Mengakselerasi
Inisiatif Lokal
Ririn Handayani, MAHASISWA PASCASARJANA ILMU HUBUNGAN
INTERNASIONAL
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SUMBER : SUARA KARYA, 12 Maret 2012
Sebagai negara yang majemuk, perubahan di Indonesia idealnya
memang dimulai dari tingkat lokal. Banyak pakar pembangunan berpendapat bahwa
komitmen global seperti MDGs tidak akan pernah bisa terwujud jika tidak ada
kebijakan dan tindakan yang selaras di tingkat daerah dan komunitas (lokal).
Dalam konteks pendekatan pembangunan yang bottom
up, inisiatif lokal merupakan representasi partisipasi konkrit masyarakat
dan pemerintah daerah terhadap proses pembangunan yang tengah berlangsung.
Pendekatan ini menemukan momentumnya seiring dengan gelombang desentralisasi ke
seantero penjuru dunia yang di Indonesia dikenal dengan otonomi daerah.
Meski menunjukkan perkembangan yang positif, inisiatif-inisiatif
lokal di Indonesia relatif masih terlalu sedikit jika dibandingkan dengan
jumlah daerah yang hampir mencapai 500 kabupaten dan kota. Sebagian besar pun
masih kesulitan jika menyangkut investasi infrastruktur yang sangat besar.
Selain masalah anggaran, persoalan krusial lain yang dihadapi daerah untuk
mengembangkan inisiatif lokal dalam rangka mengakselerasi pembangunan adalah
masih besarnya kebergantungan terhadap sosok pemimpin.
Masih besarnya kebergantungan tersebut bisa kita lihat dari
banyaknya inisiatif lokal yang masih tergantung kepada pemimpin daerah yang
berani melakukan terobosan-terobosan positif di tengah kebekuan atau kegamangan
birokrasi dalam menghadap perubahan zaman yang begitu cepat. Sosok pemimpin
juga sangat menentukan kemampuan daerah untuk menjalin kemitraan yang luas baik
antar-daerah maupun antara pemerintah-swasta-warga. Kemitraan bisa menjadi
solusi alternatif bagi daerah untuk menutupi sejumlah kekurangannya agar sumber
daya yang memang tidak tersebar secara merata dapat digunakan sebaik-baiknya
untuk memastikan tujuan-tujuan pembangunan bisa tercapai.
Di sisi lain, suksesi kepemimpinan yang kerap terjadi memberi
pengaruh besar sekaligus ancaman terhadap keberlangungan inisiatif lokal. Jika
pemimpin yang berhasil menggagas inisiatif lokal suatu saat harus mundur
sebagai bagian dari proses demokrasi, inisiatif-inisiatif positif semasa
kepemimpinannya diragukan keberlanjutannya. Padahal, sebagian besar inisiatif
tersebut masih dalam tahap embrionik sehingga memerlukan kontinuitas selama
beberapa tahun mendatang untuk menjadi sebuah kegiatan yang sistemik.
Dalam rangka lebih mengenalkan dan memotivasi para pemangku
kepentingan dari pemerintah kabupaten dan kotamadya terhadap upaya pencapaian
MDGs, Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk Millenium Development Goals (MDGs), tahun lalu menyelenggarakan Indonesia MDGs Awards (IMA). Untuk
kategori umum meliputi masalah nutrisi, kesehatan ibu dan anak, akses ke air
minum layak dan sanitasi sasar, HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya.
Sedangkan untuk kategori khusus terdiri dari kategori alokasi anggaran yang
berpihak pada MDGs, kesinambungan program MDGs, dampak MDGs pada komunitas dan
inovasi terbaik MDGs untuk kelompok pemuda.
Bertema 'Beraksi untuk Negeri', IMA 2011 mendapat sambutan hangat
dan respon positif dari pemerintah kabupaten dan kotamadya, pihak swasta, dan
masyarakat. Dengan jumlah peserta makin meningkat bisa menjadi indikasi meningkatnya
peran serta masyarakat luas untuk turut menyukseskan MDGs, acara tersebut juga
bisa menjadi akselerator munculnya inisiatif-inisiatif lokal baru yang sifatnya
positif. Bagi program yang nantinya terpilih sebagai best practices, bisa
menjadi role model bagi daerah lain sekaligus berkesempatan mempromosikan
program dan daerahnya untuk menjalin kemitraan (partnership) yang luas dengan
daerah lain atau pihak swasta baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Bagi MDGs sendiri yang akan segera berakhir pada 2015 nanti, acara
ini bisa berkontribusi positif dalam mengakselerasi pencapaian program-program
MDGs di Indonesia, yang dalam beberapa bidang masih jauh dari harapan. Hingga
2011 atau sebelas tahun sejak MDGs dicanangkan, pencapaian Indonesia atas
sejumlah target masih sangat lambat bahkan cenderung mundur pada sejumlah
target tertentu terutama empat bidang yang dikompetisikan sebagai kategori umum
dalam IMA 2011.
Kegiatan IMA merupakan stimulus yang cukup efektif untuk mendorong
daerah agar lebih giat mengembangkan inisiatif-inisiatif lokalnya. Namun, MDGs Awards saja tentu tidak cukup
bahkan bisa tidak memiliki arti apa-apa jika aktor utamanya, yakni pemerintah
daerah tidak memiliki political will dalam membuat terobosan dan memberikan
dukungan yang optimal bagi pengembangan inisiatif-inisiatif yang positif di
daerahnya.
Political will pemerintah setidaknya teraktualisasikan dalam dua
hal. Pertama, anggaran. Banyak inisiatif lokal hanya menjadi sebatas ide karena
tidak didukung oleh anggaran yang memadai. Ada pula yang harus berhenti di
tengah jalan juga karena masalah anggaran. Sangat disayangkan karena bisa jadi
sebabnya bukan karena ketiadaan anggaran namun karena tidak adanya itikad baik
dari pemerintah daerah untuk menyukseskan program. Selain anggaran, aktualisasi
kedua yang tidak kalah penting adalah dalam hal regulasi terutama yang terkait
dengan sektor swasta sebagai aktor penting lain selain pemerintah.
Sektor swasta seyogianya memiliki dana yang sangat besar untuk
mendukung inisiatif lokal. Dana CSR perusahaan, misalnya. Namun, tanpa regulasi
pemerintah, mereka akan lebih banyak diam atau menyalurkan dananya pada hal-hal
lain yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat daerah. Kehadiran
regulasi dapat menjembatani semua aktor (pemerintah-swasta-masyarakat) dalam
sebuah hubungan kemitraan strategis yang saling menguntungkan sehingga proses
pembangunan bisa berjalan lebih optimal dan berkelanjutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar