Pengadilan
Opini untuk Anas
Indra Tranggono, BUDAYAWAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 22 Maret 2012
Peluru pernyataan Anas Urbaningrum meluncur
beberapa waktu lalu. “Saya yakin. Yakin. Satu rupiah saja Anas korupsi di
Hambalang, gantung Anas di Monas,” ujar Anas membantah keterlibatannya dalam
dugaan korupsi proyek Pusat Olahraga Hambalang, Bogor.
Pernyataan yang mengandung sumpah itu,
mungkin dimaksudkan Anas sebagai “jaminan moral” atas kejujurannya dalam
menghadapi serangkaian tuduhan atas dirinya. Tampaknya, ia menempuh “perlawanan
total” atas berbagai isu korupsi yang menyudutkannya. Ia pun berani
mempertaruhkan integritasnya sebagai tokoh politik.
Namun, di dalam ranah hukum, statement apa
pun selalu membutuhkan pembuktian yuridis. Kepastian hukum tak bisa hanya
dilawan dengan opini, melainkan dengan fakta.
Opini hanya berfungsi membangun persepsi
publik, namun ia tak bisa membebaskan seseorang yang telanjur “tenggelam dalam”
asumsi dan stigma tertentu yang muncul dalam proses hukum. Di sini segala bentuk
“perlawanan opini” seperti peluru-peluru hampa, tanpa disertai pembuktikan
yuridis.
Anas Urbaningrum menjadi tokoh politik yang
paling disorot publik belakangan ini. Sejak mencuat kasus dugaan
suap/korupsi Wisma Atlet SEA Games di Palembang dan proyek Kompleks Olahraga
Hambalang yang melibatkan terdakwa M Nazaruddin, nama Ketua Umum Partai
Demokrat itu tak henti-hentinya muncul di media massa sebagai tokoh yang
“diduga terlibat”.
Nazaruddin dan Mindo Rosa Manulang menyebut
Anas “ketua besar”. Anas menganggap semua sangkaan itu sebagai pengadilan
opini.
Pengadilan opini adalah “tindakan yuridis”
yang dilakukan atas dasar pendapat/ anggapan subjektif. Di sini, berbagai
pendapat dibangun dan dipersepsikan untuk menentukan salah-benar seseorang.
Pengadilan opini dianggap melanggar asas praduga tak bersalah yang menjadi
prinsip hukum karena opini tak bisa dijadikan dasar memutuskan perkara.
Kamus Filsafat tulisan Lorens Bagus (1996)
menyebutkan opini merupakan keyakinan yang didasarkan atas pandangan yang dikembangkan
secara pribadi atau yang dipikirkan orang tentang sesuatu; tetapi tidak secara
niscaya mengandung penilaian definitif/pasti.
Adapun fakta berarti (1) kejadian, kualitas,
hubungan, keadaan yang sungguh-sungguh terjadi (ada). Apa yang aktual, nyata.
Apa yang ada. (2) Situasi atau keadaan yang terjadi.
Media dan Persepsi Publik
Media massa (cetak dan elektronik) punya
andil besar dalam perbesaran perkara dugaan korupsi, di mana Anas menjadi salah
satu “primadon” (istilah untuk laki-laki, sedang untuk perempuan disebut
primadona) pemberitaan.
Meskipun belum diperiksa atau menjadi saksi,
di media nama Anas telah muncul sebagai salah satu aktor penting yang diduga
terlibat. Tentu saja ini berkat “nyanyian” Nazaruddin dan Mindo Rosa
Manulang.
Kesaksian Nazaruddin dan Mindo soal Anas
merupakan fakta persidangan yang juga bisa menjadi fakta hukum. Berkat media,
fakta itu mengalami perbesaran menjadi fakta sosial. Di ranah itu, Anas
berulang kali membantah tuduhan keterlibatannya.
Anas mencoba melakukan perlawanan atas
tekanan fakta sosial. Diharapkan, bantahan, sanggahan atau penyangkalan itu bisa
menjadi fakta sosial baru yang dapat menetralisasi keadaan yang menekan
Anas.
Sebagai politikus yang piawai, Anas
sangat paham bahwa berbagai tuduhan atau sangkaan atas dirinya sangat
berpotensi membunuh karakternya. Karena itu ia melawannya dengan berbagai
sanggahan. Di sini, Anas sesungguhnya bertarung di ranah publik, bukan di ranah
yuridis atas sangkaan yang memojokkan dirinya.
Dalam pertarungan di ranah publik itu, Anas
menghadapi persoalan besar yakni persepsi masyarakat yang telanjur terbangun dan
terbentuk oleh fakta-fakta persidangan yang muncul dari Nazaruddin dan Mindo.
Bahkan, seorang politikus menyebut, dalam persepsi masyarakat, Anas sudah
menjadi “tersangka”. Ini menunjukkan, persepsi bisa menghukum seseorang.
Persepsi (Inggris: perception, Latin: percipio)
bisa diartikan pandangan/ tanggapan dan pemahaman atas sesuatu. Dalam Kamus
Filsafat (1996) Lorens Bagus mengartikan persepsi adalah perolehan pengetahuan
melalui pancaindra dan pikiran.
Persepsi bisa bebas bahkan liar: tak bisa
diatur dan ditundukkan. Begitu persepsi terbentuk, setiap orang bisa
menggunakannya secara bebas, termasuk mengapresiasi atau menghukum seseorang.
Kini, Anas berada dalam kubangan persepsi
publik yang tidak menguntungkan dirinya. Anas bisa mengubah persepsi itu dengan
menunjukkan fakta-fakta yuridis di persidangan tentang posisinya yang
sesungguhnya (misalnya, ia memang tidak terlibat dalam perkara).
Tidak terlalu menolong, jika Anas hanya
melakukan pembantahan/penyangkalan melalui pernyataan di media. Pengadilan
opini publik akan terus terjadi, bahkan bisa lebih kejam.
Kita menunggu upaya yuridis Anas dan tindakan
KPK untuk memeriksa Anas, sehingga posisi yudiridis Anas tak lagi mengambang di
wilayah abu-abu yang sarat dengan syak dan wasangka. Pemeriksaan KPK–juga dalam
pengadilan tipikor—jika ada dugaan kuat Anas terlibat, justru menguntungkan
Anas.
Dengan menempuh proses peradilan yang jujur
dan adil, Anas bisa membuktikan posisinya yang sesungguhnya. Jika Anas dalam
posisi benar maka namanya akan melambung sebagai politikus bersih. Namun, jika
posisinya salah, nama dan karakternya akan hancur lebur. Kita menunggu
pengadilan untuk Anas. Dari sini pengadilan opini dan pelawanan opini, bisa
diakhiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar