Menata
Perlindungan PRT
Okky Asokawati, ANGGOTA KOMISI IX DPR
SUMBER : REPUBLIKA, 5
Maret 2012
Tak
bisa dimungkiri, saat ini tidak ada payung hu kum berupa undang-undang yang
melindungi pembantu rumah tangga (PRT). Hal ini menempatkan PRT di Indonesia
berisiko mengalami eksploitasi ekonomi, diskriminasi berbasis gender, serta
kekerasan fisik, psikologis, dan seksual.
Data
dari Jala PRT mencatat, lebih dari 400 kasus kekerasan dialami PRT pada 2011.
Padahal, Indonesia sudah mengakui beberapa instrumen internasional terkait
perlindungan PRT, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Deklarasi
Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 1993, Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW tahun 1979), dan Konvensi
ILO 1989 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga yang telah diadopsi
Indonesia pada Konferensi Perburuhan Internasional tanggal 16 Juni 2011.
Desakan
dari berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri, termasuk Lembaga Amnesty
Internasional, sebagaimana yang tertuang dalam Amnesty International Public Statement tanggal 25 November 2011,
mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera memberlakukan undang-undang khusus
yang mengatur hak-hak tenaga kerja bagi PRT di Indonesia. RUU Perlindungan
Pekerja Rumah Tangga sebenarnya telah masuk ke dalam agenda legislatif nasional
(Prolegnas) pada 2010 dan 2011. Dan, saat ini RUU Perlindungan PRT masuk ke
dalam Prolegnas tahun 2012.
Perlindungan PRT
Konsep
perlindungan PRT pada dasarnya berasaskan pada kepastian hukum, pengayoman,
kemanusiaan, kekeluargaan, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam RUU Perlindungan
PRT disebutkan, perlindungan PRT didefinisikan sebagai segala upaya untuk
melindungi kepentingan calon PRT/PRT dalam menjamin terpenuhinya hak PRT.
Oleh
karena itu, RUU Perlindungan PRT sebaiknya hanya memuat hal-hal prinsip terkait
aspek perlindungan PRT, dengan penguatan kepada penghormatan HAM; persamaan dan
nondiskriminasi; serta keadilan dan kese taraan gender, sesuai dengan asas-asas
dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Jangan pula dilupakan bahwa upaya untuk memberikan perlindungan kepada PRT
tentunya harus dibarengi dengan harapan untuk melindungi para pemberi kerja.
Sementara
itu, pengaturan hal-hal yang bersifat teknis, seperti besar upah, hari libur,
dan lain-lain, dapat diturunkan kepada peraturan perundangundangan di bawahnya,
seperti peraturan daerah, dengan mengadopsi kearifan lokal, serta
diberlakukannya kontrak kerja antara pemberi kerja dan PRT.
Perlindungan
PRT hendaknya tidak hanya berbicara hal-hal yang bersifat terukur, kuantitatif,
dan serbamaterialistik. Karena sudah terbukti di beberapa negara ketika semua
hendak dibuat terukur, kuantitas, dan serbamaterialistik, kehancuran akan
mengikutinya cepat atau lambat. Konsep perlindungan PRT hendaknya memuat
prinsipprinsip kearifan lokal, kegotong-royongan, musyawarah mufakat,
akuntabilitas, dan berkeadilan, yang sesuai dengan dasar negara kita, yaitu
Pancasila.
Mengubah
PRT dari sekadar membantu (supporting)
menjadi pekerja inti, artinya harus menerima konsekuensi-konsekuensi bahwa PRT
adalah pekerja formal. Sementara, selama ini kita ketahui bahwa yang disebut
dengan pekerja formal adalah mereka yang bekerja di ruang publik, sedangkan PRT
bekerja di ruang privat.
Jangan
sampai timbul kerancuan, di mana PRT ditarik ke sektor publik atau PRT as a
formal worker, tetapi di level regulasi tidak digunakan pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang berlaku di sektor publik tersebut. Hal ini bisa menjadi
conflicting values. Oleh karena itu, kita harus cermat menempatkan posisi PRT
yang biasanya berada di ruang privat (rumah tangga) ke ruang publik.
Salah
satu langkah arif agar tidak terjadi conflicting
values tadi adalah dengan mengadopsi kearifan lokal (local wisdom) ke dalam konsep perlindungan PRT. Karena secara
filosofis, PRT yang mulanya berangkat dari konsep `membantu', di Indonesia
didasarkan pada local wisdom. Pemberi
kerja atau majikan merasa punya tanggung jawab sosial atas masyarakat yang
kurang beruntung dengan memberikan pekerjaan ala kadarnya. Hal ini tidak
didasari niat mengeksploitasi, tapi prinsip tolong-menolong.
Care Economy
Ada
yang menarik terkait perlindungan PRT, salah satunya anggapan bahwa apresiasi
terhadap pekerjaan rumah tangga ini merupakan apresiasi terhadap perempuan.
Mengapa demikian pekerjaan rumah tangga yang kini banyak dikerjakan oleh PRT
sebenarnya menggantikan salah satu peran perempuan yang multiburden bahkan triple-burden.
Pada awalnya, PRT lebih dikenal sebagai singkatan dari pembantu rumah tangga,
yang merupakan pekerja yang men-support atau yang membantu.
Kita
berutang budi pada PRT yang sejatinya telah menjadi pemain di belakang layar
bagi keberhasilan para majikannya. PRT turut membuat semakin banyak perempuan
dapat berkiprah di ranah publik, dengan menggantikan peran perempuan dalam
mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Pekerjaan
yang tadinya merupakan pekerjaan perempuan seperti pekerjaan rumah tangga,
biasanya selalu masuk pada sektor informal dan tidak dibayar. Karena pekerjaan
perempuan termasuk ke dalam care economy, pekerjaan kasih sayang. Pekerjaan
kasih sayang ini adalah budaya dan dibangun dengan hubungan kekeluargaan saja.
Lalu,
sekarang ada upaya untuk `memigrasikan' pendekatan ini ke hubungan yang lebih
melembaga, yang lebih formal, dan memberikan apresiasi pekerjaan rumah tangga
atau pekerjaan perempuan tadi kepada apresiasi yang sifatnya ekonomis.
Apresiasi terhadap pekerjaan perempuan yang dilakukan PRT sebenarnya merupakan
apresiasi terhadap perempuan dan apresiasi terhadap pekerjaan ibu rumah tangga,
yang selama ini dilihat hanya sebagai care economy.
Selayaknyalah kita juga memberi apresiasi
terhadap pekerjaan perempuan dengan memberikan jaminan hukum kerja layak bagi
PRT. Ada landasan standar dan prinsip perlindungan dan pemenuhan hak-hak PRT,
serta menguntungkan majikan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar