Senin, 12 Maret 2012

Horeee, Koruptor Bebas Bersyarat!


Horeee, Koruptor Bebas Bersyarat!
Arswendo Atmowiloto, BUDAYAWAN
Sumber : SINDO, 12 Maret 2012




Saya pernah menyamakan koruptor seperti zombie—makhluk hidup yang tidak Pancasilais, tidak memiliki hati nurani,tak bisa melangkah mundur—terutama karena ia tak akan berhenti memangsa kawan atau lawan.
Sampai semua orang juga menjadi zombie atau menjadikan negeri ini negeri zombie. Tidak persis begitu, tetapi agaknya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DKI Jakarta, yang menilai keputusan Menteri Hukum dan HAM soal bebas bersyarat bagi napi korupsi menyalahi undang-undang yang berlaku, seakan membenarkan kisah ngeri itu. Kini para napi korupsi yang kemarin tertahan pembebasan bersyaratnya bisa bebas. Bisa aktif seperti biasa dan atau terjun ke dunia politik kalau dimungkinkan.

Bahasa Teks

Kemuakan masyarakat pada tindak pidana korupsi, juga pada para koruptor, sudah mencapai ubun-ubun. Dengan mudah bisa terbaca, terlihat, terdengar melalui media. Namun dalam bahasa hukum, ini tak mudah dipahami karena teks tertulis tak mewadahi kegeraman seperti ini. Bahasa hukum adalah bahasa yang terpahami ukurannya, perbandingannya.

Tak berbeda dengan bahasa industri di mana sharing/rating menjadi terpenting, bukan mengukur apakah tayangan itu bagus atau membodohi masyarakat penontonnya, seperti juga mengukur kekuatan media cetak melalui tiras atau jumlah iklannya.Data bagus atau mendidik adalah data yang tak bisa dibandingkan satu orang dengan orang yang lain karena ukurannya bisa berbeda. Namun data jumlah audiens bisa dibandingkan kuantitasnya, bukan kualitasnya.

Kalau itu bisa dipakai sebagai pendekatan, putusan PTUN bisa dilihat bukan memberi kesempatan berkorupsi atau memenangkan tindak korupsi, melainkan kemampuan dan kecerdasan merumuskan surat keputusan,termasuk penghentian pemberian remisi dan sejenisnya. Idiom hukum yang sama, apalagi terkait hak asasi manusia (HAM), yang harus dimainkan, agar tak ditarik atau dibatalkan. Saya ingin memahami secara begini, dibandingkan menerima sebagai perlawanan dengan siasat tinggi dari para koruptor yang pintar ini—kalau tak pintar, tak bisa korupsi.

Bahasan Realitas

Pada saat yang sama ini menggambarkan betapa kesenjangan realitas juga terjadi dalam pengelolaan dan penegakan hukum kita. Secara tertulis, secara teks, napi berhak mendapatkan remisi yang bersifat umum, setiap tanggal 17 Agustus, sebuah berkah indah dari Kemerdekaan.Atau juga remisi tambahan kalau ia menjabat sebagai voorman, pemuka, dalam bidang apa saja.

Atau juga kalau ia menyumbang darah. Pada kenyataannya, untuk mendapatkan remisi khusus, napi abal-abal, napi tak berduit, tak bisa mengurus. Karena diperlukan fulus. Dalam tata krama yang lebih luas, itulah yang diperlukan untuk mengurus bisa mendapatkan asimilasi—bisa bekerja di luar penjara, tapi malam masuk lagi, setelah menjalani separuh masa hukuman, atau pembebasan bersyarat—bisa pulang ke rumah seperti orang bebas, setelah menjalani dua pertiga masa hukuman. Atau juga cuti sebelum bebas, atau sejenisnya.

Semua ini tidak datang otomatis, melainkan harus diurus, harus “dikawal”—dalam bahasa penjara. Untuk sukses pengurusan ini bukan otoritas Lembaga Pemasyarakatan semata, melainkan ada birokrasi di atasnya, apakah namanya kanwil atau bahkan dirjen.Tak ada makan siang gratis karena semboyannya jer basuki mawa bea—kalau mau selamat ada beaya (biaya)-nya. Atau dalam bahasa yang lebih lugas adalah wani pira,berani bayar berapa? Varian dari aturan, tata krama, ini demikian banyaknya sejak berada dalam penjara baik sebagai orang tahanan atau napi.

Kita mendengar bagaimana terjadinya besukan di luar jam semestinya, fasilitas di dalam kamar, kesempatan bisa berobat ke luar penjara, dan atau berintim dengan suami/istri. Kesenjangan yang terus terjadi inilah yang dibahasakan dengan adanya tindak diskriminatif para sipir. Akan selalu begitu. Para napi kasus korupsi, penyelundupan, penipuan bank, dan “bandar judi”, atau juga narkoba, adalah termasuk napi berdasi dan gendut. Mereka bisa tebar pesona bahkan sebelum masuk bui, dan membagi rezeki setiap saat.

Keberadaan mereka menghidupkan kegersangan baik bagi sesama napi maupun sipir, sekaligus godaan menjerat dan berat— nyatanya tak bisa diangkat atau diselesaikan secara tuntas. Inilah kehidupan para napi yang jumlahnya sekitar 200.000 saja, namun menyimpan kekuatan yang akan selalu menarik perhatian. Gugatan para terpidana kasus korupsi yang diterima PTUN menegaskan bahwa untuk penegakan hukum diperlukan jurus cerdas dan bukan arogansi kuasa atau gaya.

Diperlukan sikap tegas,sekaligus jelas, akan adanya realitas yang berbeda antara teks dan pelaksanaannya. Kalau ini diseriusi, teriakan “hore” para koruptor tak akan berkelanjutan. Zombie pun akhirnya selalu bisa dikalahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar