Merevisi
UU Penyiaran
Sabam Leo Batubara, PEMERHATI PENYIARAN
SUMBER : KOMPAS, 7 Maret
2012
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran bermasalah. DPR mengagendakan perubahan UU tersebut. Pada 1 dan 8
Maret 2012 Komisi I DPR dijadwalkan menyelenggarakan dengar pendapat menerima
masukan dari publik.
Analisis terhadap performa penyelenggaraan
penyiaran menunjukkan bahwa masalah pokok yang dihadapi: Pasal 2 mengamanatkan
penyiaran diselenggarakan berasaskan kepastian hukum. Dalam kenyataan selama 10
tahun ini, yang mengemuka adalah konflik kewenangan. Siapa yang berdaulat dalam
penyelenggaraan penyiaran?
Menurut Kementerian Komunikasi dan
Informatika, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi pada 22 Juli 2004, hanya
pemerintah yang berwenang membuat regulasi penyiaran. Sementara itu, dalam
berbagai manuver—kendati kewenangannya telah diamputasi oleh MK—Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) masih bukan hanya berambisi, melainkan juga terkesan
tampil menjadi pemilik trifungsi: sebagai regulator, eksekutor, sekaligus
penegak hukum.
Kepastian
Hukum
Untuk mengupayakan kepastian hukum
penyelenggaraan penyiaran, DPR sebagai representasi rakyat pemilik kedaulatan
patut mempertimbangkan perubahan UU Penyiaran dengan mengakomodasi dua masukan
ini.
Usul pertama, revisi UU Penyiaran menegaskan
siapa sebaiknya yang menjadi regulator penyiaran. Tersedia tiga pilihan.
Memilih pemerintah sebagai regulator penyiaran dengan memberinya wewenang
menerbitkan peraturan pemerintah (PP) tentang penyiaran mengandung paling tidak
dua potensi persoalan. Pertama, PP berpotensi mengandung pasal karet dan itu
akan mengulangi penyimpangan seperti yang dilakukan rezim Orde Baru. UU Pokok
Pers melarang pembredelan pers, tetapi peraturan menteri membolehkannya.
Pemimpin DPR lewat suratnya kepada Menteri
Komunikasi dan Informatika tanggal 22 Februari 2006 berisi: Komisi I DPR
menolak pemberlakuan PP Nomor 49, 50, 51, dan 52 Tahun 2005 karena mengandung
pasal yang bertentangan dengan UU No 32/2002 tentang Penyiaran. Kenyataan
selanjutnya, pemerintah menganggap sepi putusan DPR itu.
Kedua, PP berkandungan konflik kepentingan.
Kalau menteri yang merumuskan PP itu berasal dari partai politik X, sangat
mungkin kepentingannya menjadi pertimbangan.
Memilih KPI sebagai regulator sekaligus
eksekutor dan penegak hukum hampir pasti akan menjadikan KPI sebagai monster
penyiaran. Sasa Djuarsa Sendjaja yang kaya
pengalaman tentang kinerja KPI
(karena pernah enam tahun menjadi komisioner KPI, termasuk tiga tahun ketua KPI
Pusat) menyampaikan pendapatnya lewat media pada 20/2/2012: ”Memberi tambahan
kewenangan kepada KPI bakal memunculkan sengketa kewenangan. Jika KPI memiliki
mandat sebagai regulator sekaligus pemberi izin, bakal muncul sengketa
kewenangan. Di mana-mana lembaga yudikatif dan eksekutif tidak boleh jadi
satu.”
Pilihan dengan 0 sengketa: DPR dan pemerintah
merevisi UU Penyiaran dengan merumuskan semua regulasi penyiaran dan
mengakomodasinya di dalam UU Penyiaran. Tujuh PP yang berlaku sekarang dapat
digunakan sebagai draf untuk dibahas di DPR dengan partisipasi ATVSI, PRSSNI,
ATVLI, PWI, AJI, IJTI, KPI, Dewan Pers, dan pemangku kepentingan lainnya.
Dengan meniru model seperti itu, UU Penyiaran
Australia yang tebalnya 561 halaman di satu sisi mengakomodasi demokratisasi
penyiaran, demokratisasi ekonomi, dan prinsip ekonomi media. Di sisi lain UU
itu bebas dari sengketa kewenangan.
Desain
Mengenai KPI
Usul kedua, KPI diberi wewenang menjadi
penegak Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Negarawan Inggris, Lord Acton, mengatakan, power tends to corrupt, absolute
power corrupts absolutely. Merujuk pada kalimat terkenal itu, memberi kekuasaan
kepada KPI sebagai regulator, eksekutor, dan penegak hukum sekaligus berarti
menjerumuskan KPI ke pintu gerbang korupsi. Oleh karena itu, desain KPI berikut
patut dipertimbangkan.
Pertama, KPI tidak diberi kekuasaan membuat
regulasi penyiaran karena sudah dibuat oleh DPR. Kedua, KPI tidak membuat
P3SPS, tetapi memfasilitasi organisasi penyiaran dan pers—seperti ATVSI,
PRSSNI, ATVLI, PWI, AJI, IJTI, KPI, dan Dewan Pers serta pemangku kepentingan
lainnya—dalam penyusunannya. Hasilnya ditetapkan KPI.
Ketiga, selanjutnya KPI mengawasi pelaksanaan
P3SPS itu, memberi pertimbangan, dan mengupayakan penyelesaian pengaduan
masyarakat atas kasus yang diadukan. Terkait produk jurnalistik, diselesaikan
dengan berpedoman pada UU No 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.
Penilaian akhir atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Terkait content nonproduk jurnalistik, KPI memedomani UU Penyiaran dan P3SPS.
Keempat, KPI cukup satu dan berdomisili di
Jakarta. Di daerah dibentuk perwakilan atau komisariat KPI yang bertanggung
jawab kepada KPI Jakarta. Amerika Serikat yang federal punya satu ”KPI” belaka.
Kelima, seleksi calon komisioner
KPI dilakukan panitia seleksi yang profesional. Hasilnya dikirim
kepada DPR bukan untuk fit and proper test karena yang melakukannya adalah
panitia seleksi. DPR, sesuai dengan hak konstitusionalnya, berfungsi mengawasi,
mendeteksi, dan menilai apakah terhadap calon didapat
fakta cacat hukum yang mengugurkan calon itu.
Keenam, anggota KPI ada dari unsur
pemerintah, unsur wartawan, dan unsur industri penyiaran.
Regulasi penyelenggaraan penyiaran yang
dibuat DPR dan pemerintah pasti lebih demokratis dan sesuai dengan kepentingan
bangsa daripada pembuatannya dipercayakan hanya kepada pemerintah atau KPI. UU
Penyiaran yang memuat regulasi penyiaran itu akan lebih menciptakan kepastian
hukum dan membebaskan penyelenggaraan penyiaran dari sengketa kewenangan.
Membebaskan KPI dari multi-kewenangan
bertujuan agar lembaga itu fokus jadi penegak P3SPS, mengawasi pelaksanaannya,
memberi pertimbangan, dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus terkait content penyiaran nonjurnalistik.
Menyangkut kasus lain diselesaikan dengan
menganut peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Penyelesaian
pelanggaran jurnalisme penyiaran menjadi kewenangan Dewan Pers. Isi siaran
nonjurnalistik yang bersifat fitnah, bohong, dan atau cabul serta dugaan jual
beli frekuensi penyiaran diproses di jalur hukum. Penyelesaian dugaan praktik
monopoli diajukan kepada KPPU. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar