Demokrasi
dan Problem Konsensus
Ulil Abshar-Abdalla, AKTIVIS
JARINGAN ISLAM LIBERAL (JIL)
SUMBER : JIL, 12 Maret 2012
Keadaan di mana kita hidup sekarang ini agak
mendekati gambaran yang dibayangkan mazhab konflik. Makin besar pengaruh
politik identitas saat ini, makin besar pula kemungkinan munculnya sejumlah
konflik, baik yang terang-terangan atau tersembunyi. Dan tampaknya, konflik
yang dimotivasikan oleh identitas yang sempit itu juga kian susah didamaikan.
Saya khawatir, situasi yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari
merebaknya politik identitas ini ialah bukannya tercapainya konsensus rasional
seperti yang dibambarkan oleh teori demokrasi liberal-pluralis, tetapi kondisi
yang mirip-mirip hegemoni – yakni kelompok tertentu memaksakan “identitas”
tertentu kepada kelompok lain yang berbeda.
Salah satu problem besar yang mengganggu para
ahli teori politik modern adalah bagaimana konsensus bisa dicapai dalam sebuah
masyarakat. Atau lebih mendasar lagi, apakah konsensus bisa dicapai?
Berhadapan dengan pertanyaan besar ini, ilmu
sosiologi modern yang sejumlah asumsinya banyak mempengaruhi perkembangan
teori-teori ilmu politik modern terpecah menjadi dua mazhab besar. Yang
pertama, mazhab konsensus. Mazhab ini menjawab dengan tegas bahwa konsensus
bisa dicapai dalam masyarakat. Tugas ilmu politik adalah bagaimana merumuskan
cara yang efektif untuk mencapai konsensus itu. Teori demokrasi
liberal-pluralis adalah satu usaha untuk menjawab bagaimana konsensus semacam
itu mungkin dan bisa dicapai.
Yang kedua adalah mazhab konflik. Mazhab
terakhir ini berpandangan bahwa konsensus jarang bisa dicapai dalam masyarakat,
untuk tidak mengatakan sulit sama sekali. Karakter dasar kehidupan sosial
adalah konflik atau pertentangan kepentingan yang “tiada kunjung padam” antara
pelbagai kelas sosial yang berbeda-beda. Bagi mereka, janji tentang kemungkinan
tercapainya konsensus dalam masyarakat yang plural melalui proses “deliberasi”
atau musyawarah antara sejumlah subyek yang rasional, seperti diasumsikan oleh
mazhab pertama itu, hanyalah fantasi belaka. Kritik mazhab konflik terhadapk
mazhab konsensus: yang terakhir ini sengaja abai, atau bersikap seperti burung
onta, terhadap fakta sosial yang keras, yakni adanya konflik-konflik yang tak
terkompromikan dalam masyarakat.
Sejauh ini, mazhab konsensus lebih dominan
dalam kajian ilmu politik modern. Teori tentang demokrasi liberal-pluralis yang
banyak dianut sekarang ini banyak dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang dianut
oleh mazhab konsesus.
Kalau mau diringkaskan, model kepolitikan
yang digambarkan oleh demokrasi liberal-pluralis adalah sebagai berikut. Dalam sebuah
masyarakat politik (polity), kita
selalu berjumpa dengan beragam golongan dengan kepentingan sosial yang
berbeda-beda. Kepentingan ini harus ditampung. Tugas partai politik atau
lembaga-lembaga penyalur kepentingan yang lain adalah menampung kepentingan itu
(apa yang oleh Chantal Mouffe disebut sebagai “aggregative politics”). Pelbagai ragam kepentingan ini harus
“ditumpahkan” di sebuah tempat yang terpusat, untuk diadu dan dinegosiasikan
satu dengan yang lain; dan dari proses saling adu itu muncullah konsesus
bersama. Tempat itu adalah parlemen. Parlemen, dalam konsepsi teori demokrasi
liberal-pluralis, adalah wadah di mana segala ragam kepentingan yang saling
bertentangan bisa dipertemukan melalui proses deliberasi rasional yang disebut
dengan musyawarah.
Dalam konsepsi semacam ini, segala bentuk
aspirasi yang ekstrem akan bisa ditumpulkan dan dimoderasikan melalui proses
deliberatif-rasional di parlemen itu. Konsensus pada akhirnya tak terhindarkan,
karena alasan yang sederhana. Yakni, masing-masing golongan atau individu yang
diwakili oleh golongan itu bertindak atas dasar dorongan kepentingan pribadi
yang rasional (self-interest).
Bayangkan saja kasus sederhana berikut ini.
Jika suatu golongan mempunyai kepentingan dalam skala sepuluh, misalnya, dan
skala itu dianggap terlalu ekstrem dalam konstelasi kepentingan-kepentingan
yang ada dalam masyarakat bersangkutan, maka dia akan terdorong/dipaksa untuk
melakukan kompromi dan menurunkan skala kepentingannya dari sepuluh menjadi,
taruhlah, enam atau lima, atau bahkan lebih rendah lagi (tergantung pada “political constraint” yang dihadapinya).
Daripada golongan itu kehilangan kesempatan sepenuhnya untuk meraih
kepentingannya karena menolak kompromi, ia tentu saja lebih memilih kompromi,
walau dengan resiko tak akan meraih kepentingannya secara penuh. Dalam fikih,
situasi ini dirumuskan dalam sebuah kaidah yang terkenal: ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh – sesuatu yang tak dapat
diraih sepenuhnya, janganlah ditinggalkan seluruhnya. Kalkulasi rasional
mengharuskan golongan bersangkutan untuk melakukan kompromi ketimbang
kehilangan kesempatan sama sekali.
Dengan skema semacam ini, teori demokrasi
liberal-pluralis membayangkan bahwa masyarakat pada akhirnya akan bergerak
pelan-pelan menuju kepada konsensus bersama. Semua pihak, dalam konsensus
semacam itu, dipuaskan dan diuntungkan. Inilah skema “solusi menang-menang”
yang dibayangkan dalam demokrasi liberal-pluralis.
Walau saya tak menolak asumsi dan skema
“ideal” semacam ini, tetapi ada beberapa perkembangan sosial-politik yang amat
mengganggu saya dan membuat saya agak sedikit “skeptis” bahwa skema semacam ini
bisa dicapai, atau sekurang-kurangnya bisa dicapai dengan gampang.
Sejak dekade 80an hingga sekarang, kita
dihadapkan pada perkembangan yang agak mencemaskan yang muncul sebagai akibat
dari merebaknya apa yang kerap disebut banyak pengamat sebagai politik
identitas. Gejala politik identitas ini bisa berasal dari pelbagai sumber,
salah satunya yang paling kuat adalah agama. Mark Juergensmeyer merekam gejala
ini dalam Global Rebellion: Religious
Challenge to the Secular State, from Christian Militias to al-Qaeda (2008).
Salah satu ciri pokok politik identitas
adalah kecenderungan suatu golongan bertindak di luar skema “kepentingan
rasional” yang menjamin eksistensi golongan bersangkutan. Saya tidak
menggeneralisir bahwa politik identitas akan mendorong kelompok-kelompok sosial
bertindak secara irrasional. Yang saya katakan adalah ada keadaaan-keadaan
tertentu di mana suatu kelompok, karena dorongan politik identitas, melakukan
tindakan “konyol” yang justru mengancam ketahanan dan kelangsungannya sebagai
sebuah kelompok sosial.
Contoh sederhana adalah tindakan “bom
bunuh-diri” seperti akhir-akhir ini dilakukan oleh sejumlah kelompok teroris
yang mengatasnamakan Islam. Tentu saja ini adalah contoh yang ekstrem. Gejala
bom bunuh-diri yang digerakkan oleh argumentasi keagamaan adalah contoh politik
identitas yang dilihat dari segi manapun tak membawa keuntungan bagi
kepentingan umat Islam, bahkan bisa mengancam kelangsungannya. Karena tindakan
segelintir pelaku bom bunuh-diri, umat Islam di negeri-negeri Barat mengalami
sejumlah kondisi tak ideal yang, dalam beberapa kasus, bisa mengancam
eksistensinya. Dengan kata lain, tindakan bom bunuh diri adalah contoh di mana
politik identitas menggerakkan sebuah tindakan sosial di luar kalkulasi
rasional berdasarkan asumsi “self
interest” yang menjadi basis dari teori demokrasi liberal-pluralis.
Dalam situasi di mana politik idenitas kian
menonjol, konsensus menjadi agak sulit dicapai, ataupun jika bisa dicapai,
haruslah melalui tahapan-tahapan yang rumit. Skenario yang lebih buruk lagi
ialah manakala politik identitas melahirkan situas di mana konsesus justru sama
sekali tak bisa diraih karena adanya konflik aspirasi yang sulit didamaikan.
Yang lebih mencemaskan lagi ialah bahwa skala
perkembangan teknologi komunikasi modern memungkinkan politik identitas itu
mengalami pembesaran dan “dramatisasi” yang kadang melebih magnitude-nya yang
wajar. Teknologi itu juga memungkinkan percepatan penyebaran kesadaran baru
yang dilandaskan pada identitas tertentu yang sempit. Jika ada apa yang oleh
Noam Chomsky disebut sebagai “manufacturing
consent/consensus”, rekayasa kesepakatan, maka bukan mustahil bisa muncul
pula apa yang boleh kita sebut “manufacturing dissent/dissensus” alias rekayasa
perlawanan. Jika tradisi dan “keotentikan” bisa diciptakan kembali
(re-invented) seperti pernah dikemukakan oleh Eric Hobsbawm, maka kelompok
sosial tertentu bisa menciptakan suatu justifikasi yang mengesankan bahwa
identitas di bawah mana mereka bernaung disokong oleh suatu silsilah “keaslian”
dan tradisi yang panjang dan kokoh.
Mazhab konflik, sebetulnya, sudah
mengantisipasi keadaan seperti ini sejak awal. Mazhab ini, sejak menit pertema,
sudah mengandaikan bahwa apa yang disebut masyarakat bukanlah konstruksi indah
di mana semua golongan di dalamnya bisa bermusyawarah baik-baik untuk mencapai
kesepakatan yang rasional.
Sebaliknya, mazhab ini justru mengandaikan
bahwa apa yang disebut sebagai masyarakat adalah tempat di mana konflik
sejumlah kepentingan sulit didamaikan. Jika pada akhirnya ada “kesepakatan” di
sana, maka itu hanyalah “facade”,
tampilan di depan, belaka. Di balik facade
itu, ada konflik tersembunyi yang sewaktu-waktu bisa meledak-memburai ke luar.
Kesepakatan itu, menurut mazhab tersebut, hanyalah sebentuk pemaksaan saja.
Oleh karena itu, dalam pandangan mazhab konflik, setiap masyarakat, termasuk
masyarakat politik yang disebut negara, adalah wadah di mana di dalamnya selalu
berlangsung hegemoni: yaitu kondisi di mana satu kelompok berhasil memenangkan
pertarungan dan memaksakan kepentingannya kepada kelompok-kelompok lain.
Saya sendiri kurang puas dengan konsepsi
tentang masyarakat yang diajukan oleh mazhab konflik ini. Meski demikian, ada
“insight” yang sangat bermanfaat yang bisa kita peroleh dari asumsi-asumsi yang
diajukan oleh mazhab ini. Keadaan di mana kita hidup sekarang ini agak
mendekati gambaran yang dibayangkan mazhab konflik. Makin besar pengaruh
politik identitas saat ini, makin besar pula kemungkinan munculnya sejumlah
konflik, baik yang terang-terangan atau tersembunyi. Dan tampaknya, konflik
yang dimotivasikan oleh identitas yang sempit itu juga kian susah didamaikan.
Saya khawatir, situasi yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari
merebaknya politik identitas ini ialah bukannya tercapainya konsensus rasional
seperti yang dibambarkan oleh teori demokrasi liberal-pluralis, tetapi kondisi
yang mirip-mirip hegemoni – yakni kelompok tertentu memaksakan “identitas”
tertentu kepada kelompok lain yang berbeda.
Bagi saya, fatwa yang pernah dikemukakan oleh
MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada 2005 dulu tentang haramnya ide pluralisme
tiada lain adalah pertanda bahwa kita mulai memasuki fase di mana kehendak
mencari titik konsensus (dalam hal ini, konsensus di sektor keagamaan) kurang
lagi disukai. Fatwa itu, secara implisit, menandakan bahwa masyarakat lebih
menyukai identitas yang berbeda ketimbang usaha mencari titik temu.
Perkembangan semacam ini jelas kurang menggembirakan dalam kerangka cita-cita sosial yang dibayangkan oleh teori demokrasi liberal-pluralis. Dan tentu saja, prospek tentang makin menonjolnya corak masyarakat yang dikuasai oleh kesepakatan berdasarkan “hegemoni”, bukan konsensus rasional, sangatlah kurang memuaskan. Sebab hegemoni pada dasarnya berlawanan dengan kondisi kebebasan dan otonomi. ●
Perkembangan semacam ini jelas kurang menggembirakan dalam kerangka cita-cita sosial yang dibayangkan oleh teori demokrasi liberal-pluralis. Dan tentu saja, prospek tentang makin menonjolnya corak masyarakat yang dikuasai oleh kesepakatan berdasarkan “hegemoni”, bukan konsensus rasional, sangatlah kurang memuaskan. Sebab hegemoni pada dasarnya berlawanan dengan kondisi kebebasan dan otonomi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar