Rabu, 07 Maret 2012

Membongkar Mafia dengan UU Pencucian Uang


Membongkar Mafia dengan UU Pencucian Uang
Natsir Kongah, PEMBELAJAR MASALAH-MASALAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
SUMBER : KOMPAS, 7 Maret 2012



Saya sedikit mengernyitkan dahi ketika membaca berita halaman depan Kompas, Minggu (4/3/2012), ”Laporan PPATK Harus Berindikasi Tindak Pidana”. Yenti Ganarsih yang dalam berita itu disebut sebagai pakar hukum pidana menilai, laporan hasil analisis yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkesan tak kuat dan tak terkait indikasi tindak pidana. ”Kalau tidak ada indikasi pidana, untuk apa diserahkan kepada aparat penegak hukum,” katanya.

Pada hemat saya, pernyataan itu keliru. Dari alur laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang disampaikan oleh penyedia jasa keuangan (PJK) kepada PPATK saja sudah terang ada indikasi bahwa LTKM yang disampaikan itu mengandung unsur menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan. LTKM yang diterima PPATK itu kemudian dianalisis dengan menggunakan, mencari, dan meminta data dari berbagai sumber informasi dengan pendekatan berbagai metode analisis yang telah terasah dan teruji.

Setelah dilakukan proses analisis, dihasilkan apa yang disebut hasil analisis (HA). Tak heran, dari 10.587.703 laporan yang disampaikan PJK serta Direktorat Bea dan Cukai hingga Januari 2012 kepada PPATK, ”hanya” 1.890 HA yang disampaikan kepada penyidik. ”Kecilnya” angka HA yang disampaikan ini karena PPATK tidak hanya sekadar berperan sebagai kantor pos, tetapi juga melakukan proses panjang untuk dapat memastikan bahwa HA yang disampaikan telah memiliki indikasi kuat tindak pidana pencucian uang.

Informasi intelijen keuangan yang disampaikan oleh PPATK ini relatif ”barang matang”, tinggal sentuhan penyidik untuk mendapatkan barang bukti, lalu kemudian menyampaikannya kepada penuntut umum untuk selanjutnya dibawa ke meja hijau. Dalam praktiknya memang diperlukan keahlian, kemauan, dan kecerdasan untuk dapat mengungkapkan hasil analisis yang dilakukan PPATK menjadi sebuah produk hukum yang mengikat.

Selain itu, sejatinya membangun rezim anti-pencucian uang yang efektif di Indonesia tidak hanya tergantung pada salah satu institusi, tetapi juga kerja sama dan kemauan kuat di antara lembaga terkait dengan didasarkan pada kepentingan bangsa dan negara. Seperti dalam sebuah ekosistem, apabila salah satu pihak mengalami kebocoran, efektivitas dari jalannya roda tersebut tak sesuai harapan.

Filosofi Lembaga

Financial intelligence unit (FIU), nama generik internasional dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, merupakan media atau sarana bagi suatu lembaga untuk menjalankan teknik atau metode yang dinilai paling efisien dan efektif untuk memerangi berbagai bentuk kejahatan pada saat sekarang ataupun pada masa mendatang.

Tidak ada aturan baku yang mengatur bentuk dan peranan yang harus dijalankan oleh suatu FIU. Rekomendasi yang diterbitkan oleh Caribbean Drug Money Laundering Conference, misalnya, hanya mengisyaratkan tentang suatu badan khusus yang bertanggung jawab melakukan tindakan penyidikan, penuntutan, dan penyitaan. Sementara Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering hanya menyebutkan perlunya otoritas yang kompeten yang bertugas menerima laporan dari penyedia jasa keuangan.

Sementara European Money Laundering Directive menyebut badan yang berwenang memerangi pencucian uang dan mewajibkan anggota Uni Eropa untuk menjamin bahwa badan tersebut memiliki kewenangan meminta laporan dari penyedia jasa keuangan dan mewajibkan anggota Uni Eropa untuk menjamin bahwa badan tersebut memiliki kewenangan meminta laporan dari penyedia jasa keuangan.

United Nations Convention Against Corruption (2003) memerintahkan agar setiap negara anggota mendirikan FIU yang secara nasional berfungsi sebagai pusat pengumpulan, analisis, dan penyebaran informasi terkait dugaan pencucian uang.

Keberadaan FIU bagi suatu negara dianggap cukup penting untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Meminjam pernyataan Guy Stessen (Money Laundering A New International Law Enforcement Model), secara umum ada tiga alasan mengapa kejahatan pencucian uang perlu diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana. Pertama, pencucian uang dapat memengaruhi sistem keuangan dan ekonomi yang diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya dampak negatif terhadap efektivitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya pencucian uang, sumber daya dan dana banyak digunakan untuk kegiatan tak sah dan merugikan masyarakat.

Kedua, pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan penegak hukum menyita hasil tindak pidana. Ketiga, pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana serta adanya ketentuan dan sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu serta transaksi yang mencurigakan akan kian memudahkan penegak hukum menyelidiki kasus tindak pidana sampai tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya.

Belajar dari Kasus Gayus

Mari kita belajar dari kasus terpidana Gayus Halomoan Tambunan. Ketika itu, laporan HA yang disampaikan PPATK ”kurang” optimal digali oleh penyidik sehingga proses penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan berjalan secara mulus dan akhirnya Gayus ketika itu diputus bebas oleh majelis hakim. Keputusan itu memicu kecurigaan di tengah masyarakat sehingga akhirnya Mabes Polri membentuk tim khusus untuk membongkar kembali kasus yang sama sehingga terbukti mulai dari pelaku, oknum penyidik, oknum penuntut umum, hingga oknum hakim terbukti ”bermain” dalam persoalan ini. Total hukuman Gayus mencapai 28 tahun penjara setelah mendapatkan vonis selama enam tahun penjara karena melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar