BBM,
Neraca Pembayaran, dan
Kebijakan
Moneter
Muhammad Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE,
DOSEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
SUMBER : KOMPAS, 5 Maret
2012
Mungkin benar bahwa ekonomi adalah ilmu yang
murung (a dismal science).
Peraih Nobel Ekonomi, George Stigler, pernah menulis dalam Memoirs of an Unregulated Economist,
”Yang paling menjengkelkan dari ekonom adalah kecenderungannya untuk menjaga
jarak dengan ide yang populis.” Saya tak ingin murung, tetapi saya ingin
mengingatkan bahwa di tengah optimisme pada ekonomi kita, pemerintah dan Bank
Indonesia harus tetap hati-hati dalam koordinasi makroekonomi.
Saya mulai dari pertanyaan: mengapa arus
modal mengalir masuk, tetapi rupiah cenderung melemah? Untuk menjawab ini,
lihat kondisi neraca pembayaran Indonesia. Dalam triwulan keempat tahun 2011,
neraca transaksi berjalan (ekspor minus impor barang dan jasa) kita sudah mengalami
defisit (911 juta dollar AS). Indonesia memang selalu menjadi korban dari
suksesnya sendiri. Setiap ekonomi tumbuh tinggi, neraca transaksi berjalan
menjadi defisit.
Yang mengkhawatirkan dari defisit dalam
transaksi berjalan kita, selain didorong jasa-jasa, juga diakibatkan impor
minyak. Tengok saja, pada 2009, defisit neraca perdagangan (ekspor minus impor)
minyak adalah 4 miliar dollar AS, meningkat menjadi 8,6 miliar dollar AS (2010)
dan 16,3 miliar dollar AS (2011). Padahal, kita tahu, pertumbuhan mobil dan
motor—yang mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM)—jauh di bawah 100 persen,
kenaikan harga minyak dunia juga tak setinggi itu. Kok, defisitnya begitu
tinggi? Jawabannya: karena produksi yang kurang dan konsumsi yang berlebih.
Siapa yang mengonsumsi BBM bersubsidi? Disparitas harga BBM—akibat
subsidi—mendorong penyelundupan. Akibatnya, impor terus naik, defisit transaksi
berjalan meningkat, dan rupiah cenderung melemah.
Pada saat bersamaan, ekspansi moneter Bank Indonesia
(BI) juga mendorong defisit transaksi berjalan. Tentu ekspansi kredit baik
untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi. Namun, investasi yang naik
akan mendorong impor barang modal dan bahan baku. Tengok saja: 92 persen dari
impor kita adalah barang modal dan bahan baku. Benar bahwa ekspansi kredit di
sisi lain akan melemahkan rupiah, yang pada gilirannya akan menurunkan impor.
Namun, dalam jangka pendek, impor akan tetap meningkat (dikenal dengan istilah
fenomena kurva-J). Di sisi lain, perlambatan ekonomi global menurunkan ekspor
kita. Akibatnya, defisit transaksi berjalan meningkat. Salahkah defisit dalam
transaksi berjalan? Jawabnya tidak apabila bisa dikompensasi oleh arus masuk
modal asing langsung atau penanaman modal asing (PMA).
Di sini soalnya: PMA baru mulai tumbuh di
Indonesia. Saat ini neraca modal kita masih didominasi oleh modal
portofolio—yang setiap waktu bisa pergi—terutama dalam kondisi ekonomi global
yang tak pasti. Selain itu, ekspansi moneter juga akan membuat tingkat bunga
menjadi lebih rendah, yang pada gilirannya akan mendorong arus modal keluar.
Akibatnya, sektor riil tak berjalan dan kita tak pernah mencapai pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi. Kenaikan peringkat yang kita banggakan menjadi tak
berarti.
Kita tahu: lapangan kerja harus diciptakan
dan kemiskinan harus diturunkan. Oleh karena itu, kita butuh pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Sayangnya, untuk tujuan itu, Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) kita tersandera oleh subsidi BBM. Benar bahwa defisit APBN
yang meningkat juga akan menekan neraca transaksi berjalan. Namun, tak apa-apa
asalkan itu digunakan untuk infrastruktur yang dalam jangka menengah akan
meningkatkan efisiensi dan produktivitas ekonomi kita. Akan tetapi, apabila itu
digunakan untuk subsidi BBM, pertumbuhan ekonomi dan program penanggulangan
kemiskinan dikorbankan. Karena itu, kebijakan menurunkan subsidi BBM dan
mengalokasikan dananya untuk infrastruktur dan program penanggulangan
kemiskinan adalah langkah yang tepat. Yang lebih penting lagi, kebijakan ini
membuat struktur subsidi menjadi lebih adil. Subsidilah mereka yang berhak,
bukan kelas menengah atas atau penyelundup.
Besaran kenaikan tentu harus
memperhitungkan dampak inflasi. Yang juga penting, jangan ditunda terlalu lama.
Semakin lama ditunda, semakin tinggi ekspektasi inflasi dan penimbunan. Di sini
kerja sama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) amat penting. Sudah
saatnya DPR menunjukkan bahwa mereka juga peduli pada ekonomi negeri ini.
Dalam pembahasan di DPR, pemerintah muncul
dengan dua opsi, yaitu menaikkan harga BBM Rp 1.500 per liter atau menetapkan
subsidi sebesar Rp 2.000 per liter untuk premium. Saya melihat, opsi kedua
lebih baik dibandingkan dengan opsi pertama. Dengan opsi ini, harga BBM tak
perlu dinaikkan lagi. Selain itu, jika harga minyak internasional turun, harga
BBM domestik juga bisa turun. Keuntungan lain: defisit APBN juga bisa
dikendalikan.
Dari sisi moneter, BI terpaksa menyesuaikan
kebijakan moneter. Ekspansi kredit jelas perlu, tetapi kecepatannya harus
disesuaikan dengan struktur dan produktivitas industri kita. Apabila kredit
terlalu cepat, defisit transaksi berjalan meningkat. Oleh karena itu,
produktivitas industri harus dinaikkan. Kalau tidak, BI terpaksa melambatkan
ekspansi kredit. Di sini koordinasi dari APBN, neraca moneter, dan neraca
pembayaran menjadi penting apabila kita tak mau stabilitas makro terganggu.
Ingat situasi ekonomi bisa berubah dengan cepat. Di tengah optimisme saat ini,
peringatan ini mungkin menjengkelkan dan membuat kita murung. Persis seperti
ilmu ekonomi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar