Kamis, 22 Maret 2012

Ketidakadilan Ekologis dan Krisis Air


Ketidakadilan Ekologis dan Krisis Air
Tom Saptaatmaja, AKTIVIS LINGKUNGAN HIDUP,
ALUMNUS STFT WIDYA SASANA DAN SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
SUMBER : KORAN TEMPO, 22 Maret 2012



Apa akar permasalahan krisis ekologi yang di dalamnya termasuk krisis air? Jawabnya adalah ketidakadilan ekologis. Inilah pemicu terbesar bagi disharmoni di planet bumi. Kalau kita menengok sejarah, pada era kolonialisme, negara-negara maju, khususnya Eropa, tidak hanya menganeksasi dan menjajah negara-negara berkembang, namun sekaligus mengeksploitasi sumber-sumber kekayaan alam negara-negara tersebut. Pada titik ini, negara-negara maju berutang secara historis kepada negara-negara berkembang.

Sedangkan ketika masa kolonisasi berganti menjadi neokolonisasi seperti sekarang, negara-negara maju, melalui perusahan transnasional yang beroperasi di negara-negara berkembang, melanggar dua hak asasi manusia yang mendasar, yakni hak menentukan nasib sendiri dan hak atas lingkungan yang layak. Pada titik ini pula hak-hak individu, baik hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, maupun hak budaya penduduk yang bertempat tinggal di wilayah perusahaan tansnasional beroperasi, taruhlah Freeport, telah dilanggar secara sistematis dan terstruktur.

Konyolnya, banyak negara berkembang seperti Indonesia masih kurang menyadari dampak kehadiran perusahaan-perusahaan transnasional itu. Lihatlah kita malah menurunkan standar buruh dan lingkungan untuk mendapatkan investasi langsung dari luar negeri. Segenap regulasi atau undang-undang malah memberi kemudahan agar investor asing bisa leluasa mengeruk sumber daya alam, lalu pindah dengan mewariskan kerusakan ekologis tiada tara.

Mari disimak, Undang-Undang Penanaman Modal kita justru melegalkan hak guna usaha selama puluhan tahun. PP Nomor 2 Tahun 2008 mempersilakan investor tambang membuka kawasan hutan lindung untuk dieksplorasi kekayaan tambangnya. Hampir tidak ada regulasi yang bervisi ekologis. Ironis, bahaya bagi ekologi kita justru diundang masuk ke Tanah Air lewat regulasi.

Tidak mengherankan jika, menurut Susan George, lingkungan hidup sesungguhnya merupakan pihak yang paling kalah dalam percaturan globalisasi, akibat investasi dari negara-negara maju yang hanya berorientasi profit di wilayah negara-negara berkembang. Kelak, kalau mau diadakan “hitung-hitungan” secara jujur, hasil dari investasi tak akan sebanding dengan krisis ekologi yang tengah melanda dewasa ini.

Krisis Air

Seperti disebutkan di atas, krisis air merupakan salah satu dari krisis ekologi yang merupakan warisan dari kaum penjajah. Krisis air bisa beragam manifestasinya. Salah satunya adalah makin sulitnya kita mendapatkan air bersih karena banyak sumber air tiba-tiba seperti mengering dan berhenti mengeluarkan atau mengucurkan air. Ada puluhan bahkan ratusan sumber air di berbagai kawasan di Tanah Air, khususnya di Jawa, sudah mati.

Ironisnya, di tengah banyaknya sumber air yang sudah mati, justru banyak air tengah menggenangi banyak daerah, termasuk menenggelamkan rumah dan sawah penduduk. Maklum, sedang berlangsung bencana banjir di berbagai kawasan. Ada begitu banyak air melimpah, tetapi penduduk justru kekurangan air minum atau air untuk kebutuhan hidup lainnya. Ini jelas ironi yang memedihkan hati.

Mengapa banyak sumber air mati? Itu jelas dipicu semakin gundulnya hutan di banyak kawasan di negeri ini. Pada abad ke-18 dan ke-19, banyak hutan dibabati oleh Belanda. Hutan-hutan itu dialihfungsikan untuk ditanami kopi, cengkeh, atau tebu. Padahal hutan punya fungsi utama sebagai penyimpan air.

Konyolnya, hutan yang masih tersisa justru terus dibabati sehingga tidak ada lagi tempat yang menyimpan air hujan. Akibatnya, banyak daerah langganan tertimpa banjir bandang atau tanah longsor, sementara keberadaan sumber air bersih dari tahun ke tahun kian menipis saja. Dengan kata lain, telah terjadi krisis air.

Kasus Kota Besar

Di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, krisis air tidak bisa dianggap ringan. Persoalan air dan sanitasi di kota-kota tampak kian pelik. Maklum, tanpa air yang memenuhi standar kesehatan dan sanitasi, kita menghadapi ancaman kematian akibat berbagai penyakit, seperti diare, tifus, polio, dan cacingan. Menurut data Direktorat Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, sejak 2001 angka kematian akibat diare di negeri ini mencapai 23 per 100 ribu penduduk, termasuk tertinggi di dunia setelah India.

Memang pemerintah kita suka membuat berita baik bahwa makin banyak warga yang mempunyai akses ke air minum dan sanitasi dasar. Namun kabar baik ini akan segera menguap manakala kita melihat kenyataan di lapangan. Coba simak bahan baku untuk PDAM Surabaya, misalnya, diambil dari kali Surabaya yang sudah sedemikian tercemar. Sedangkan bagi warga kota lainnya, yang terpaksa mengambil dari air sumur, bakteri E-coli juga menjadi ancaman serius.

Ancaman tidak berhenti di situ, karena warga kita juga sering membangun jamban yang berdekatan dengan sumur. Bayangkan, ada jutaan jamban atau septic tank di kota-kota besar kerap dibangun dengan jarak kurang dari 10 meter dari sumur. Di kota-kota besar lain, jaraknya mungkin malah lebih dekat lagi. Akibatnya, air sumur yang dipakai untuk mandi, cuci, minum, atau memasak sudah terkontaminasi oleh banyak virus atau bakteri. Belum lagi, berbagai bentuk pencemaran akibat aktivitas pertambangan atau industri yang membuat air kian tercemar sehingga tak layak diminum atau dipakai untuk tanaman entah padi atau jagung, sehingga makin memperparah krisis air atau krisis pangan.

Jadi, ketidakadilan ekologis yang dilakukan oleh penjajah, lalu salah kelola oleh pemerintah atau perilaku buruk kita, telah mendorong terjadinya krisis ekologi, termasuk krisis air bersih.

Tema 2012

Sejak 1993, PBB menetapkan tanggal 22 Maret sebagai World Water Day atau Hari Air Sedunia (HAS). Tema HAS 2012 adalah “Water and Food Security” (Air dan Ketahanan Pangan). Namun tema nasional HAS yang digagas dan dibentuk Kementerian Pekerjaan Umum menetapkan tema nasional HAS 2012 adalah “Ketahanan Air dan Pangan”, dengan aksentuasi pada aspek air dibanding pangan. Tema nasional ini didasari rendahnya kualitas air minum di Indonesia, sebagaimana telah dibeberkan sebagian di atas.

Terkait dengan tema ini, perlu ditekankan lagi, kapitalisasi atas air seturut regulasi kita (dalam hal ini UU Nomor 7/2004 mengenai Sumber Daya Air) adalah fakta yang kian memprihatinkan. Dahulu penduduk di sekitar sumber air bebas mengambil air dari sumber itu, sedangkan kini sumber air itu sudah diserahkan kepada swasta atau investor, termasuk investor asing, untuk dikomersialkan. Sampai dekade 1970-an, misalnya, belum ada jual-beli air minum dalam kemasan, tapi hari-hari ini air kemasan menjadi bisnis yang kompetitif. Dan lagi-lagi, investor asing yang menguasainya. Ironisnya, warga di sekitar sumber air pun harus membeli air kemasan, sehingga lagi-lagi terjadi ketidakadilan.

Semoga Hari Air Sedunia bisa menggugah kesadaran, khususnya para pengambil kebijakan, untuk membuat langkah di masa mendatang yang bisa menyelamatkan sumber air yang masih tersisa agar dikelola sesuai dengan pesan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sebab, jika tidak kembali pada spirit dalam konstitusi yang sudah dirancang para pendiri bangsa ini, kita akan terus berada dalam ancaman krisis air, yang merupakan salah satu dari sekian banyak krisis multidimensional dewasa ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar