara” itu terus-menerus dikampanyekan oleh kolaborasi birokrat, intelektual,
aktivis LSM, kaum profesional, rohaniwan, jurnalis, pengusaha, politikus, dan
akademisi ke ruang-ruang publik. Itu semua dilakukan untuk lepas tangan dari
tanggung jawab.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Jantung
persoalannya adalah tidak adanya keseriusan penyelenggara negara untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban normatif kepada rakyatnya. Memberikan kompensasi dengan
mengurangi subsidi BBM seolah-olah jadi satu-satunya solusi negara dalam
memenuhi kewajiban dan tanggung jawab kepada rakyat. Tidak pernah dicoba
cara-cara penyelesaian yang tidak ad hoc, reaktif, dan jangka pendek,
seperti merenegosiasi kontrak tambang, mengoptimalkan pengolahan BBM domestik,
investasi besar-besaran dalam penemuan cadangan migas baru, memasifkan konversi
ke gas, dan pengembangan bahan bakar alternatif. Tanpa program yang berdimensi
jangka panjang, negeri ini akan selalu terjebak dalam pusaran tanpa solusi
konkret karena harga BBM merupakan variabel yang sepenuhnya tidak berada dalam
kendali pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar