Menolak
Pesawat Cina
Marwan Batubara, PENDIRI INDONESIAN RESOURCES STUDIES, IRESS
SUMBER : REPUBLIKA, 5
Maret 2012
Pada
14 Februari 2012, Merpati Nusantara Air laine (MNA), AVIC International Holding Corpo ration (AIHC), Commer cial Aircraft
Corporation of China (COMAC), dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI)
menandatangani memorandum of understanding (MoU) rencana pembelian 40 pesawat Comac ARJ21-700 di Singapore Airshow.
Penandatanganan MoU disaksikan dan direstui oleh
Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan. Total rencana pembelian adalah 1,2 miliar
dolar AS (sekitar Rp 10 triliun).
Pesawat
ARJ21-700 berkapasitas 100 penumpang yang rencananya akan digunakan melayani
penerbangan domestik dengan jarak maksimum 3.700 km. Pesawat akan diterima
bertahap dalam waktu empat tahun, 10 unit per tahun sejak 2014 hingga 2017.
PTDI terlibat dalam MoU karena akan berperan menyiapkan sekitar 40 persen
komponen lokal. Rencana ini patut dipertanyakan karena Indonesia kembali membeli
pesawat dari Cina setelah membeli 15 MA-60 Desember 2010.
Kasus MA-60
Masyarakat
harus mencermati rencana proyek ARJ21-700 ini dan belajar dari kasus pesawat
MA-60. Sebelumnya, MNA memperoleh 15 pesawat MA60 seharga 232 juta dolar AS
dari Kemkeu RI. Padahal, pesawat MA-60 belum memperoleh sertifikat FAA, belum
mempunyai rekam jejak yang teruji, dan saat pengajuan pembelian ditolak oleh
Jusuf Kalla yang saat itu sebagai wapres. MA-60 dibeli terkait imbal beli
proyek listrik 10 ribu megawatt (mw) tahap I.
Pesawat
MA-60 dibeli dengan harga 11,2 juta dolar AS per unit sehingga harga 15 pesawat
seharusnya 161 juta dolar AS. Namun, negara justru mengeluarkan anggaran 232
juta dolar AS. Perbedaan sekitar 72 juta dolar AS diakui sebagai biaya
pengadaan simulator, alat pendukung operasional, dan pelatihan. Pengakuan
pemerintah ini seharusnya diselidiki lebih lanjut karena tidak lazim dan
jumlahnya pun sangat besar.
Berdasarkan
statistik sejak tahun 2000, pesawat MA-60 telah mengalami lima kali kecelakaan.
Pada 7 Mei 2011, pesawat MA-60 dengan nomor penerbangan MZ-8968 milik MNA jatuh
di Teluk Kaimana, Papua Barat. Sebanyak 21 penumpang dan enam orang awak
pesawat tewas. Padahal, pesawat baru dioperasikan selama sebulan.
Kasus
pembelian MA-60 bukan saja telah merugikan negara, melainkan juga telah memakan
korban jiwa. Pola SLA dalam pembelian MA-60 dan keterkaitan dengan proyek
listrik 10 ribu mw tampaknya telah memperdayai dan merugikan Indonesia. Dengan
demikian, pemerintah seharusnya melakukan langkah korektif, bukan malah membuat
kontrak baru tanpa mempertimbangkan harga diri.
Di
samping faktor ekonomi, pembelian pesawat baru mestinya mempertimbangkan faktor
keamanan secara optimal. Hal ini diukur, antara lain, dengan sertifikat laik
terbang dan daftar negara pembeli. Hingga Agustus 2011, tak satu pun sertifikat
kelayakan dan keamanan terbang yang diraih oleh ARJ21-700.
Pemesan
ARJ21-700 ini menunjukkan Indonesia kembali akan menjadi objek percobaan,
setelah mendukung program percobaan pesawat MA60 yang telah memakan korban.
Untuk itu, pemerintah telah mengusung berbagai alasan ekonomi, namun melupakan
faktor keamanan, harga diri, dan kepentingan strategis bangsa. Dikhawatirkan,
Menteri BUMN terpaksa mendukung pembelian ini karena rencananya telah dimulai
sebelum yang bersangkutan menjabat.
Produk Nasional
Di
tengah antusiasme masyarakat menyambut dan mendukung Mobil Esemka menjadi mobil
nasional, mestinya pemerintah melakukan hal yang sama untuk industri pesawat.
Kita sudah memproduksi ratusan CN-235 dan telah mengembangkan N-250 yang gagal
dituntaskan akibat krisis 1998.
Menurut
Habibie, hanya dibutuhkan 500 juta dolar AS untuk menyelesaikan pengembangan
N-250. Tidak diperoleh informasi yang akurat apakah Presiden SBY mendukung niat
baik Prof Habibie tersebut. Namun, fakta yang ada adalah Lion memesan 20 ATR
Prancis tahun 2009, Merpati memesan MA-60 Cina tahun 2010, Lion memesan 200
Boeing tahun 2011, dan Merpati kembali akan membeli 40 pesawat Cina, ARJ21-700,
pada 2012.
Dengan
perhitungan kelayakan bisnis yang akurat dan transparan, serta didukung oleh
jaminan dan komitmen pemerintah, proyek N-250 dengan berbagai tipe
pengembangannya akan mampu memenuhi sebagian kebutuhan pesawat di Indonesia ke
depan. Apalagi, Indonesia telah memperoleh predikat invesment grade.
Oleh sebab itu, pembelian ARJ21700 harus
dibatalkan, untuk diganti dengan CN-235 dan N-250. Pemerintah harus
mengembangkan produk bangsa sendiri dibandingkan menjadi objek percobaan dan
pasar negara asing. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar