Kamis, 22 Maret 2012

Problema Hukum Migas dalam Perspektif HAM


Problema Hukum Migas dalam Perspektif HAM
Saharuddin Daming, KOMISIONER KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA
SUMBER : KORAN TEMPO, 22 Maret 2012



Dalam norma hak asasi manusia, negara, khususnya pemerintah, berkedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty barrier). Dalam hal ini, terdapat sekurang-kurangnya tiga kewajiban yang melekat pada negara tatas hak asasi manusia (HAM) sebagaimana yang diamanatkan Pasal 8, Pasal 71, dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill). Dengan formulasi norma HAM seperti ini, salah satu kewajiban negara yang paling fundamental dalam konteks penguasaan cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak adalah optimalisasi perlindungan negara terhadap pemenuhan hak warga negara atas ketersediaan minyak dan gas (migas) dengan harga yang murah, mudah, dan stabil.

Namun, berkaca dari fenomena peningkatan harga migas dunia saat ini, atmosfer di atas dapur pematangan kebijakan negara memperlihatkan tren untuk memilih opsi kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter. Secara historis, kebijakan seperti ini nyaris merupakan langganan tetap bagi pemerintah untuk mencari jalan pintas dalam mengatasi krisis harga migas. Tidak mengherankan jika, dari sekian ribu tombol solusi kehidupan berbangsa dan bernegara yang terpasang di meja pimpinan negara, hanya satu tombol, yaitu tombol kenaikan harga migas, yang tampak semakin tipis karena terlalu sering dipencet oleh penggunanya. Sedangkan tombol-tombol lainnya sebagian besar masih utuh, bahkan kebanyakan dalam status perawan alias tak pernah dipakai.

Terjadinya kisruh instabilitas harga migas domestik yang selalu berujung pada intervensi negara melalui kebijakan penyesuaian dengan harga migas dunia yang menimbulkan multiplier effect dalam perekonomian negara dan masyarakat, sejatinya, berhulu dari lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas. Kelahiran undang-undang ini langsung menghapus berlakunya tiga undang-undang sebelumnya, yaitu UU Nomor 44 Prp./1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 15/1962 tentang Penetapan PP Pengganti UU Nomor 2/1962 tentang Kewajiban Perusahaan Minyak Memenuhi Kebutuhan Dalam Negeri, dan UU Nomor 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara.

Sejak itu, terjadi perubahan norma yang sangat fundamental tentang status penentuan harga migas domestik yang semula berada di tangan negara, dan kini mengalami liberalisasi sebagaimana yang tertuang pada Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 22/2001, yang berbunyi “harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Meliberalisasi sektor hilir pengusahaan migas seperti ini jelas-jelas mendahulukan kepentingan pengusaha-pengusaha swasta dan asing serta tidak mengemban amanat Pasal 33 UUD 1945. Hal ini sangat kontras dengan pola kebijakan negara sebelumnya yang senantiasa menyediakan BBM di mana saja di Indonesia dengan harga seragam dan terjangkau.

Sesuai dengan paham liberal yang dianut UU Nomor 22/2001 seperti terlihat pada Pasal 13 ayat (1), yang mengisyaratkan wilayah kerja pertambangan yang digarap oleh perusahaan swasta, dapat diklaim bahwa cadangan migas yang ditemukan melalui serangkaian kegiatan eksplorasi dan eksploitasi beserta leverage-nya merupakan property mereka masing-masing, selama masa kontrak dengan pemerintah Indonesia masih berlaku. Begitu pula halnya dengan penjualan hasil migas bagian negara yang kini dijualkan oleh pihak pengusaha swasta dan asing (Pasal 44 ayat 3 huruf g UU Nomor 22/2001).

Dalam keadaan seperti ini, pola usaha migas dalam UU Nomor 22/2001 akan memisahkan hubungan yang abadi antara bangsa Indonesia dan wilayah kuasa pertambangan migas. Selain itu, ia tidak melindungi pelaku ekonomi nasional, mempercepat dominasi asing dan munculnya kembali monopoli atau oligopoli swasta, sehingga akhirnya seluruh rakyat Indonesia tidak dapat memanfaatkan migas semaksimal mungkin.

Dengan demikian, UU Nomor 22/2001 terkesan mendekonstruksi secara revolusioner ketentuan Pasal 33 UUD 1945, khususnya pada ayat (2) “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, dan ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Betapa tidak, karena pengertian “dikuasai oleh negara”, dalam pemahaman mainstream konvensional, mencakup elemen kekuasaan negara untuk menyelenggarakan semua kegiatan usaha migas (dari hulu ke hilir): eksplorasi, eksploitasi, pemurnian/pengilangan, pengangkutan, dan penjualan.

Dalam hal ini, negara (c.q. Pertamina) menguasai seluruh usaha migas dari hulu ke hilir. Pertamina diperbolehkan menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta nasional maupun asing dalam bentuk production sharing contract, sehingga para pengusaha asing dan nasional hanya berperan sebagai kontraktor jasa dari Pertamina. Bagi hasil tersebut harus kembali kepada negara melalui Pertamina, yang ditugasi menyelenggarakan pengusahaan migas. Selama pelaksanaan kontrak, bagi hasil tetap menjadi milik Pertamina dan tidak pernah bisa diklaim oleh kontraktor bagi hasil sebagai properti mereka.

Penguasaan oleh negara atas semua kekayaan alam juga sejalan dengan Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 pra-amendemen keempat UUD 1945 tanggal 10/8/2002 yang menyatakan "Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang-seorang". "... Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya".

Namun, dengan lahirnya UU Nomor 22/2001, pengertian “dikuasai oleh negara” sebagaimana uraian di atas mengalami pembiasan dan pengerdilan. Tidak mengherankan jika sejak awal keberadaannya hingga adanya pembahasan RUU Migas di DPR, RUU telah mendapatkan tentangan dari masyarakat karena dianggap bukan hanya menyimpang dari Pasal 33 UUD 1945 tapi juga dapat merugikan perekonomian negara. 
Suara tersebut direpresentasikan 12 anggota DPR RI yang dipelopori Dimyati Hartono, yang dengan tegas menolak substansi RUU tersebut karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945, sehingga mereka mengeluarkan minderheids nota dalam sidang paripurna DPR RI tertanggal 23 Oktober 2001 dengan agenda pengesahan RUU Migas. Tetapi suara penolakan tersebut tidak berarti apa-apa karena kalah dari suara pendukung sebanyak 348 orang dari 483 anggota yang hadir. Akhirnya pimpinan rapat paripurna mengesahkan RUU tersebut dengan meninggalkan setumpuk masalah.

Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa sistem demokrasi yang sangat percaya pada suara terbanyak sebagai suara Tuhan ternyata justru merefleksikan dominasi kemudaratan daripada manfaatnya. Tanpa bermaksud untuk mencurigai terjadinya praktek money politics di balik ingar-bingar pengesahan undang-undang tersebut, perubahan ini bukan mustahil terlahir dari skenario besar yang dimainkan kaum kapitalis dengan memanfaatkan pengaruh dan agen mereka dalam kekuatan politik di DPR masa itu.

Setelah berjuang sekian lama dengan berbagai cara oleh kalangan yang menentang kelahiran undang-undang ini, akhirnya hasil advokasi mereka ternyata berbuah manis ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 22/2001 melalui Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 (diputuskan pada 15 Desember 2004, dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada 21 Desember 2004). Pembatalan sebagian ketentuan undang-undang tersebut oleh MK karena pengertian "dikuasai oleh negara" dalam UU Nomor 22/2001 sangat jauh berbeda dan tidak sesuai dengan pengertian istilah tersebut dalam UUD 1945.

Anehnya, meski ketentuan tentang mekanisme pasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 22/2001 telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK, sampai hari ini pemerintah tetap ingin menaikkan harga migas untuk disesuaikan dengan standar harga Internasional. Jika kita masih berpegang pada sistem negara hukum sebagaimana mandat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, setiap kebijakan negara yang bertentangan dengan konstitusi harus dinyatakan batal demi hukum (null and void) karena peraturan yang rendah harus tunduk kepada aturan yang lebih tinggi (lex superior derogate lex inferiori). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar