Senin, 12 Maret 2012

Para Ksatria dan Bela Negara


Para Ksatria dan Bela Negara
M. Sobary, ESAIS, ANGGOTA PENGURUS MASYARAKAT BANGGA PRODUK INDONESIA
Sumber : SINDO, 12 Maret 2012



Dalam kisah kepahlawanan, kisah para ksatria yang rela mati demi negara, kita dapatkan nama Kombakarna.Dia ksatria Alengka, berwujud raksasa sebesar gunung anakan.

Ini bahasa sastra lama yang lebih suka memilih ungkapan hiperbolik. Tapi kita tahu, tubuhnya memang sangat besar. Suaranya menggelegar tapi lembut, dan tak memancarkan rasa takut sedikit pun bagi yang mendengarnya. Tutur katanya pun halus. Apa yang diucapkannya mengandung kebenaran luhur setingkat sabda para brahmana. Boleh jadi dia bahkan mendekati sifat para dewa. Makannya memang sangat banyak.Namanya juga raksasa. Tapi, hidupnya diabdikan bagi kepentingan kemuliaan dan keutamaan budi. Pendeknya, Kombakarna mewakili jenis kemuliaan yang memesona.

Kita merasa malu melihatnya karena meskipun raksasa, jiwanya agung.Dambaan hidupnya bukan kemewahan duniawi, melainkan kesempurnaan hidup. Sebaliknya, kita,yang manusia, justru banyak yang berwatak raksasa.Kita hidup tanpa pagar-pagar penyekat batin dan moralitas. Inilah ironi memalukan: Kombakarna raksasa yang haus keluhuran,kita mencabekcabik dan menghancurkan semua bentuk keluhuran itu. Dalam epos Ramayana yang mendebarkan, dia maju menjadi senapati.Tapi, patut kita catat dulu bahwa di medan laga dia tak bermaksud bertempur melawan para prajurit Batara Rama.

Prajurit-prajurit kera itu simbol keluhuran karena mereka membantu Rama, titisan Dewa Wisnu,yang berada di garis kebenaran hampir mutlak, melawan Dasamuka, simbol kejahatan, yang juga hampir mutlak. Dengan busana serbaputih, tanda kesucian, sekaligus tanda kesiapan menerima kematiannya, dia maju ke medan laga tanpa senjata. “Dasamuka, kakakku, dan rajaku, salah. Aku tak membela orang yang salah.Tapi,aku maju ke medan pertempuran ini hanya mencegah agar musuh tak membuat kehancuran lebih jauh atas negeriku. Ini negeri tumpah darahku. Aku membela dan melindunginya.

Musuh boleh menghancurkan siapa yang salah,tapi negeriku tak bersalah. Dosa Dasamuka bukan dosa Negeri Alengka karena negeriku tak berdosa.” katanya, sambil berjalan terhuyung- huyung. Sesaat musuh-musuhnya gemetar. Langkah kakinya membikin bumi terguncang. Ribuan prajurit kera, yang menganggap Kombakarna musuhnya, segera mengepungnya. Mereka mengeroyok raksasa sebesar gunung itu. Tapi, Kombakarna, yang sakti namun tak berniat melakukan kekerasan, hanya menangkap kera demi kera dan melemparkan mereka jauh-jauh.

Tak ada yang disakiti. Dia tak merasa sakit hati diperlakukan begitu. “Aku tak memusuhimu. Aku hanya mencegah agar kalian tak membikin kerusakan di negeriku. Ini tanah leluhur, yang kujaga. Ini Bumi Pertiwi yang suci. Dasamukalah yang berdosa. Maka,menyingkirlah kamu semua.” Suara Kombakarna menggelegar seperti guntur.Sengaja dia memberi energi besar pada suaranya agar wibawanya membuat musuh-musuh takut. Ini disengaja karena dia hanya ingin mengusir mereka semua dengan suara itu. Benar,musuh-musuh gemetar. Tapi, mereka tidak takut. Kombakarna dikeroyok.

Di sini lebih baik tak kita ceritakan senjata apa, milik siapa, yang mengalahkannya. Cukup diceritakan bahwa raksasa berwatak brahmana ini roboh di medan perang. Darah mengalir dan menyucikan tubuh dan jiwanya, menyegarkan tanah airnya. Kombakarna sirna.Dewa serta para bidadari turun ke bumi, menyiramkan wewengian pada jasadnya.Kemudian bungabunga surgawi, yang harum, berhamburan m e n u t u p t u b u h raksasa itu. Kombakarna gugur dalam keterhormatan. Sekali lagi dia hanya raksasa.Tapi,kemuliaannya begitu memesona.

Karya sastra itu representasi dunia nilai dan etika.Kita,yang tak suka pada sastra macam ini, boleh melupakannya.Tapi,mustahil bahwa dalam hidup sehari-hari kita melupakan nilai dan etika. Kali ini dunia di sekitar kita memang sedang mendekati titik kehancuran. Maksudnya, tentu saja, kehancuran semua jenis nilai dan etika karena— terutama di dunia politik yang korup—etika tak berguna. Nilai diinjak-injak, ditaruh di bawah karpet pada anggota DPR, dan ketua-ketua partai. Atau di bawah karpet para ketua partai yang menjadi menteri.

Di sana sini, di mana adik pejabat, keponakan pejabat, anak pejabat, saudara-saudara pejabat, nilai terinjak dan membusuk.Etika hanya bagian dari cerita lama yang tak relevan. Apa yang marah justru sebaliknya: keluarga,adik,kakak, paman,sahabat-sahabat,diajak ikut menjarah uang rakyat melalui proses penganggaran.Sisanya langsung lewat proyekproyek pemerintah. Mereka tahu—terutama para politisi dan fungsionaris parlemen—di mana proyek terbesar, di mana kelemahan paling menyolok.

Dengan sikap raksasa liar—bukan seperti Kombakarna—semua dijarah rayah.Ada yang memakai peci, ada yang memakai sorban, ada yang memperlihatkan lambang partai, ada yang lembut dan gemulai, tapi simbolsimbol itu semua hanya sebuah omong kosong. Peci tak ada hubungan dengan kejujuran. Sorban bukan lambang kesalehan.Sorban, menurut pengamatan Nawal Sadawi di dalam kehidupan rohani Mesir, bukan lambang kesalehan, melainkan tanda kebusukan cara hidup para mullah.Tapi, apalah bedanya mullah di Mesir dengan anak, menantu, saudara, cucu para mullah kita.

Ini memalukan karena semuanya tanda kehancuran rohani. Tapi, mau bilang apa bila hal memalukan ini sebuah kebenaran yang tak bisa didebat? Ke mana kita mencari alternatif solusi kebobrokan moral ini? Di kalangan ksatria di dalam birokrasi? Di sana tak ada ksatria. Di kalangan mereka yang memakai simbol rohani? Mereka bukan penjaga rohani, nilai, dan etika. Kita tak memiliki lagi ksatria. Apa lagi yang bicara tentang membela negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar