OJK
yang Timpang
Irvan
Rahardjo, KOMISARIS
INDEPENDEN ASURANSI JIWA BERSAMA BUMIPUTERA 1912
SUMBER : KOMPAS, 19 Maret 2012
Panitia Seleksi Calon Anggota Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan baru menyelesaikan seleksi tahap kedua dari
seluruh proses seleksi calon anggota. Melihat calon anggota yang lolos seleksi,
muncul pertanyaan tentang konfigurasi dan komposisi hasil akhir DK-OJK
nantinya.
Dari 309 pendaftar yang berminat mengikuti
seleksi, sebanyak 87 orang dinyatakan lolos tahap pertama, yakni seleksi
administrasi. Pada tahap ini, konfigurasi para calon masih menunjukkan
representasi berbagai subsektor industri keuangan, seperti perbankan, asuransi,
pasar modal, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan
lainnya.
Dominasi Birokrat
Memasuki tahap kedua yang merupakan tahap
kapabilitas, seleksi menyisakan 38 calon yang didominasi unsur birokrat.
Pejabat regulator pengawasan lembaga keuangan dari Bank Indonesia dan
Bapepam-Lembaga Keuangan mendominasi kelulusan seleksi tahap kedua,
masing-masing delapan orang dan enam orang.
Selain itu, terdapat juga regulator dari
unsur Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN, masing-masing empat dan dua
orang. Jika menambahkan nama ekonom Anggito Abimanyu (mantan Ketua Badan
Kebijakan Fiskal Depkeu) dan Firdaus Djaelani (Ketua Lembaga Penjaminan
Simpanan, mantan Direktur Asuransi Depkeu), total ada 22 dari 38 orang yang
lolos dari unsur birokrat.
Dari kalangan bankir profesional tercatat
enam orang lolos, umumnya berasal dari bank pemerintah, dengan empat bankir
berasal dari Bank Mandiri. Seleksi menyisakan dua tahap tes kesehatan dan
kompetensi yang akan menyaring 21 orang untuk diajukan ke presiden. Presiden
akan memilih 14 orang untuk diajukan ke DPR. Terakhir DPR menyaring menjadi
tujuh orang yang ditetapkan sebagai anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan (DK-OJK) oleh presiden, ditambah dua anggota ex officio masing-masing
dari Kemenkeu dan BI.
Konfigurasi OJK
Panitia seleksi telah bekerja keras
mendapatkan calon terbaik yang akan menakhodai lembaga pengawas perbankan dan
jasa keuangan dengan menyurati tak kurang dari 39 asosiasi industri keuangan
untuk mengirim kandidat calon anggota dewan komisioner. Namun, hasilnya tak
banyak yang dapat dijaring dari kalangan praktisi di luar birokrat dan bankir
pelat merah.
Hal ini tak lepas dari proses politik yang
harus dilalui para calon untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Sementara kita tahu, citra dan kepercayaan publik kepada lembaga perwakilan
sedang turun. Dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPR jelas kian
memperburuk citra DPR. Hal ini menimbulkan keengganan kebanyakan praktisi dan
profesional untuk mengikuti seleksi yang boleh jadi masih menyimpan calon
komisioner yang punya integritas dan moral.
Anwar Nasution menyebut potensi permasalahan
penyatuan lembaga pemeriksa lembaga keuangan dalam satu badan seperti OJK. Di
antaranya, dapat memicu politisasi atau masuknya kepentingan tertentu dalam
kerangka pengaturan dan pengawasan industri keuangan yang pada hakikatnya
bersifat teknis. Politisasi kian dimungkinkan jika komisioner berasal dari
anggota DPR yang tak menguasai masalah teknis (Kompas, 8/3/2012, ”Otoritas Jasa
Keuangan”). I Nyoman Tjager mengajak untuk menyingkirkan egoisme profesi dan
sektoral (Kompas, 7/3/2012, ”Superbodi dan Bodi Super”).
Harap diingat bahwa menurut UU, anggaran OJK
selain bersumber dari APBN juga berasal dari pihak yang melakukan kegiatan di
sektor jasa keuangan (Pasal 34 Ayat 2) dan penggunaannya dikecualikan dari
standar biaya umum, pengadaan barang dan jasa, serta sistem remunerasi
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan APBN,
pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta sistem remunerasi (Pasal 35 Ayat
2).
OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang
melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dan pihak yang melakukan kegiatan di
sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK (Pasal 37 Ayat
1 dan 2). Artinya, kontribusi pelaku jasa keuangan hendaknya tecermin pada
konfigurasi seluruh unsur subsektor industri perbankan dan jasa keuangan pada
komposisi DK-OJK. Hal ini tidak tergambar pada hasil seleksi.
Tidak adanya wakil di luar birokrat dan
perbankan akan menimbulkan resistansi pelaku jasa keuangan melalui asosiasi
masing-masing dalam membayar iuran wajib dan menimbulkan masalah akuntabilitas
dari sisi tata kelola OJK dengan kewenangan yang demikian besar.
OJK yang akan mengawasi aset industri
perbankan dan jasa keuangan senilai Rp 7.700 triliun, termasuk aset asuransi
jiwa dan asuransi umum senilai Rp 300 triliun—dan ditargetkan meningkat menjadi
Rp 500 triliun pada 2014—tidak menyisakan satu pun calon komisioner dari
industri asuransi jiwa. Demikian pula, tak tampak nama dari keempat BUMN
asuransi sosial yang akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan pada 1 Januari 2014 sesuai UU No 24/2011 tentang BPJS, dengan
total aset Rp 190 triliun dan dana pensiun dengan aset Rp 130 triliun. Saat ini
memang masih jadi perdebatan soal bagaimana fungsi pengawasan terhadap BPJS,
apakah berada di bawah otoritas Badan Pemeriksa Keuangan atau OJK.
Pekerjaan Rumah OJK
Tantangan dan pekerjaan rumah untuk
melaksanakan BPJS sebagai amanat UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional tak ringan. Sampai lewat tenggat waktu lima tahun yang ditentukan UU
kita tak melakukan apa- apa dengan SJSN hingga menuai gugatan ke Mahkamah
Konstitusi perkara nomor 007/PUU-III/ 2005 dan gugatan warga negara (citizen
lawsuit) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perkara nomor
278/PDT.G/2010/PN.JKT.PST.
Pascakrisis 1997-1998 perkembangan asuransi
demikian pesat, seperti unit link, bancassurance, asuransi syariah, surety
bond, yang hingga kini belum diakomodasi dalam UU perasuransian. Rencana
melakukan adopsi dan konvergensi terhadap ketentuan International Financial
Reporting System 4 yang mengharuskan laporan keuangan perusahaan asuransi
memisahkan transaksi premi proteksi dan premi investasi membutuhkan kerja sama
dengan semua praktisi lembaga keuangan.
Demikian pula tentang nasib transformasi
Taspen dan Asabri ke depan yang belum jelas dalam peta jalan BPJS. Pengalaman
pemerintah (baca: birokrasi) melalaikan SJSN dan nasib UU No 2/1992 tentang
perasuransian yang selama 25 tahun tidak tersentuh revisi oleh regulator
perasuransian hendaknya tidak terulang dengan rezim OJK. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar