Senin, 05 Maret 2012

Menolak Pesawat Cina


Menolak Pesawat Cina
Marwan Batubara, PENDIRI INDONESIAN RESOURCES STUDIES, IRESS
SUMBER : REPUBLIKA, 5 Maret 2012


Pada 14 Februari 2012, Merpati Nusantara Air laine (MNA), AVIC International Holding Corpo ration (AIHC), Commer cial Aircraft Corporation of China (COMAC), dan PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menandatangani memorandum of understanding (MoU) rencana pembelian 40 pesawat Comac ARJ21-700 di Singapore Airshow
Penandatanganan MoU disaksikan dan direstui oleh Menteri Negara BUMN Dahlan Iskan. Total rencana pembelian adalah 1,2 miliar dolar AS (sekitar Rp 10 triliun).

Pesawat ARJ21-700 berkapasitas 100 penumpang yang rencananya akan digunakan melayani penerbangan domestik dengan jarak maksimum 3.700 km. Pesawat akan diterima bertahap dalam waktu empat tahun, 10 unit per tahun sejak 2014 hingga 2017. PTDI terlibat dalam MoU karena akan berperan menyiapkan sekitar 40 persen komponen lokal. Rencana ini patut dipertanyakan karena Indonesia kembali membeli pesawat dari Cina setelah membeli 15 MA-60 Desember 2010.

Kasus MA-60

Masyarakat harus mencermati rencana proyek ARJ21-700 ini dan belajar dari kasus pesawat MA-60. Sebelumnya, MNA memperoleh 15 pesawat MA60 seharga 232 juta dolar AS dari Kemkeu RI. Padahal, pesawat MA-60 belum memperoleh sertifikat FAA, belum mempunyai rekam jejak yang teruji, dan saat pengajuan pembelian ditolak oleh Jusuf Kalla yang saat itu sebagai wapres. MA-60 dibeli terkait imbal beli proyek listrik 10 ribu megawatt (mw) tahap I.

Pesawat MA-60 dibeli dengan harga 11,2 juta dolar AS per unit sehingga harga 15 pesawat seharusnya 161 juta dolar AS. Namun, negara justru mengeluarkan anggaran 232 juta dolar AS. Perbedaan sekitar 72 juta dolar AS diakui sebagai biaya pengadaan simulator, alat pendukung operasional, dan pelatihan. Pengakuan pemerintah ini seharusnya diselidiki lebih lanjut karena tidak lazim dan jumlahnya pun sangat besar.

Berdasarkan statistik sejak tahun 2000, pesawat MA-60 telah mengalami lima kali kecelakaan. Pada 7 Mei 2011, pesawat MA-60 dengan nomor penerbangan MZ-8968 milik MNA jatuh di Teluk Kaimana, Papua Barat. Sebanyak 21 penumpang dan enam orang awak pesawat tewas. Padahal, pesawat baru dioperasikan selama sebulan.

Kasus pembelian MA-60 bukan saja telah merugikan negara, melainkan juga telah memakan korban jiwa. Pola SLA dalam pembelian MA-60 dan keterkaitan dengan proyek listrik 10 ribu mw tampaknya telah memperdayai dan merugikan Indonesia. Dengan demikian, pemerintah seharusnya melakukan langkah korektif, bukan malah membuat kontrak baru tanpa mempertimbangkan harga diri.

Di samping faktor ekonomi, pembelian pesawat baru mestinya mempertimbangkan faktor keamanan secara optimal. Hal ini diukur, antara lain, dengan sertifikat laik terbang dan daftar negara pembeli. Hingga Agustus 2011, tak satu pun sertifikat kelayakan dan keamanan terbang yang diraih oleh ARJ21-700.

Pemesan ARJ21-700 ini menunjukkan Indonesia kembali akan menjadi objek percobaan, setelah mendukung program percobaan pesawat MA60 yang telah memakan korban. Untuk itu, pemerintah telah mengusung berbagai alasan ekonomi, namun melupakan faktor keamanan, harga diri, dan kepentingan strategis bangsa. Dikhawatirkan, Menteri BUMN terpaksa mendukung pembelian ini karena rencananya telah dimulai sebelum yang bersangkutan menjabat.

Produk Nasional

Di tengah antusiasme masyarakat menyambut dan mendukung Mobil Esemka menjadi mobil nasional, mestinya pemerintah melakukan hal yang sama untuk industri pesawat. Kita sudah memproduksi ratusan CN-235 dan telah mengembangkan N-250 yang gagal dituntaskan akibat krisis 1998.

Menurut Habibie, hanya dibutuhkan 500 juta dolar AS untuk menyelesaikan pengembangan N-250. Tidak diperoleh informasi yang akurat apakah Presiden SBY mendukung niat baik Prof Habibie tersebut. Namun, fakta yang ada adalah Lion memesan 20 ATR Prancis tahun 2009, Merpati memesan MA-60 Cina tahun 2010, Lion memesan 200 Boeing tahun 2011, dan Merpati kembali akan membeli 40 pesawat Cina, ARJ21-700, pada 2012.

Dengan perhitungan kelayakan bisnis yang akurat dan transparan, serta didukung oleh jaminan dan komitmen pemerintah, proyek N-250 dengan berbagai tipe pengembangannya akan mampu memenuhi sebagian kebutuhan pesawat di Indonesia ke depan. Apalagi, Indonesia telah memperoleh predikat invesment grade.

Oleh sebab itu, pembelian ARJ21700 harus dibatalkan, untuk diganti dengan CN-235 dan N-250. Pemerintah harus mengembangkan produk bangsa sendiri dibandingkan menjadi objek percobaan dan pasar negara asing. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar