Panggung
Kaum Muda
Agus
Hernawan, PENELITI
STUDI ADVOCACY DI SIT-VERMONT, AS
SUMBER : KOMPAS, 19 Maret 2012
“Kami
bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan.”
(Naskah Proklamasi Kemerdekaan 1945)
Kata ”bangsa” pada kutipan Naskah Proklamasi
di atas dicomot dari kata Sanskerta: vamsa atau vamca yang artinya ’keluarga,
ras, keturunan’ atau ’satu garis keluarga’ (Russell Jones [Ed] dalam Loan-Words in Indonesian and Malay).
Arti etimologis ini menjadi penegas bahwa
Indonesia adalah ”satu keluarga” yang bersumber dari kesamaan asal-usul masa
lalu. Kesamaan itu ialah posisi sebagai inlander di lantai terendah struktur
sosial kolonial yang membuat pengertian bangsa atau kebangsaan melampaui
signifikasi etnologis.
Karena itu, bangsa dan kebangsaan menjadi
penegasan kehadiran. Lebih spesifik lagi, ia merupakan panggung sejarah kaum
muda. Ia merepresentasikan kesatuan tubuh kolektif kaum muda yang terikat pada
tujuan dan yang berhubungan dengan kekuasaan dalam pertarungan yang dialektik
sifatnya.
Jika kebangsaan berarti kehadiran dalam
pikiran dan imajinasi banyak orang, kekuasaan adalah kehendak dan tindakan kaum
muda dalam relasi dengan kenyataan material. Bagi kaum muda masa itu,
kebangsaan tidak berhenti di medan simbolis, tetapi mensyaratkan kekuasaan
sebagai penegasan sang subject-centered.
Kekuasaan tidak ditabukan, sebaliknya
dilahirkan melalui pengorganisasian dan linked-solidarity dengan kepentingan
orang banyak. Di titik inilah, pada masa itu, kaum muda mengada dan berterima
sebagai juru bicara sesuatu yang disebut Indonesia.
Populis vs Populer
Tahun 1921, Soekarno muda dengan lantang
meneriakkan, ”para intelektual harus memikirkan nasib rakyat”. Bahkan, dalam
pleidoi Indonesia Menggugat, Soekarno mengulang lagi keyakinannya dengan
menyatakan senjata kaum PNI ialah kekuasaan semangat rakyat. Dalam Di Bawah
Bendera Revolusi, Bung Karno menegaskan tesis ”sini-sana” yang dialektis
sifatnya. ”Sini” ialah suatu masyarakat tertindas dan hendak lepas, bebas dari
”sana” yang menindas. Mencapai Indonesia merdeka, kata Bung Karno, adalah
perjuangan dengan cara yang di ”sini” mengorganisasi diri, melakukan aksi-massa
untuk melahirkan massa-aksi (kekuasaannya sendiri).
Mengunci nalar kritis dalam memahami
dialektika ”sini-sana”, bahwa ”sini” (Indonesia) sudah sukses bebas dari ”sana”
(rezim kolonial asing), membuat perayaan kemerdekaan sebatas romantisme heroik
pembebasan nasional. Dialektika ”sini-sana” yang dinyatakan Bung Karno
sesungguhnya rangkuman segala heroisme kaum muda yang disebut inlander,
manifestasi blok solidaritas yang merangsek dan membentuk reeksistensi
Indonesier dengan masyarakat yang dicita-citakan, dengan semboyan ”dari Sabang
sampai Merauke”.
Pertautan, keterlibatan, dan sikap tidak
mengisolasi diri membentuk karakteristik kaum muda masa lalu ke model
kepemimpinan populis. Namun, evolusi yang merusak telah merunyak dewasa ini.
Dorongan untuk meraih kekuasaan secara instan telah membuat kekuasaan dilucuti
dari cita-cita kebangsaan dan kehendak orang banyak.
Kekuasaan menjadi entitas yang terlepas dan
sepenuhnya tegak di atas sepasang kaki bernama kemewahan, prestise sosial, dan
keangkuhan personal. Cita-cita kebangsaan dan kehendak orang banyak serupa ibu
tua yang dikirim ke rumah jompo.
Kata populis tergusur oleh kata populer.
Padahal, apa yang disebut terakhir tidak menyertakan basis moral yang jelas,
termasuk tidak didasari komitmen sosial atau prestasi sosial di masyarakat,
tetapi dikemas oleh slogan dan strategi branding mahal untuk melahirkan
asosiasi pesohor di panggung politik. Akibatnya, tokoh muda yang muncul tidak
berbeda dengan artis musiman dan cuma jadi pemimpin musiman. Lebih parah lagi,
mereka masuk jajaran koruptor.
Panggung Sejarah
Ben Anderson dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1945,
mendefinisikan Revolusi 45 sebagai revolusi orang muda. Meski banyak dikritik,
pernyataan itu mengandung kebenaran referensial. Ada kepararelan tesis Bung
Karno tentang dialektika ”sini-sana” dengan Anderson karena posisi kaum muda
adalah di ”sini”.
Namun, hari ini faktanya tidak demikian.
Sejumlah tokoh muda yang sempat digadang-gadang akan melahirkan perbedaan dan
membawa perubahan justru menjadi sumber pembusukan demokrasi kita. Mereka hanya
dikemas kosmetik pencitraan, bermodal kepopuleran, kartu nama leluhur, atau
finansial yang besar. Mereka sesungguhnya tidak di ”sini”. Mereka tidak bersama
kita. Mereka tidak mewakili kehendak orang banyak. Mereka jauh dari juru bicara
dari sesuatu yang disebut Indonesia.
Memilih posisi di ”sini” tidak selalu berarti
berada di luar kekuasaan atau sistem kekuasaan yang tengah berlangsung, tetapi
lebih menunjukkan adanya identitas ideologi kebangsaan. Kaum muda dengan
identitas ideologi kebangsaan akan menjadi momen korektif dan membuat jalan
sejarah kebangsaan selalu berada di dalam ketegangan kreatif untuk menjadi (to be). Setiap tindakan politik dan
kultural mereka akan terkoneksi permanen dengan cita-cita kebangsaan dan
kepentingan orang banyak.
Tidak Jelas Sini dan Sana
Ketidaktegasan antara ”sini” dan ”sana”
disertai ketidakjelasan identitas ideologi kebangsaan menjadi penyebab banyak
tokoh muda yang sebelumnya diharapkan justru terseret arus kepentingan ”sana”.
Mereka tersandera moralitas kekuasaan ”sana” yang berujur ”doeli toean”, dan semata jadi perwalian otoritas yang merusak.
Padahal, sebagaimana disebut di awal tulisan ini, kebangsaan merupakan medan
pertarungan dialektik, satu panggung sejarah kaum muda.
Ketidaksanggupan membuat panggung sejarah
sendiri dan ketidaksanggupan menjadi pembeda dan titian alternatif bagi
perubahan barangkali terkait dengan ketidaksanggupan membangun satu aliansi
strategis yang disebut collective
libertarian. Ironis bahwa hal ini merupakan kenyataan mundur jika
dibandingkan generasi 20-an yang berhasil mengatasi sekat-sekat primordial
menjadi kehadiran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar