Memiskinkan
Koruptor
Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara,
Direktur Pusat Studi
Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
SUMBER : KOMPAS, 12 Maret 2012
Gayus HP Tambunan, mantan pegawai Direktorat
Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, kembali menjadi berita utama hampir
semua media massa nasional.
Selain karena dampak berita terkuaknya
rekening gendut Dhana Widyatmika, Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi
Jakarta juga menjatuhkan hukuman enam tahun kepada Gayus karena terbukti
melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Hukuman enam tahun penjara
ini bukan vonis pertama yang diterima Gayus. Sebelumnya, terbukti menyalahgunakan
wewenang saat menjadi pegawai pajak dengan menyuap polisi dan hakim serta
memberikan keterangan palsu, ia dihukum 12 tahun penjara. Dalam kasus pemalsuan
paspor, yunior Dhana Widyatmika ini divonis dua tahun penjara.
Putusan enam tahun penjara dan denda Rp 1
miliar subsider empat bulan kurungan yang dijatuhkan majelis hakim (Kompas,
2/3/2012) bukan sesuatu yang luar biasa di tengah desain besar agenda
pemberantasan korupsi. Namun, putusan itu memiliki pesan khusus karena diikuti
dengan perintah untuk menyita pundi-pundi Gayus yang disimpan di sejumlah bank.
Tidak hanya itu, majelis hakim juga memerintahkan untuk menyita aset-aset
berharga lain yang dimiliki Gayus.
Dengan adanya perintah menyita untuk negara
uang Rp 74 miliar; 2 mobil; rumah di Gading Park View, Jakarta; dan 31 batang
emas masing-masing 100 gram, majelis hakim memulai sebuah langkah besar guna
menimbulkan efek jera di tengah perang melawan korupsi. Pesan putusan itu
jelas: pelaku korupsi tak cukup hanya dijatuhi hukuman konvensional, tetapi sekaligus
harus dimiskinkan.
Terobosan
Ketika korupsi dirasakan sebagai ancaman amat
serius, penjatuhan pidana maksimal dianggap cara paling efektif untuk membuat
koruptor takut. Karena itu, keberanian menjatuhkan pidana maksimal selalu
menjadi sebuah penantian. Bahkan, UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi memberi ruang untuk menjatuhkan hukuman mati. Terlepas dari
kontroversi di sekitar hukuman mati, belum ada pelaku korupsi yang diganjar
dengan pidana mati.
Boleh jadi karena ada ketakutan untuk
menjatuhkannya, ancaman pidana mati dalam UU No 31/1999 menjadi kehilangan
makna hakiki dalam menghambat laju praktik korupsi. Bukti yang paling sulit
dipatahkan, lebih dari satu dasawarsa terakhir praktik korupsi makin masif,
sistematis, dan kian sulit dikendalikan. Bahkan, melihat kecenderungan yang
ada, sulit menemukan institusi publik yang benar-benar bebas dari praktik
korupsi.
Sadar akan dampak dari praktik korupsi,
kegagalan menjatuhkan hukuman maksimal, termasuk dalam menjatuhkan pidana mati,
tidak serta-merta menghentikan pemikiran untuk menimbulkan efek jera dalam
memberantas korupsi. Salah satu gagasan yang dikemukakan adalah memangkas (dan
jika perlu menghilangkan) segala bentuk fasilitas dan kemewahan yang diberikan
kepada mereka yang terlibat dalam kasus korupsi.
Sebagaimana pernah dikemukakan dalam ”Pangkas
Kemewahan Koruptor” (Kompas, 6/11/2011), kemewahan yang dinikmati mereka yang
tersangkut kasus korupsi terjadi mulai dari hulu hingga hilir. Di tingkat hulu,
kemewahan tidak hanya terjadi selama dalam proses penyidikan, tetapi yang
paling mengerikan, hakim kian terbiasa menjatuhkan vonis di bawah lima tahun.
Dengan vonis ringan tersebut, penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi
menjadi kehilangan pesan dan makna secara hakiki karena di hilir amat mudah
mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Karena pengalaman tersebut, perlu dilakukan
berbagai terobosan yang memberikan pesan jelas dan tegas sehingga mampu membuat
orang takut melakukan korupsi. Salah satu terobosan yang didorong adalah
memiskinkan koruptor. Sebagaimana pernah dikemukakan pada sebuah diskusi yang
diselenggarakan Kompas (22/2/2011), pilihan memiskinkan didasarkan pemikiran
bahwa banyak pelaku korupsi yang tidak takut dengan hukuman penjara. Rasa takut
sirna karena koruptor masih dapat menikmati hasil korupsi setelah menghabiskan
masa tahanan. Apalagi, selama masa tahanan, uang hasil korupsi dapat saja
dimanfaatkan untuk ”membeli” segala macam kemewahan.
Menilik kecenderungan yang ada, salah satu
motivasi yang menyebabkan orang melakukan korupsi adalah karena mereka takut
hidup miskin. Dengan adanya pilihan memiskinkan, banyak pihak akan berpikir
ulang untuk korupsi. Oleh karena itu, putusan Pengadilan Tipikor Jakarta
seharusnya dilihat sebagai terobosan dengan pesan yang sangat jelas: korupsi
adalah langkah awal menuju pemiskinan.
Langkah
Awal
Sebagai bagian dari upaya menumbuhkan efek
jera sehingga orang takut melakukan korupsi, putusan Pengadilan Tipikor Jakarta
harus dipandang sebagai langkah awal. Langkah memiskinkan koruptor dapat
dikatakan masih jauh dari cukup hanya bersandar pada putusan tersebut. Bahkan,
untuk Gayus sendiri, dengan melihat kemungkinan jejaring yang ada, tak ada
jaminan bekas pegawai golongan IIIA Ditjen Pajak ini akan benar-benar miskin. Dengan
menempatkannya sebagai langkah awal, putusan majelis hakim ini semestinya
diikuti tindakan lain sehingga upaya pemiskinan melalui proses hukum
benar-benar menjadi kabar menakutkan. Proses penegakan hukum harus mampu
menjamah semua pihak yang terindikasi menjadi bagian dan turut serta menikmati
hasil korupsi. Untuk itu, sekiranya terbukti, pihak-pihak yang ikut menikmati
harus pula dimiskinkan. Keharusan ini tak mungkin dihindarkan karena Pasal 2
Ayat (1) UU No 31/1999 memberi ruang untuk memiskinkan mereka yang ikut
menikmati hasil korupsi.
Bahkan, dalam skandal suap yang menempatkan
Gayus di titik sentral, penelusuran seharusnya dilakukan pula untuk melacak
kemungkinan keuntungan yang didapat keluarga, rekan kerja, termasuk atasan, dan
pihak lain yang terkait. Melihat kemungkinan jejaring di sekeliling Gayus, amat
sulit dicerna akal sehat Gayus bekerja untuk dan atas kehendak sendiri.
Setidaknya, cara berpikir demikian menemukan basis argumentasi dengan
terbongkarnya kasus rekening gendut pegawai pajak bernama Dhana Widyatmika.
Selain tindakan tersebut, upaya pemiskinan
koruptor seharusnya juga sudah dimulai dari proses awal, terutama sejak
dinyatakan sebagai tersangka. Langkah ini perlu dilakukan agar kemampuan
keuangan, termasuk yang berasal dari hasil korupsi, tidak dimanfaatkan menjadi
modal memengaruhi proses hukum. Sekali lagi merujuk proses hukum skandal suap
pajak, betapa leluasanya Gayus menggunakan dana hasil perbuatan curang ketika
menjadi pegawai pajak guna ”membeli” otoritas penegak hukum dan petugas rumah
tahanan. Dengan kemampuan keuangan berlimpah, tidak hanya pergi ke Bali, Gayus
pun dengan begitu mudah melakukan perjalanan ke luar negeri.
Merujuk proses hukum Gayus, agar pengalaman
serupa tidak terulang, penyidik harus membekukan semua harta yang dimiliki
Dhana Widyatmika. Selain rekening senilai Rp 60 miliar, penyidik juga harus
mampu mengendus kemungkinan adanya rekening lain. Bagaimanapun, tidak ada yang
berharap rangkaian tamparan yang pernah dihadirkan Gayus kembali
mencoreng wajah penegakan hukum negeri ini. Karena itu, proses pemiskinan bagi
Dhana harus dimulai sejak awal.
Di atas itu semua, banyak kalangan berharap
agar terobosan yang dilakukan Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus Gayus tak
menjadi putusan pertama dan terakhir. Untuk itu, dalam proses berikutnya,
pengadilan tinggi (banding) dan Mahkamah Agung (kasasi) tak menganulir
terobosan tersebut. Tak hanya itu, tak kalah penting, semua pengadilan tipikor
di daerah mengikuti cara berpikir dan terobosan yang dilakukan Pengadilan
Tipikor Jakarta. Bagaimanapun, mengabaikan pesan yang ada di belakang
penjatuhan hukuman bagi Gayus sama saja memelihara kemewahan lain bagi
koruptor. Dalam pengertian itu, pemiskinan menjadi semacam keniscayaan untuk
segera keluar dan menjauh dari pelukan koruptor. Karena itu, segera miskinkan
koruptor sebelum negeri ini benar-benar terperosok dalam kemelaratan serius nan
panjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar