Sekali
Berarti, Setelah Itu Mati!
Gunawan Raharja, BURUH FILM
SUMBER : KOMPAS, 5 Maret
2012
Tiba-tiba saja semua aspek di negara ini jadi
tidak beraturan. Seperti ada keseragaman dan keserentakan dalam ruang dan
waktu, semua dimensi kehidupan berantakan: dari urusan sepak bola sampai
masalah hukum dan korupsi.
Banyak media massa jadi rebutan untuk
beropini. Jika saat Orde Baru media massa jadi corong penguasa, kini corong
pemilik modal yang sekaligus calon pemilik kekuasaan. Informasi pun jadi perlu
dipilah: dari mana, oleh siapa, dan ditujukan buat siapa. Informasi bisa
dipelintir sedemikian rupa untuk kepentingan sesaat. Obyektivitas informasi
nomor ke sekian. Kepentingan partai atau pemodal jadi panglima.
Meskipun banyak yang berupaya membungkus,
buat rakyat deretan kasus itu sudah transparan dan telanjang. Masyarakat
menyikapi simpang siur itu dengan satu kesimpulan: ada banyak hal yang tidak
selesai dan amburadul dalam tata kelola republik, masyarakat miskin jadi
korban, dan ketidakpedulian mereka yang di pusat kekuasaan.
Kekuasaan juga kian memihak. Politisi dan
penegak hukum menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi dan kekuasaan
serta menginjak harkat dan martabat kemanusiaan. Tak ada lagi hukum kepantasan
serta kesetaraan yang menghargai hak dan martabat. Adab dan etika adalah
bahasan kata-kata saja. Menjadi sebuah pertanyaan yang susah dicari jawabnya
jika di sebuah keluarga yang salah satu anggota keluarga jadi buron, ternyata
buron itu justru dilindungi kepala keluarga dan anggota keluarga lain. Atau
bagaimana menjelaskan kepada masyarakat luas jika seorang bekas pejabat publik
yang jelas-jelas korupsi mendapat sanksi hukum kurang dari pencuri sandal
jepit.
Ini masa saat ketidakberaturan jadi tren.
Segala sesuatu bisa digerakkan dan diubah oleh kekuasaan dan uang, yang
sekaligus juga jadi alat dan tujuan. Keduanya menyebabkan pranata hukum,
sosial, dan politik layaknya mainan yang bisa dijungkirbalikkan oleh
pemiliknya. Seperti film yang sudah ditulis skenarionya, kebobrokan jadi
pemenang, sementara kebaikan dikalahkan. Sutradara pun sudah tak mampu mengubah
adegan di dalamnya karena semua detail sudah dituliskan di skenario.
Keinginan
untuk Benar
Saat ini kebenaran sudah tak lagi berwarna
hitam dan putih. Kebenaran bisa dimaknai berbeda oleh banyak pihak. Pernyataan
pejabat publik atau politisi di media membuat sebuah ungkapan kebenaran jadi
multitafsir. Masalah yang dianggap salah oleh salah satu pihak dapat jadi
subyek kebenaran dari pihak lain. Berbagai tragedi besar di republik ini
membuktikan penegakan kebenaran laiknya menegakkan benang basah. Sulit dan
hampir mustahil. Semua yang tampak di depan mata publik dan punya nilai ”benar”
ternyata bisa diputarbalikkan jadi ketidakbenaran. Inilah kesia-siaan seperti
digambarkan Albert Camus dalam mitos Sisifus tentang pencarian makna yang
sia-sia oleh manusia dalam mencari kejelasan menghadapi dunia yang tak dipahami,
tak punya Tuhan, dan kekekalan. Ia memberi jalan dari kebuntuan itu dengan satu
kata: pemberontakan.
Semua bertolak dari keinginan melakukan
kebenaran. Apakah itu polisi, politisi, ataupun birokrat. Mereka yang duduk di
pusaran kekuasaan harus mengedepankan nurani sebagai tujuan utama dan
menyatakan: kebenaran adalah hakikat menuju pengukuhan nilai-nilai kemanusiaan.
Semua ketidakberesan ini berakar pada dilangkahinya nilai-nilai kebenaran dan
keadilan.
Tak semua pengungkapan kebenaran mendapatkan
hasil seperti diharapkan. Misalnya, Agus Condro sebagai pengungkap aib kasus
cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI 2004 divonis satu
tahun tiga bulan. Hal sama mungkin akan menimpa siapa pun yang berusaha
mengedepankan rasa keadilan dan kebenaran sebagai ujung tombak perbaikan moral.
Namun, semangat menyatakan sesuatu yang benar
adalah perjuangan yang harus selalu ada karena kebenaran itu sendiri jawaban
dari setiap nurani. Setiap sosok manusia pasti akan meyakini bahwa menyatakan
kejujuran adalah bagian dari hakikat kemanusiaan itu sendiri. Manusia tak akan
menjelma jadi individu tragik, istilah Lucien Goldman, seorang penganut
neomarxis. Individu tragik adalah mereka yang sadar diri, tetapi tidak bisa
berbuat apa-apa. Tak mampu membuat keadaan lebih baik.
Melakukan tindakan benar adalah
”ketidakpatutan” pada zaman yang serba salah ini. Berkata benar, dianggap tak
umum. Sama halnya ketika kita kukuh tak mau memberi uang sogokan saat salah melanggar
lalu lintas. Kita tetap tegas minta diproses di pengadilan yang sah karena kita
salah. Atau pemain bola yang handsball di kotak penaltinya sendiri, lalu
sportif mengangkat tangan dan menyatakan kepada wasit bahwa bola terkena
tangannya.
Nilai
yang Dikenang
Ada nilai yang hilang pada era yang semuanya
berakar pada kekuasaan dan materi saat ini. Bahwa menyatakan kebenaran dengan
segala risiko yang akan ditanggungnya adalah sebuah tindakan yang tak hanya
akan dikenang, tetapi juga membawa sebuah pencerahan baru. Tindakan yang
membawa pembaruan dan perubahan. Tumbangnya rezim Soeharto tak terlepas dari
sebuah keberanian untuk menyatakan kebenaran baru, terlepas dari adanya intrik
dari pihak lain.
Ini seperti ”keras kepala”-nya bekas Kapolri
(almarhum) Hoegeng Imam Santoso dengan segala cara berusaha membersihkan
institusi polisi dari sarang pungli dan kolusi. Ia sesaat berhasil membersihkan
institusi yang sangat dibanggakannya itu meski akhirnya kalah. Namun,
tersingkirnya seorang Hoegeng adalah kesatria yang kalah perang secara jantan.
Terpentalnya seorang Hoegeng adalah jawaban bahwa memang tak mudah melawan
tindakan yang bertentangan dengan hati nurani. Sepahit apa pun, Hoegeng tidak
akan pernah menyesali tindakannya.
Sudah tak ada lagi semangat mengorbankan diri
untuk sesuatu yang lebih besar, yaitu berpulangnya jati diri manusia untuk
selalu mengedepankan kebenaran dan keadilan di atas segala-galanya. Di saat
inilah kita diuji apakah kita akan selalu menjadikan kebenaran dan keadilan
sebagai penghormatan atas kemanusiaan kita ataukah kebenaran sendiri hanya
menjadi catatan tanpa harus dimaknai. Harus ada keberanian mengatakan tatkala
napas masih dikandung badan, hidup haruslah berarti. Walaupun setelah itu mati,
kata penyair Chairil Anwar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar