Rabu, 07 Maret 2012

Jangan Takut


Jangan Takut
Dinna Wisnu, DIREKTUR PASCASARJANA BIDANG DIPLOMASI UNIVERSITAS PARAMADINA  
SUMBER : SINDO, 7 Maret 2012


”Jangan Takut. China itu seperti panda, besar tetapi lembut”. Pernyataan tersebut terus diulang oleh Liu Quan, charge d’affaires atau pejabat sementara duta besar dari Kedutaan Besar Republik Rakyat China (Kedubes RRC) dalam forum diskusi 1 Maret 2012 di Universitas Indonesia.

Berbeda dengan pejabat terdahulu, Ibu Duta Besar Zhang Qiyue yang lemah lembut dan hampir selalu memosisikan diri sebagai pendengar, Liu Quan punya nada bicara yang lebih tegas, suara keras, dan raut wajah yang sangat ekspresif. Apakah perubahan kepemimpinan di Kedubes RRC menandakan pula perubahan pendekatan terhadap Indonesia,saya pikir kita dapat melihatnya pada hari-hari mendatang.

Namun, pesan Liu Quan sangat jelas dengan gaya bicaranya tersebut. Ia ingin agar hadirin yakin bahwa China tidak perlu ditakuti oleh Indonesia dan bahwa Indonesia sebenarnya lebih “besar” dibandingkan China. Saya melihat keuletan China dalam membuka hubungan yang akrab dengan Indonesia sebagai suatu karakter.

China memang gigih. Secara konsisten dalam kurun waktu 10 tahun ini, para pejabat China selalu menyuarakan,negeri itu hadir di Asia sebagai kekuatan yang menginginkan kerja sama dan membawa keuntungan besar bagi kawasan ini. Ketika Perdana Menteri China Wen Jiabao berkunjung ke Jakarta pada April 2011,pesan utamanya bangsa Indonesia dapat memegang kata-katanya yakni Pemerintah China tidak akan berpaling dan berkhianat dari janji-janji untuk bersama-sama tumbuh sebagai suatu kawasan yang dinamis pertumbuhan ekonominya.

PM Jiabao tampaknya memahami benar keragu-raguan adalah karakter kepemimpinan Indonesia saat ini dan keragu- raguan itu mudah menular pada publik. Sebab itu, PM Jiabao perlu menyampaikan pesan dalam bahasa yang terang dan jelas. Pesan Liu Quan selayaknya menjadi bahan refleksi bagi bangsa ini.

Meskipun Indonesia berpenduduk besar,punya pertumbuhan ekonomi tinggi dan dinamis, serta punya beragam fasilitas mutakhir, politik luar negeri Indonesia terlalu berhati-hati. Awalnya saya pikir hanya saya sebagai orang Indonesia yang berpandangan demikian. Sejumlah diplomat dan duta besar negara sahabat ternyata menyampaikan pandangan serupa. Ada suatu harapan besar dari negara-negara lain agar Indonesia lebih berani dan tegas dalam menyuarakan posisinya.

Misalnya saja menyangkut hubungan kerja sama dengan China.Sebenarnya negara lain dapat membaca bahwa ratarata masyarakat Indonesia masih berpandangan negatif terhadap kedekatan dengan China.Tetapi, apakah Indonesia setuju pada pendekatan China dalam bermitra? Apakah Indonesia punya syaratsyarat dalam bermitra? Apakah ada langkah konkret untuk membangun rasa percaya antarnegara?

Belum ada kejelasan. Ketika menghadapi kritik dari publik,yang muncul justru sikap mendua yakni mengkritik China. Padahal bukankah suatu kerja sama selalu diawali oleh kesepakatan dari pihak Indonesia juga? Sebenarnya dalam diplomasi sangatlah dimungkinkan untuk menyuarakan ketidaksetujuan terhadap kebijakan negara lain, bahkan ketika kebijakan tersebut bersifat domestik.

Di sinilah terjadi tawar-menawar dan negosiasi. Namun, ada satu bekal utama yang diperlukan para diplomat yang bernegosiasi tersebut. Mereka membutuhkan kejelasan arah politik luar negeri dan kepentingan nasional, serta komitmen domestik yang dapat diandalkan sebagai daya tawar dalam negosiasi. Bekal utama ini yang absen dalam pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia.

Ketika berhadapan dengan China, yang oleh publik notabene masih dicurigai punya motif-motif politik dan ekonomi yang berpotensi merugikan bangsa Indonesia,muncul pertanyaan. Bagaimana caranya memperlakukan China sebagai teman? Teman yang seperti apa? Bukankah kecurigaan bukan berarti menganggap China sebagai musuh? Atau ketika diplomat diarahkan untuk mencari keseimbangan dalam hubungan dengan China, di manakah patokan keseimbangan yang tepat? Menjaga hubungan yang dinamis dengan China adalah pekerjaan relatif mudah.

Kita bisa menambah kegiatan atau kerangka kerja sama.Tetapi, kedinamisan hubungan tadi memerlukan arah yakni jenis hubungan apa yang sedang ingin dipupuk bersama China. Ada yang berpendapat, sedang terjadi quiet diplomacy atau diplomasi di belakang layar dengan China. Artinya, ketidakjelasan posisi Indonesia adalah suatu strategi demi membantu negosiasi. Bila posisi Indonesia tidak terbaca oleh negara lain, arah negosiasi masih bisa disetir sesuai kemauan.

Argumen tersebut menarik, tetapi ada satu hal yang sebenarnya kurang tepat dalam logika argumen tersebut. Quiet diplomacy memerlukan target jelas,apalagi karena Indonesia bukan dalam posisi lemah dalam bernegosiasi dengan China. Indonesia punya posisi daya tawar yang besar, baik di tingkat kawasan maupun di tingkat global.

Kebesaran populasi Indonesia, posisi geopolitik yang strategis, dan citra sebagai negara yang cinta damai dan tidak bermotivasi mencari kekuasaan belaka dalam percaturan politik global adalah daya tawar yang luar biasa. Daya tawar inilah yang mendorong China untuk meyakinkan Indonesia agar tidak takut dan ragu dalam menerima China sebagai mitra utama di kawasan Asia.

China bisa membaca, sesungguhnya tak ada negara lain di kawasan Asia Tenggara yang relatif bisa dipercaya dan bisa diandalkan dalam menopang pertumbuhan ekonominya selain Indonesia. China butuh tumbuh. Dengan populasi 1,3 miliar jiwa, mereka butuh mesin pertumbuhan ekonomi yang sangat besar. Mereka butuh pasar yang besar dan haus terhadap produk-produk mereka. Mereka mencari tanah untuk bercocok tanam demi memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya.

Mereka mencari proyek untuk menghidupi BUMN mereka. Indonesia bisa memberikan itu semua. Mereka juga butuh saluran dana agar surplus mereka tidak menimbulkan panas ekonomi yang terlalu tinggi di dalam negeri. Wajar jika kemudian muncul skemaskema pinjaman dan investasi dari China ke Indonesia. Karena itu, mari kita lebih mawas diri.

Pendapatan per kapita Indonesia memang masih lebih rendah dibandingkan China, tetapi fakta bahwa China sangat mengharapkan uluran tangan Indonesia untuk menghidupkan perekonomiannya patut disikapi sebagai modal negosiasi dan kepercayaan diri yang besar. Sudah saatnya pemimpin negeri ini terbuka dan tegas akan arah kebijakan luar negeri Indonesia serta mengembangkan kerja sama luar negeri yang membangun kepercayaan publik akan arah kebijakan luar negeri yang tepat.Apalagi karena China begitu gigih mendekati Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar