Mengenang Prof Sajogyo (1926-2012) :
Bukan
Sekadar Garis
Bayu
Krisnamurthi, KETUA UMUM PERHEPI 2011-2014; WAKIL MENTERI
PERDAGANGAN RI
SUMBER : KOMPAS, 19 Maret 2012
Ketika wartawan menanyakan bagaimana
menggambarkan sosok almarhum Profesor Sajogyo dalam dua kata saat pemakaman
beliau, Sabtu (17/3) lalu, saya menjawab, ”Lurus, sederhana!” Yang lurus dan
sederhana adalah sebuah ”garis” sesuai karya Prof Sajogyo yang paling dikenal:
Garis Kemiskinan Sajogyo.
Konsep Garis Kemiskinan masih terus dipergunakan—dengan
beberapa modifikasi—bahkan hingga hari ini, saat kita membicarakan realokasi
subsidi bahan bakar minyak ke program-program yang lebih langsung diterima
masyarakat berpendapatan rendah.
Namun, karya Prof Sajogyo bukan hanya Garis
Kemiskinan. Lahir di Karanganyar, Kebumen, 21 Mei 1926, dengan nama Sri Kusumo
Kampto Utomo, Sajogyo lulus sarjana tahun 1955 dan mendapat gelar doktor 2
tahun kemudian pada umur 31 tahun. Menjadi guru besar pada usia 37 tahun, Prof
Sajogyo menjadi rektor IPB pada masa-masa sulit, 1965-1966, sekaligus memimpin
(1963-1965) Program Bimas SSBM, yang menjadi cikal bakal dari pencapaian
swasembada beras tahun 1985.
Tahun 1969, Sajogyo yang sosiolog itu juga
menjadi pendiri Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, yang menegaskan bahwa
dalam memandang berbagai masalah pertanian dan pedesaan dimensi sosial ekonomi
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Prinsip itu masih dipergunakan banyak
ahli hingga saat ini, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di banyak negara.
Prof Sajogyo, atas tugas Prof Widjojo
Nitisastro dan Prof Saleh Afiff di Bappenas, menjadi Ketua Evaluasi Program
Usaha Peningkatan Gizi Keluarga (1972-1973). Tugas ini melahirkan pemahaman
bahwa antara gizi—khususnya asupan kalori—dan kemiskinan berkorelasi kuat. Kemiskinan
menimbulkan asupan gizi yang buruk, dan gizi yang buruk dapat melanggengkan
kemiskinan.
Inilah yang kemudian (1977) mendasari
pemikiran bahwa ”batas kemiskinan” dapat diukur dengan tingkat asupan kalori
tertentu (2.100 kkal), yang kemudian dapat ”disetarakan” dengan jumlah konsumsi
beras. Belakangan, dengan memasukkan harga beras setempat, dapat dihitung
jumlah rupiah pengeluaran sebagai indikator batas kemiskinan itu, atau yang
dikenal dengan garis kemiskinan.
Sosiologi Pedesaan
Kesadaran bahwa masalah kemiskinan dan
pedesaan merupakan masalah sangat penting dan kompleks mendorong Prof Sajogyo
mendirikan Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan IPB, tahun 1973, yang kemudian
menjadi Pusat Studi Pembangunan tahun 1983. ”Belajarlah dari masyarakat”, itu
selalu pesan beliau kepada murid-muridnya, terutama di Program Studi Sosiologi
Pedesaan yang diketuainya dari tahun 1975 hingga 1991.
Dari kajian di Lembaga Penelitian Sosiologi
Pedesaan dan Pusat Studi Pembangunan, (almarhum) Prof Sajogyo—bersama istrinya,
(almarhumah) Prof Pudjiwati Sajogyo, dan para koleganya seperti Prof SMP
Tjondronegoro beserta murid mereka—telah melahirkan sejumlah rintisan studi dan
bangunan teori tentang studi wanita, kajian agraria, dan kajian industrialisasi
pedesaan.
Interaksi Prof Sajogyo dan koleganya itu
dengan pemikir dan pakar internasional juga melahirkan pemikiran dan pemahaman
yang lebih baik tentang berbagai fenomena masyarakat, seperti involusi
pertanian, transformasi struktural tenaga kerja pedesaan, efektivitas subsidi,
dan dampak mekanisasi.
Karya dan sumbangan pemikiran Prof Sajogyo
yang luas dan benar-benar berarti bagi masyarakat tidak hanya diakui oleh
pemerintah—yang ditandai dengan Penghargaan Satya Lencana Karya Satya Tingkat I
(Presiden Soeharto, 1989), Penghargaan Bintang Jasa Utama (Presiden Soeharto,
1993), Penghargaan Satyalencana Pembangunan (Presiden BJ Habibie, 1998), dan
Penghargaan Bintang Mahaputra Utama (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
2009)—tetapi juga diakui oleh berbagai elemen masyarakat, antara lain BJ
Habibie Award, Achmad Bakrie Award, dan penghargaan dari IPB/HA-IPB.
Karya Sajogyo jelas bukan sekadar ”garis”,
juga kepribadiannya. Dengan jenggot putih panjang yang menjadi ciri khasnya,
dengan suara yang sangat lembut, dan dengan kesederhanaannya yang luar biasa,
Prof Sajogyo ternyata juga piawai membakar semangat.
Ketika saya pernah ragu untuk
mempresentasikan suatu makalah di luar negeri, karena merasa makalah itu kurang
bagus, dengan lembut beliau mengatakan, ”Masak ’merah putih’ takut berdiskusi
dengan negara lain.” Sebuah ”pecutan tajam” yang tak bisa dibalas kecuali
dengan ”Terima kasih, Pak Sajogyo”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar