Pembusukan
Reformasi
Danang Probotanoyo, AKTIVIS ’98,
PEMERHATI SOSIAL DI PUSAT STUDI REFORMASI INDONESIA, ALUMNUS UGM
SUMBER : KOMPAS, 5 Maret
2012
Paradoks adalah kata yang pas setakat ini
menggambarkan keadaan Indonesia terkait label ”Reformasi”. Kasus-kasus Century, Gayus, wisma atlet,
ruang Badan Anggaran DPR, dan konflik horizontal merupakan potret karut-marut
negeri ini dan yang paling penting, tak sesuai dengan label ”Reformasi”.
Cita-cita reformasi 14 tahun silam secara garis besar ialah terwujudnya bangsa
dan negara demokratis, yang dengan itu rakyat adil sejahtera. Tentu saja ini
antitesis dari demokrasi palsu Orde Baru yang kuyup KKN: korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Reformasi saat ini berusia 14 tahun. Baru
sedikit perbaikan. Manifestasi demokrasi, seperti pemilihan langsung presiden,
anggota badan legislatif, dan kepala daerah serta pers bebas dan kebebasan
berbicara, telah menemukan aktualisasinya. Namun, kualitas berpolitik sekarang
di negeri ini patut dipertanyakan.
Cita-cita mendasar reformasi mewujudkan
masyarakat madani yang sejahtera, adil, dan steril dari dosa asal Orde Baru,
yakni KKN itu, mulai terpinggirkan oleh hiruk-pikuk euforia politik. Politik
uang, suap-menyuap, korupsi, makelar kasus, mafia hukum, dan mafia anggaran
masih merajai denyut nadi organ-organ demokrasi, birokrasi, bahkan keseharian
masyarakat sendiri.
Pemotongan
Generasi
Ini terjadi karena perubahan rezim dari Orde
Baru ke Reformasi pada hakikatnya ganti label belaka. Orang-orang lama dari
pusat lingkaran kekuasaan Orde Baru—setidaknya menjadi bagian instrumen
sosial-politik rezim otoriter Soeharto—masih eksis dan solid. Malah, cenderung
mendominasi partai politik, lembaga negara, dan jajaran birokrasi. Hanya
sebagian kecil dari orang lama itu yang mampu menunjukkan perubahan sikap
mental dan adaptif dengan tuntutan reformasi. Secara umum, orang lama masih
mengemban kultur Orde Baru yang sarat KKN.
Ini saatnya mengisi wacana ”pemotongan
generasi” yang dulu diembuskan kala melahirkan Reformasi. Pemotongan generasi
di sini berarti semua orang penting rezim represif Orde Baru di semua lembaga
negara dan jajaran birokrasi yang nyata-nyata mengidap KKN harus diamputasi dan
dibuang ke dalam keranjang sampah sejarah.
Sebaliknya, yang terbukti masih cukup kadar
integritasnya dan bisa diharap bersama mengeliminasi stigma buruk Orde Baru itu
dipersilakan duduk manis dalam gerbong Reformasi.
Kesalahan kedua dan cukup serius dari bangsa
ini adalah sifat kepelupaan dan ketiadaan kemampuan mengidentifikasi soal.
Jelasnya, sebagian orang yang tak mampu mencari sebab kekisruhan sosial-politik
saat ini justru terbius romantika ”indahnya” kehidupan sosial-politik dan
ekonomi semasa Orde Baru. Padahal, sejarah membuktikan bahwa ”segala keindahan”
semasa Orde Baru artifisial belaka.
Anasir rezim Orde Baru yang beralih rupa
menjadi reformis dadakan dan musiman malah banyak dijadikan pemandu di berbagai
infrastruktur politik negeri ini, termasuk di dalam partai politik! Banyak
orang kurang paham bahwa karut-marut yang kita hadapi sekarang disebabkan oleh
masih terpeliharanya orang-orang bermental Orde Baru dan memimpin bangsa ini
pula di berbagai level.
Kesalahan ketiga patut dialamatkan kepada
para pengusung gerakan reformasi itu sendiri. Sebagian aktivis penggerak
Reformasi 1998 hanya berpuas diri dalam keberhasilannya menumbangkan individu
Soeharto.
Alih-alih mengawal perjalanan Reformasi agar
tetap pada jalur yang betul, sebagian dari mereka malah meleburkan diri bersama
anasir lama demi tujuan pragmatis jangka pendek: kursi kekuasaan. Mereka inilah
tipe aktor gerakan sosial yang disebut materialis oportunis. Perjuangannya
diwarnai motif mencapai materi tertentu, prestise sosial, dan kuasa politik (Wahyudi,
2005).
Akibat tiga kesalahan fatal di atas, tampak
bahwa kehidupan sosial masyarakat tak berubah signifikan. Hanya kaum elite pada
lingkup kekuasaan dan birokrasi yang menikmati berkah Reformasi.
Kita sekarang tertatih-tatih menumpas
penyakit kronis KKN. Pemain lama KKN adalah penganut pencapaian ”biologi
molekuler” fanatik: kloning diri secara masif di hampir semua infrastruktur
politik. Generasi koruptor baru muncul saban hari!
Bahan
Jualan
Cita-cita reformasi mewujudkan kehidupan
rakyat yang lebih sejahtera dan berkeadilan tampak kian menjauh. Kehidupan
buruh, pekerja migran, petani, nelayan, dan pekerja informal yang menduduki
piramida struktur sosial paling bawah (jumlah mayoritas), misalnya, tak membaik
pada era Reformasi. Justru keterbatasan daya hidup mereka dijadikan bahan
jualan untuk menopang legitimasi aktor politik saat pemilu di tingkat pusat
ataupun daerah.
Wajah birokrasi yang sudah dipermak
habis-habisan—khususnya menyangkut kesejahteraan mereka—sejak era Abdurrahman
Wahid hingga SBY jilid 2 belum mampu mengubah tabiat dan kinerjanya secara
signifikan. Gaji mereka sudah dinaikkan, pegawai pajak masih korupsi miliaran
rupiah! Ini yang sudah terbukti.
Pada masa Reformasi birokrat lebih
berkarakter feodalistik dibandingkan dengan era sebelumnya. Ini tecermin dari
perilaku birokrat menghamburkan uang rakyat demi meningkatkan standar hidup
mereka dan memompa prestise aparatur negara: mobil dinas mewah, tunjangan
fantastis, dan kunjungan dinas yang tak jelas keperluannya.
Di Kabupaten Mojokerto pada tahun ini pemda
setempat tak menganggarkan beras bagi orang miskin. Mereka memilih belanja
mobil dinas hingga Rp 5,6 miliar (Kompas.com, 28/12/2011). Foya-foya duit
rakyat ini bisa kian menjadi-jadi manakala SBY seba- gai presiden
memberi contoh tak pantas dengan membeli pesawat kepresidenan seharga Rp 912
miliar. Mereka tak peduli terhadap kemiskinan yang diidap lebih dari 35 juta
penduduk negeri ini.
Cita-cita reformasi mewujudkan masyarakat
demokratis yang sejahtera dan berkeadilan telah dibelokkan para birokrat yang
menenung diri mereka menjadi warga negara elite berkultur feodalistik. Semoga
ini tak membuat rakyat kian frustrasi dan mencari alternatif lain di luar
reformasi: revolusi yang bisa destruktif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar