Integritas
Pemimpin
Kurnia JR, SASTRAWAN
SUMBER : KOMPAS, 7 Maret
2012
Seorang ”pangeran Jawa” belia di Universitas
Leiden menyeru kepada ”putra-putra Jawa” dalam Kongres Ilmu Bahasa dan Sastra
Belanda XXV pada 29 Agustus 1899.
”Lepaskan diri kalian dari belenggu
purbasangka yang masih mengimpit, kembangkan diri kalian dengan bebas sesuai
dengan bakat kalian, dan tingkatkan kepribadian... kembangkan seluruh kekuatan
kalian untuk membantu rakyat kita membentuk diri, dari kanak-kanak sampai
dewasa” (Harry A Poeze, 2008).
Dialah Sosrokartono, kakak kandung RA
Kartini. Pemuda 22 tahun ini dengan bijaksana menyentuh aspek dasar manusia
saat menyeru bangsanya untuk meraih ilmu pengetahuan yang setaraf bangsa
Belanda, Jepang, dan Amerika sehingga hak-hak Insulinde buat maju terpenuhi.
Aspek-aspek itu ialah bakat dan kepribadian yang harus dikembangkan secara
bebas. Bagi dia, tugas para pemuka ialah ”membantu rakyat membentuk diri”.
Pada 1924, majalah Perhimpoenan Indonesia di negeri Belanda berubah dari Hindia Poetra
menjadi Indonesia Merdeka. Di sana ditegaskan, ”pembebasan Indonesia” harus
berupa aksi melawan dua bentuk penjajahan: ketatanegaraan dan ekonomi.
Didahului ajakan menyingkirkan perbedaan kelompok demi ”Indonesia yang merasa
satu”, ditandaskan: ”Aksi ini merupakan persiapan kemerdekaan politik dan
pengambilan sikap melawan modal asing yang mengisap.”
Sekelumit kutipan tersebut menegaskan fondasi
bangsa yang dicita-citakan para perintis: penghargaan atas potensi individu dan
hak asasi manusia, kebersatuan, serta kemandirian politik dan ekonomi.
Manakala kekerasan terjadi di seputar kita
karena tiada teladan dari pribadi yang disegani dan ketidakpuasan memuncak
akibat pengkhianatan para pemangku kekuasaan terhadap sumpah jabatan, sepatutnya
kita mengingat mereka yang telah menegakkan tiang-tiang pancang bagi saka guru
bangsa dan negara ini.
Noto Soeroto, Kartini, Tan Malaka, Soekarno,
Hatta, Sjahrir, Natsir dan banyak kampiun pemikir berkaliber negarawan
mencita-citakan suatu bangsa dengan esensi yang jelas dan kukuh. Bangsa yang
bersatu, bertenggang rasa dalam kemajemukan, konsisten dan konsekuen dengan
gagasan pribadi ataupun kelompok, eksploratif sekaligus progresif menjemput
masa depan. Di antara mereka yang terjun ke politik praktis pada umumnya
menuliskan pemikiran dalam struktur yang elaboratif dan dengan filosofi yang
jelas.
Ide-ide dipaparkan dengan gaya khas
intelektual yang bisa ditelusuri anak-cucu. Pandangan budaya, politik, ekonomi,
sosial, dan spiritual diutarakan dengan dasar-dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan. Polemik dilakoni di jalur nalar sekaligus filosofis.
Perbenturan ideologi diungkapkan tidak hanya lewat pidato, tetapi juga di
mimbar ilmiah yang secara langsung atau tidak memberi pendidikan moral politik
bagi orang banyak.
Pemimpin
Visioner
Pada tahun kemerdekaan, Sjahrir menulis
”Perjuangan Kita”, yakni tentang peta persoalan dalam revolusi Indonesia
sekaligus analisis ekonomi-politik dunia seusai Perang Dunia II. Berlawanan
dengan Soekarno yang terobsesi oleh persatuan dan kesatuan bangsa, di situ
Sjahrir menyatakan, ”Tiap persatuan hanya akan bersifat taktis, temporer, dan
karena itu insidental. Usaha-usaha untuk menyatukan secara paksa hanya
menghasilkan anak banci. Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan
merusak pergerakan.”
Meski berseberangan dalam pandangan politik,
toh, pada November 1945 Sjahrir ditunjuk Soekarno menjadi formatur kabinet
parlementer. Sebaliknya, Sjahrir menyebut Soekarno pemimpin republik yang
diakui rakyat dan pemersatu bangsa.
Inilah bukti kemerdekaan berpikir dan hakikat
jiwa pemimpin yang visioner. Pemimpin sejati tidak sudi terpaku pada apa yang
seakan-akan telah menghablur sebagai pandangan bangsa. Di lain pihak,
pertentangan sikap dan tafsir atas kondisi-kondisi sesaat juga tidak dijadikan
alasan bagi pembunuhan karakter. Dia cenderung mendahulukan kepentingan bangsa
dan negara di atas egoisme pribadi.
Betapapun hal-hal semacam itulah yang pudar
seiring berlalunya era Soekarno. Sebagai gantinya tampil seorang jenderal yang
sebagian riwayat dan sepak terjangnya berselimut kabut: Soeharto. Tak berapa
lama sejak dia memerintah, suasana perdebatan intelektual di kalangan elite
politik dan kebudayaan surut, bahkan selanjutnya sirna.
Lebih jauh, rezimnya kemudian memberlakukan
apa yang disebut normalisasi kehidupan kampus. Sivitas akademika dikurung di
ruang kuliah. Perbedaan pendapat diharamkan. Praktik-praktik koruptif mulai
berderap dan memerangkap kita hingga hari ini.
Indonesia kini agaknya tak secantik putri Insulinde yang pernah
diangan-angankan: suatu negeri adil-makmur yang para pemimpinnya lekat dengan
tradisi intelektual, berbudaya, dan integritasnya bisa dijadikan cermin oleh
rakyat jelata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar