Rabu, 07 Maret 2012

Integritas Pemimpin


Integritas Pemimpin
Kurnia JR, SASTRAWAN
SUMBER : KOMPAS, 7 Maret 2012


Seorang ”pangeran Jawa” belia di Universitas Leiden menyeru kepada ”putra-putra Jawa” dalam Kongres Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda XXV pada 29 Agustus 1899.
”Lepaskan diri kalian dari belenggu purbasangka yang masih mengimpit, kembangkan diri kalian dengan bebas sesuai dengan bakat kalian, dan tingkatkan kepribadian... kembangkan seluruh kekuatan kalian untuk membantu rakyat kita membentuk diri, dari kanak-kanak sampai dewasa” (Harry A Poeze, 2008).

Dialah Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini. Pemuda 22 tahun ini dengan bijaksana menyentuh aspek dasar manusia saat menyeru bangsanya untuk meraih ilmu pengetahuan yang setaraf bangsa Belanda, Jepang, dan Amerika sehingga hak-hak Insulinde buat maju terpenuhi. Aspek-aspek itu ialah bakat dan kepribadian yang harus dikembangkan secara bebas. Bagi dia, tugas para pemuka ialah ”membantu rakyat membentuk diri”.

Pada 1924, majalah Perhimpoenan Indonesia di negeri Belanda berubah dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Di sana ditegaskan, ”pembebasan Indonesia” harus berupa aksi melawan dua bentuk penjajahan: ketatanegaraan dan ekonomi. Didahului ajakan menyingkirkan perbedaan kelompok demi ”Indonesia yang merasa satu”, ditandaskan: ”Aksi ini merupakan persiapan kemerdekaan politik dan pengambilan sikap melawan modal asing yang mengisap.”

Sekelumit kutipan tersebut menegaskan fondasi bangsa yang dicita-citakan para perintis: penghargaan atas potensi individu dan hak asasi manusia, kebersatuan, serta kemandirian politik dan ekonomi.

Manakala kekerasan terjadi di seputar kita karena tiada teladan dari pribadi yang disegani dan ketidakpuasan memuncak akibat pengkhianatan para pemangku kekuasaan terhadap sumpah jabatan, sepatutnya kita mengingat mereka yang telah menegakkan tiang-tiang pancang bagi saka guru bangsa dan negara ini.

Noto Soeroto, Kartini, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir dan banyak kampiun pemikir berkaliber negarawan mencita-citakan suatu bangsa dengan esensi yang jelas dan kukuh. Bangsa yang bersatu, bertenggang rasa dalam kemajemukan, konsisten dan konsekuen dengan gagasan pribadi ataupun kelompok, eksploratif sekaligus progresif menjemput masa depan. Di antara mereka yang terjun ke politik praktis pada umumnya menuliskan pemikiran dalam struktur yang elaboratif dan dengan filosofi yang jelas.

Ide-ide dipaparkan dengan gaya khas intelektual yang bisa ditelusuri anak-cucu. Pandangan budaya, politik, ekonomi, sosial, dan spiritual diutarakan dengan dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Polemik dilakoni di jalur nalar sekaligus filosofis. Perbenturan ideologi diungkapkan tidak hanya lewat pidato, tetapi juga di mimbar ilmiah yang secara langsung atau tidak memberi pendidikan moral politik bagi orang banyak.

Pemimpin Visioner

Pada tahun kemerdekaan, Sjahrir menulis ”Perjuangan Kita”, yakni tentang peta persoalan dalam revolusi Indonesia sekaligus analisis ekonomi-politik dunia seusai Perang Dunia II. Berlawanan dengan Soekarno yang terobsesi oleh persatuan dan kesatuan bangsa, di situ Sjahrir menyatakan, ”Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak pergerakan.”

Meski berseberangan dalam pandangan politik, toh, pada November 1945 Sjahrir ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet parlementer. Sebaliknya, Sjahrir menyebut Soekarno pemimpin republik yang diakui rakyat dan pemersatu bangsa.

Inilah bukti kemerdekaan berpikir dan hakikat jiwa pemimpin yang visioner. Pemimpin sejati tidak sudi terpaku pada apa yang seakan-akan telah menghablur sebagai pandangan bangsa. Di lain pihak, pertentangan sikap dan tafsir atas kondisi-kondisi sesaat juga tidak dijadikan alasan bagi pembunuhan karakter. Dia cenderung mendahulukan kepentingan bangsa dan negara di atas egoisme pribadi. 

Betapapun hal-hal semacam itulah yang pudar seiring berlalunya era Soekarno. Sebagai gantinya tampil seorang jenderal yang sebagian riwayat dan sepak terjangnya berselimut kabut: Soeharto. Tak berapa lama sejak dia memerintah, suasana perdebatan intelektual di kalangan elite politik dan kebudayaan surut, bahkan selanjutnya sirna.

Lebih jauh, rezimnya kemudian memberlakukan apa yang disebut normalisasi kehidupan kampus. Sivitas akademika dikurung di ruang kuliah. Perbedaan pendapat diharamkan. Praktik-praktik koruptif mulai berderap dan memerangkap kita hingga hari ini.

Indonesia kini agaknya tak secantik putri Insulinde yang pernah diangan-angankan: suatu negeri adil-makmur yang para pemimpinnya lekat dengan tradisi intelektual, berbudaya, dan integritasnya bisa dijadikan cermin oleh rakyat jelata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar