Posisi
Wakil di Pemerintahan
Fakhrunnas MA Jabbar, BUDAYAWAN DAN MENYELESAIKAN PROGRAM
MAGISTER KOMUNIKASI PADA UMJ, TINGGAL DI PEKANBARU
MAGISTER KOMUNIKASI PADA UMJ, TINGGAL DI PEKANBARU
SUMBER : SUARA KARYA, 13 Maret 2012
Posisi wakil dalam
jabatan formal birokrasi atau korporat sangat tergantung pada interpretasi
masing-masing pimpinan. Dalam sejarah pemerintahan Indonesia,
"perbelahan" kekuasaan itu pernah terjadi pada masa Presiden Soekarno
dan Wapres Mohammad Hatta. Kewenangan wakil cenderung diposisikan sebagai
"grey area" sehingga
keberadaan (eksistensi)-nya sebagai "ban serap" saja. Meski tak
dipungkiri, secara normatif, jabatan wakil memiliki tugas tertentu dalam
kerangka power sharing.
Jabatan wakil dalam implementasi tugas sehari-hari selalu berwujud
sebagai "pelengkap penderita". Sekadar memenuhi tata aturan
(regulasi) yang ditetapkan di dalam UU atau Peraturan Pemerintah. Akibatnya,
sang pimpinan sering merasa "terganggu" karena harus berbagi
kekuasaan dengan si wakil. Bahkan ada yang memandang, keberadaan sang wakil
hanya memperpanjang birokrasi bahkan dianggap sebagai pihak yang dapat
mengurangi otoritas kekuasaan pimpinan.
Jadilah para wakil hanya sebagai aksesori formal yang tampil di
ruang publik. Sebutlah sekadar melengkapi foto yang dipajang di ruang pertemuan
atau billboard raksasa yang dapat dilihat oleh rakyat setiap saat. Kemesraan
yang dipajang di berbagai media luar ruang (out
door) semata-mata hanya untuk "menipu" publik agar publik terus
bersimpati saat pimpinan dan wakil mengemban tugas secara bersama-sama.
Sementara realitas yang terjadi, ada api dalam sekam di dalam kelambu kekuasaan
tersebut.
Semestinya, keberadaan wakil dalam sebuah rezim kekuasaan baik
dalam birokrasi pemerintahan maupun organisasi sosial dan bisnis, semestinya
makin mempercepat pencapaian target atau tujuan yang ditetapkan oleh pihak
super-ordinat. Hal ini sejalan dengan konsep pendelegasian tugas-wewenang pada
subordinat dalam satu sistem kekuasaan.
Dalam succesion planning, si wakil mestinya dapat dipersiapkan
sebagai kandidat pimpinan di masa atau periode ke depan. Dalam manajemen
bisnis, proses penyiapan calon pimpinan sangat terbantu melalui jabatan wakil
tersebut. Meski hal itu tak bisa dijamin berjalan mulus. Banyak pimpinan yang
merasa "terancam" posisinya bila memiliki wakil yang lebih berkualitas
dan potensial. Ibarat "membesarkan anak harimau." Oleh sebab itu,
penempatan calon pimpinan masa depan dalam suatu institusi sangat
mempertimbangkan aspek loyalitas agar pimpinan yang digantikan tetap merasa
nyaman setelah proses suksesi berlangsung.
Distorsi hubungan pimpinan dan wakil memang selalu diawali dengan
ketidakcocokan dan ketidakkompakan saat bersama-sama menjalankan kekuasaan. Apa
yang dikeluhkan oleh Priyanto sebagai wakil gubernur DKI Jakarta yang merasa
tidak diberdayakan sebagai pelaksana tugas Gubernur DKI Fauzie Bowo alias Foke,
termasuk saat Foke bertugas ke luar negeri, misalnya, juga dialami oleh banyak
wakil di berbagai institusi baik pemerintahan maupun swasta.
Konsep manajemen bisnis yang semestinya berpedoman pada prinsip
the right man on the right place, demi melanggengkan kekuasaan si pimpinan,
tiba-tiba diplesetkan menjadi my man on the right place. Artinya, hanya
orang-orang yang memiliki loyalitas yang tinggi kepada si pimpinan, bukan
jabatan pimpinan dalam sebuah sistem yang akan diberi kepercayaan untuk
melanjutkan kepemimpinan institusi bersangkutan.
Oleh sebab itu, pantas apabila Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) menggagas proses pemilihan Wakil Kepala Daerah akan dilakukan
terpisah dengan Kepala Daerah. Dengan demikian posisi Wakil tidak perlu melalui
proses suksesi. Jabatan wakil ke depan diposisikan sebagai jabatan karir yang
tidak perlu berkompetisi dengan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh
rakyat.
Fenomena ketidakkompakan kepala daerah dengan wakilnya, terungkap
dari data Kemendagri, hanya 6,15 persen pasangan bupati/kepala daerah yang
mesra dari awal sampai akhir. Mereka berpasangan pada periode pertama dan
berlanjut pada periode kedua. Selebihnya, hubungan antara kepala daerah dan
wakil justru "pecah kongsi" sehingga disharmoni merasuki perjalanan
pemerintahan.
Kejadian mundurnya Priyanto dari posisi wakil gubernur di DKI
Jakarta memunculkan beragam interpretasi. Masih terbayang di layar kaca,
Priyanto yang berulang menyeka airmatanya saat menyampaikan keinginan
pengunduran dirinya, dimaknai berakhir pula perkongsiannya dengan Gubernur
Fauzie Bowo. Padahal, masa tugasnya secara formal-administrasi masih setahun
lebih lagi waktu itu. Kasus serupa sebelumnya, Wakil Bupati Dicky Chandra juga
menyampaikan pengunduran dirinya karena sudah tak kuat mempertahankan posisinya
mendampingi sang bupati Garut.
Ada yang memuji karena mereka mundur karena berani berterus terang
terkait nasibnya yang tertekan selama berduet dengan pimpinannya masing-masing.
Tak sedikit pula yang mencemooh dan sinis karena sikap kedua wakil kepala
daerah itu dinilai hanya untuk menumbuhkan rasa simpati publik. Priyanto
dinilai sengaja mencari simpati mengingat Pemilukada DKI sudah di ambang pintu.
Namun, apapun, mereka telah membangun citra diri di depan layar
kaca (image building). George Webner,
pakar komunikasi dari Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, tahun 1960-an
melahirkan Cultivation Theory,
setelah Gerbner melakukan penelitian mengenai dampak menonton televisi. Itulah
sebabnya citra diri seseorang seperti si wakil dapat berubah bila terus menerus
dikonstruksi oleh media terutama televisi.
Bisa dimaklumi bila ungkapan emosional tokoh melalui pemberitaan
di layar kaca, berpengaruh terhadap para pemirsa atau masyarakat luas. Karena,
dapat menumbuhkan rasa simpati dan empati. Di sini sang wakil, telah
memunculkan suatu komunikasi mengenai posisi wakil yang tidak nyaman di
pemerintahan, sebagaimana data Kemendagri tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar