Senin, 05 Maret 2012

Pembusukan Reformasi


Pembusukan Reformasi
Danang Probotanoyo, AKTIVIS ’98,
PEMERHATI SOSIAL DI PUSAT STUDI REFORMASI INDONESIA, ALUMNUS UGM
SUMBER : KOMPAS, 5 Maret 2012



Paradoks adalah kata yang pas setakat ini menggambarkan keadaan Indonesia terkait label ”Reformasi”. Kasus-kasus Century, Gayus, wisma atlet, ruang Badan Anggaran DPR, dan konflik horizontal merupakan potret karut-marut negeri ini dan yang paling penting, tak sesuai dengan label ”Reformasi”. Cita-cita reformasi 14 tahun silam secara garis besar ialah terwujudnya bangsa dan negara demokratis, yang dengan itu rakyat adil sejahtera. Tentu saja ini antitesis dari demokrasi palsu Orde Baru yang kuyup KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Reformasi saat ini berusia 14 tahun. Baru sedikit perbaikan. Manifestasi demokrasi, seperti pemilihan langsung presiden, anggota badan legislatif, dan kepala daerah serta pers bebas dan kebebasan berbicara, telah menemukan aktualisasinya. Namun, kualitas berpolitik sekarang di negeri ini patut dipertanyakan.

Cita-cita mendasar reformasi mewujudkan masyarakat madani yang sejahtera, adil, dan steril dari dosa asal Orde Baru, yakni KKN itu, mulai terpinggirkan oleh hiruk-pikuk euforia politik. Politik uang, suap-menyuap, korupsi, makelar kasus, mafia hukum, dan mafia anggaran masih merajai denyut nadi organ-organ demokrasi, birokrasi, bahkan keseharian masyarakat sendiri.

Pemotongan Generasi

Ini terjadi karena perubahan rezim dari Orde Baru ke Reformasi pada hakikatnya ganti label belaka. Orang-orang lama dari pusat lingkaran kekuasaan Orde Baru—setidaknya menjadi bagian instrumen sosial-politik rezim otoriter Soeharto—masih eksis dan solid. Malah, cenderung mendominasi partai politik, lembaga negara, dan jajaran birokrasi. Hanya sebagian kecil dari orang lama itu yang mampu menunjukkan perubahan sikap mental dan adaptif dengan tuntutan reformasi. Secara umum, orang lama masih mengemban kultur Orde Baru yang sarat KKN.

Ini saatnya mengisi wacana ”pemotongan generasi” yang dulu diembuskan kala melahirkan Reformasi. Pemotongan generasi di sini berarti semua orang penting rezim represif Orde Baru di semua lembaga negara dan jajaran birokrasi yang nyata-nyata mengidap KKN harus diamputasi dan dibuang ke dalam keranjang sampah sejarah.

Sebaliknya, yang terbukti masih cukup kadar integritasnya dan bisa diharap bersama mengeliminasi stigma buruk Orde Baru itu dipersilakan duduk manis dalam gerbong Reformasi.

Kesalahan kedua dan cukup serius dari bangsa ini adalah sifat kepelupaan dan ketiadaan kemampuan mengidentifikasi soal. Jelasnya, sebagian orang yang tak mampu mencari sebab kekisruhan sosial-politik saat ini justru terbius romantika ”indahnya” kehidupan sosial-politik dan ekonomi semasa Orde Baru. Padahal, sejarah membuktikan bahwa ”segala keindahan” semasa Orde Baru artifisial belaka.

Anasir rezim Orde Baru yang beralih rupa menjadi reformis dadakan dan musiman malah banyak dijadikan pemandu di berbagai infrastruktur politik negeri ini, termasuk di dalam partai politik! Banyak orang kurang paham bahwa karut-marut yang kita hadapi sekarang disebabkan oleh masih terpeliharanya orang-orang bermental Orde Baru dan memimpin bangsa ini pula di berbagai level.

Kesalahan ketiga patut dialamatkan kepada para pengusung gerakan reformasi itu sendiri. Sebagian aktivis penggerak Reformasi 1998 hanya berpuas diri dalam keberhasilannya menumbangkan individu Soeharto.

Alih-alih mengawal perjalanan Reformasi agar tetap pada jalur yang betul, sebagian dari mereka malah meleburkan diri bersama anasir lama demi tujuan pragmatis jangka pendek: kursi kekuasaan. Mereka inilah tipe aktor gerakan sosial yang disebut materialis oportunis. Perjuangannya diwarnai motif mencapai materi tertentu, prestise sosial, dan kuasa politik (Wahyudi, 2005).

Akibat tiga kesalahan fatal di atas, tampak bahwa kehidupan sosial masyarakat tak berubah signifikan. Hanya kaum elite pada lingkup kekuasaan dan birokrasi yang menikmati berkah Reformasi.

Kita sekarang tertatih-tatih menumpas penyakit kronis KKN. Pemain lama KKN adalah penganut pencapaian ”biologi molekuler” fanatik: kloning diri secara masif di hampir semua infrastruktur politik. Generasi koruptor baru muncul saban hari!

Bahan Jualan

Cita-cita reformasi mewujudkan kehidupan rakyat yang lebih sejahtera dan berkeadilan tampak kian menjauh. Kehidupan buruh, pekerja migran, petani, nelayan, dan pekerja informal yang menduduki piramida struktur sosial paling bawah (jumlah mayoritas), misalnya, tak membaik pada era Reformasi. Justru keterbatasan daya hidup mereka dijadikan bahan jualan untuk menopang legitimasi aktor politik saat pemilu di tingkat pusat ataupun daerah.

Wajah birokrasi yang sudah dipermak habis-habisan—khususnya menyangkut kesejahteraan mereka—sejak era Abdurrahman Wahid hingga SBY jilid 2 belum mampu mengubah tabiat dan kinerjanya secara signifikan. Gaji mereka sudah dinaikkan, pegawai pajak masih korupsi miliaran rupiah! Ini yang sudah terbukti.

Pada masa Reformasi birokrat lebih berkarakter feodalistik dibandingkan dengan era sebelumnya. Ini tecermin dari perilaku birokrat menghamburkan uang rakyat demi meningkatkan standar hidup mereka dan memompa prestise aparatur negara: mobil dinas mewah, tunjangan fantastis, dan kunjungan dinas yang tak jelas keperluannya.

Di Kabupaten Mojokerto pada tahun ini pemda setempat tak menganggarkan beras bagi orang miskin. Mereka memilih belanja mobil dinas hingga Rp 5,6 miliar (Kompas.com, 28/12/2011). Foya-foya duit rakyat ini bisa kian menjadi-jadi manakala SBY seba- gai presiden memberi contoh tak pantas dengan membeli pesawat kepresidenan seharga Rp 912 miliar. Mereka tak peduli terhadap kemiskinan yang diidap lebih dari 35 juta penduduk negeri ini.

Cita-cita reformasi mewujudkan masyarakat demokratis yang sejahtera dan berkeadilan telah dibelokkan para birokrat yang menenung diri mereka menjadi warga negara elite berkultur feodalistik. Semoga ini tak membuat rakyat kian frustrasi dan mencari alternatif lain di luar reformasi: revolusi yang bisa destruktif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar