Senin, 05 Maret 2012

Sekali Berarti, Setelah Itu Mati!

Sekali Berarti, Setelah Itu Mati!
Gunawan Raharja, BURUH FILM
SUMBER : KOMPAS, 5 Maret 2012



Tiba-tiba saja semua aspek di negara ini jadi tidak beraturan. Seperti ada keseragaman dan keserentakan dalam ruang dan waktu, semua dimensi kehidupan berantakan: dari urusan sepak bola sampai masalah hukum dan korupsi.

Banyak media massa jadi rebutan untuk beropini. Jika saat Orde Baru media massa jadi corong penguasa, kini corong pemilik modal yang sekaligus calon pemilik kekuasaan. Informasi pun jadi perlu dipilah: dari mana, oleh siapa, dan ditujukan buat siapa. Informasi bisa dipelintir sedemikian rupa untuk kepentingan sesaat. Obyektivitas informasi nomor ke sekian. Kepentingan partai atau pemodal jadi panglima.

Meskipun banyak yang berupaya membungkus, buat rakyat deretan kasus itu sudah transparan dan telanjang. Masyarakat menyikapi simpang siur itu dengan satu kesimpulan: ada banyak hal yang tidak selesai dan amburadul dalam tata kelola republik, masyarakat miskin jadi korban, dan ketidakpedulian mereka yang di pusat kekuasaan.

Kekuasaan juga kian memihak. Politisi dan penegak hukum menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi dan kekuasaan serta menginjak harkat dan martabat kemanusiaan. Tak ada lagi hukum kepantasan serta kesetaraan yang menghargai hak dan martabat. Adab dan etika adalah bahasan kata-kata saja. Menjadi sebuah pertanyaan yang susah dicari jawabnya jika di sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarga jadi buron, ternyata buron itu justru dilindungi kepala keluarga dan anggota keluarga lain. Atau bagaimana menjelaskan kepada masyarakat luas jika seorang bekas pejabat publik yang jelas-jelas korupsi mendapat sanksi hukum kurang dari pencuri sandal jepit.

Ini masa saat ketidakberaturan jadi tren. Segala sesuatu bisa digerakkan dan diubah oleh kekuasaan dan uang, yang sekaligus juga jadi alat dan tujuan. Keduanya menyebabkan pranata hukum, sosial, dan politik layaknya mainan yang bisa dijungkirbalikkan oleh pemiliknya. Seperti film yang sudah ditulis skenarionya, kebobrokan jadi pemenang, sementara kebaikan dikalahkan. Sutradara pun sudah tak mampu mengubah adegan di dalamnya karena semua detail sudah dituliskan di skenario.

Keinginan untuk Benar

Saat ini kebenaran sudah tak lagi berwarna hitam dan putih. Kebenaran bisa dimaknai berbeda oleh banyak pihak. Pernyataan pejabat publik atau politisi di media membuat sebuah ungkapan kebenaran jadi multitafsir. Masalah yang dianggap salah oleh salah satu pihak dapat jadi subyek kebenaran dari pihak lain. Berbagai tragedi besar di republik ini membuktikan penegakan kebenaran laiknya menegakkan benang basah. Sulit dan hampir mustahil. Semua yang tampak di depan mata publik dan punya nilai ”benar” ternyata bisa diputarbalikkan jadi ketidakbenaran. Inilah kesia-siaan seperti digambarkan Albert Camus dalam mitos Sisifus tentang pencarian makna yang sia-sia oleh manusia dalam mencari kejelasan menghadapi dunia yang tak dipahami, tak punya Tuhan, dan kekekalan. Ia memberi jalan dari kebuntuan itu dengan satu kata: pemberontakan.

Semua bertolak dari keinginan melakukan kebenaran. Apakah itu polisi, politisi, ataupun birokrat. Mereka yang duduk di pusaran kekuasaan harus mengedepankan nurani sebagai tujuan utama dan menyatakan: kebenaran adalah hakikat menuju pengukuhan nilai-nilai kemanusiaan. Semua ketidakberesan ini berakar pada dilangkahinya nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Tak semua pengungkapan kebenaran mendapatkan hasil seperti diharapkan. Misalnya, Agus Condro sebagai pengungkap aib kasus cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI 2004 divonis satu tahun tiga bulan. Hal sama mungkin akan menimpa siapa pun yang berusaha mengedepankan rasa keadilan dan kebenaran sebagai ujung tombak perbaikan moral.

Namun, semangat menyatakan sesuatu yang benar adalah perjuangan yang harus selalu ada karena kebenaran itu sendiri jawaban dari setiap nurani. Setiap sosok manusia pasti akan meyakini bahwa menyatakan kejujuran adalah bagian dari hakikat kemanusiaan itu sendiri. Manusia tak akan menjelma jadi individu tragik, istilah Lucien Goldman, seorang penganut neomarxis. Individu tragik adalah mereka yang sadar diri, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Tak mampu membuat keadaan lebih baik.

Melakukan tindakan benar adalah ”ketidakpatutan” pada zaman yang serba salah ini. Berkata benar, dianggap tak umum. Sama halnya ketika kita kukuh tak mau memberi uang sogokan saat salah melanggar lalu lintas. Kita tetap tegas minta diproses di pengadilan yang sah karena kita salah. Atau pemain bola yang handsball di kotak penaltinya sendiri, lalu sportif mengangkat tangan dan menyatakan kepada wasit bahwa bola terkena tangannya.

Nilai yang Dikenang

Ada nilai yang hilang pada era yang semuanya berakar pada kekuasaan dan materi saat ini. Bahwa menyatakan kebenaran dengan segala risiko yang akan ditanggungnya adalah sebuah tindakan yang tak hanya akan dikenang, tetapi juga membawa sebuah pencerahan baru. Tindakan yang membawa pembaruan dan perubahan. Tumbangnya rezim Soeharto tak terlepas dari sebuah keberanian untuk menyatakan kebenaran baru, terlepas dari adanya intrik dari pihak lain.

Ini seperti ”keras kepala”-nya bekas Kapolri (almarhum) Hoegeng Imam Santoso dengan segala cara berusaha membersihkan institusi polisi dari sarang pungli dan kolusi. Ia sesaat berhasil membersihkan institusi yang sangat dibanggakannya itu meski akhirnya kalah. Namun, tersingkirnya seorang Hoegeng adalah kesatria yang kalah perang secara jantan. Terpentalnya seorang Hoegeng adalah jawaban bahwa memang tak mudah melawan tindakan yang bertentangan dengan hati nurani. Sepahit apa pun, Hoegeng tidak akan pernah menyesali tindakannya.

Sudah tak ada lagi semangat mengorbankan diri untuk sesuatu yang lebih besar, yaitu berpulangnya jati diri manusia untuk selalu mengedepankan kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Di saat inilah kita diuji apakah kita akan selalu menjadikan kebenaran dan keadilan sebagai penghormatan atas kemanusiaan kita ataukah kebenaran sendiri hanya menjadi catatan tanpa harus dimaknai. Harus ada keberanian mengatakan tatkala napas masih dikandung badan, hidup haruslah berarti. Walaupun setelah itu mati, kata penyair Chairil Anwar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar