Senin, 19 Maret 2012

OJK yang Timpang


OJK yang Timpang
Irvan Rahardjo, KOMISARIS INDEPENDEN ASURANSI JIWA BERSAMA BUMIPUTERA 1912
SUMBER : KOMPAS, 19 Maret 2012


Panitia Seleksi Calon Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan baru menyelesaikan seleksi tahap kedua dari seluruh proses seleksi calon anggota. Melihat calon anggota yang lolos seleksi, muncul pertanyaan tentang konfigurasi dan komposisi hasil akhir DK-OJK nantinya.

Dari 309 pendaftar yang berminat mengikuti seleksi, sebanyak 87 orang dinyatakan lolos tahap pertama, yakni seleksi administrasi. Pada tahap ini, konfigurasi para calon masih menunjukkan representasi berbagai subsektor industri keuangan, seperti perbankan, asuransi, pasar modal, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Dominasi Birokrat

Memasuki tahap kedua yang merupakan tahap kapabilitas, seleksi menyisakan 38 calon yang didominasi unsur birokrat. Pejabat regulator pengawasan lembaga keuangan dari Bank Indonesia dan Bapepam-Lembaga Keuangan mendominasi kelulusan seleksi tahap kedua, masing-masing delapan orang dan enam orang.

Selain itu, terdapat juga regulator dari unsur Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, masing-masing empat dan dua orang. Jika menambahkan nama ekonom Anggito Abimanyu (mantan Ketua Badan Kebijakan Fiskal Depkeu) dan Firdaus Djaelani (Ketua Lembaga Penjaminan Simpanan, mantan Direktur Asuransi Depkeu), total ada 22 dari 38 orang yang lolos dari unsur birokrat.

Dari kalangan bankir profesional tercatat enam orang lolos, umumnya berasal dari bank pemerintah, dengan empat bankir berasal dari Bank Mandiri. Seleksi menyisakan dua tahap tes kesehatan dan kompetensi yang akan menyaring 21 orang untuk diajukan ke presiden. Presiden akan memilih 14 orang untuk diajukan ke DPR. Terakhir DPR menyaring menjadi tujuh orang yang ditetapkan sebagai anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK-OJK) oleh presiden, ditambah dua anggota ex officio masing-masing dari Kemenkeu dan BI.

Konfigurasi OJK

Panitia seleksi telah bekerja keras mendapatkan calon terbaik yang akan menakhodai lembaga pengawas perbankan dan jasa keuangan dengan menyurati tak kurang dari 39 asosiasi industri keuangan untuk mengirim kandidat calon anggota dewan komisioner. Namun, hasilnya tak banyak yang dapat dijaring dari kalangan praktisi di luar birokrat dan bankir pelat merah.

Hal ini tak lepas dari proses politik yang harus dilalui para calon untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Sementara kita tahu, citra dan kepercayaan publik kepada lembaga perwakilan sedang turun. Dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPR jelas kian memperburuk citra DPR. Hal ini menimbulkan keengganan kebanyakan praktisi dan profesional untuk mengikuti seleksi yang boleh jadi masih menyimpan calon komisioner yang punya integritas dan moral.

Anwar Nasution menyebut potensi permasalahan penyatuan lembaga pemeriksa lembaga keuangan dalam satu badan seperti OJK. Di antaranya, dapat memicu politisasi atau masuknya kepentingan tertentu dalam kerangka pengaturan dan pengawasan industri keuangan yang pada hakikatnya bersifat teknis. Politisasi kian dimungkinkan jika komisioner berasal dari anggota DPR yang tak menguasai masalah teknis (Kompas, 8/3/2012, ”Otoritas Jasa Keuangan”). I Nyoman Tjager mengajak untuk menyingkirkan egoisme profesi dan sektoral (Kompas, 7/3/2012, ”Superbodi dan Bodi Super”).

Harap diingat bahwa menurut UU, anggaran OJK selain bersumber dari APBN juga berasal dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan (Pasal 34 Ayat 2) dan penggunaannya dikecualikan dari standar biaya umum, pengadaan barang dan jasa, serta sistem remunerasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan APBN, pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta sistem remunerasi (Pasal 35 Ayat 2).

OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK (Pasal 37 Ayat 1 dan 2). Artinya, kontribusi pelaku jasa keuangan hendaknya tecermin pada konfigurasi seluruh unsur subsektor industri perbankan dan jasa keuangan pada komposisi DK-OJK. Hal ini tidak tergambar pada hasil seleksi.

Tidak adanya wakil di luar birokrat dan perbankan akan menimbulkan resistansi pelaku jasa keuangan melalui asosiasi masing-masing dalam membayar iuran wajib dan menimbulkan masalah akuntabilitas dari sisi tata kelola OJK dengan kewenangan yang demikian besar.

OJK yang akan mengawasi aset industri perbankan dan jasa keuangan senilai Rp 7.700 triliun, termasuk aset asuransi jiwa dan asuransi umum senilai Rp 300 triliun—dan ditargetkan meningkat menjadi Rp 500 triliun pada 2014—tidak menyisakan satu pun calon komisioner dari industri asuransi jiwa. Demikian pula, tak tampak nama dari keempat BUMN asuransi sosial yang akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014 sesuai UU No 24/2011 tentang BPJS, dengan total aset Rp 190 triliun dan dana pensiun dengan aset Rp 130 triliun. Saat ini memang masih jadi perdebatan soal bagaimana fungsi pengawasan terhadap BPJS, apakah berada di bawah otoritas Badan Pemeriksa Keuangan atau OJK.

Pekerjaan Rumah OJK

Tantangan dan pekerjaan rumah untuk melaksanakan BPJS sebagai amanat UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional tak ringan. Sampai lewat tenggat waktu lima tahun yang ditentukan UU kita tak melakukan apa- apa dengan SJSN hingga menuai gugatan ke Mahkamah Konstitusi perkara nomor 007/PUU-III/ 2005 dan gugatan warga negara (citizen lawsuit) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perkara nomor 278/PDT.G/2010/PN.JKT.PST.

Pascakrisis 1997-1998 perkembangan asuransi demikian pesat, seperti unit link, bancassurance, asuransi syariah, surety bond, yang hingga kini belum diakomodasi dalam UU perasuransian. Rencana melakukan adopsi dan konvergensi terhadap ketentuan International Financial Reporting System 4 yang mengharuskan laporan keuangan perusahaan asuransi memisahkan transaksi premi proteksi dan premi investasi membutuhkan kerja sama dengan semua praktisi lembaga keuangan.

Demikian pula tentang nasib transformasi Taspen dan Asabri ke depan yang belum jelas dalam peta jalan BPJS. Pengalaman pemerintah (baca: birokrasi) melalaikan SJSN dan nasib UU No 2/1992 tentang perasuransian yang selama 25 tahun tidak tersentuh revisi oleh regulator perasuransian hendaknya tidak terulang dengan rezim OJK. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar