Jumat, 09 Maret 2012

Korupsi dan Kekuasaan


Korupsi dan Kekuasaan
Badrut Tamam, TENAGA AHLI DPR RI
SUMBER : SUARA KARYA, 9 Maret 2012



Kerajaan itu sangat berpengaruh dan dapat menguasai seluruh Nusantara. Namun, kesukseasan tersebut tidak berlangsung lama. Pasalnya, kerajaan ini tidak mampu membendung praktik korupsi dan kolusi yang begitu menggurita.

Alhasil, kerajaan ini pun hancur dan terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang kemudian memudahkan para penjajah (koloni) menguasai bumi Nusantara. Artinya, praktik korupsi sungguh sangat membahayakan. Akibat korupsi, kerajaan bisa pecah dan hancur.

Kejahatan korupsi ini ternyata sudah berlangsung sejak zaman feodal sampai zaman modern sekarang ini. Di Indonesia, praktik korupsi telah menghancurkan seluruh sendi-sendi perekonomian kita, sehingga terjadi krisis ekonomi (1997) dan krisis multidimensi yang berkepanjangan.

Sejak terjadinya gelombang reformasi 1998, wacana pembentukan clean government dan pemberantasan korupsi menempati urutan utama. Namun, praktik korupsi terus menjadi-jadi dan menyerang seluruh lembaga negara. Uang negara yang mestinya digunakan untuk kepentingan publik, justru dijarah oleh pejabat negara untuk kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.

Untuk memberantas korupsi tentu tidak bisa hanya dengan retorika belaka. Perlu penegakan hukum dan tindakan konkrit dari para penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim). Penegakan hukum di Indonesia juga tidak hanya bisa diselesaikan oleh lembaga formal negara, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Mahkamah Agung (MA). Tetapi, perlu adanya kesadaran dari masyarakat sebagai controlling of power. Kesadaran dari semua pihaklah yang akan menjadi tumpuan pemberantasan korupsi.

Meski begitu, jika kita saksikan setiap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berbicara tentang penegakan hukum dan keinginan memberantas korupsi, ada harapan besar bagi pemerintahan SBY-Boediono untuk sungguh-sungguh memberantas korupsi. Sayang, hingga kini, program pemberantasan korupsi cenderung berjalan di tempat. Anehnya lagi, pelaku dugaan korupsi yang meramaikan pembicaraan publik adalah kader partai penguasa binaan Presiden sendiri. Tentu itu menjadi buah simalakama bagi Presiden SBY.

Secara teoritis, pada hakikatnya kekuasaan cenderung korup - seperti teori Lord Action bahwa power tend to corrupt and absolut power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut korup).

Jika teori itu yang menjadi rujukan para kader partai penguasa dalam menentukan berbagai kebijakan, tentu sangat kontradiktif dengan upaya pemberantasan korupsi yang menjadi janji politik pemerintahan SBY-Boediono.

Dalam kamus bahasa hukum, tidak mengenal kawan dan lawan kecuali hukum dijadikan instrumen politik oleh penguasa. Sebab, sering kali hukum dipolitisir oleh penguasa untuk kepentingan politik. Hal inilah yang terjadi selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Akhirnya, hukum pun tidak mampu berbuat apa-apa lantaran sarat dengan intervensi dan kepentingan politik penguasa.

Dalam hal pemberantaan korupsi rasanya perlu belajar dari negeri China. Negeri berpenduduk paling padat di dunia ini tidak segan-segan untuk menembak mati pelaku korupsi. Siapa pun mereka, baik itu keluarga, pejabat negara maupun presiden sendiri. Masih ingat, janji Zorunhi kepada rakyatnya ketika menjadi Perdana Menteri? "Siapkan saya 100 peti jenazah, 99 untuk para koruptor dan satu untuk saya. Kalau saya korupsi, tembak mati saya," begitu ia berujar.

Beranikah pemerintahan SBY menangkap koruptor yang telah merugikan negara seperti yang dilakukan oleh Zorunchi? Tentu jawabannya bergantung pada niat baik dan keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi. Praktik yang dilakukan Zorunhi itu menunjukkan bahwa hukum bukan menjadi instrumen politik kekuasaan.

Jika pemberantasan korupsi hanya sebuah janji tanpa pernah diimplementasikan secara nyata, sampai kapan pun korupsi tidak akan mampu dihilangkan. Toh, sejak era reformasi dan kali pergantian presiden semua berjanji untuk memberantas korupsi, tetapi hingga kini para koruptor justru masih banyak yang bersenang-senang di luar negeri dengan hasil korupsinya.

Selain pendekatan formal seperti di atas, juga perlu pendekatan informal. Misalnya, dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat. Perselingkuhan "najis" antara penguasa elite dan kekuatan politik (perselingkuhan antara penegak hukum dengan penguasa) ikut memperparah gagalnya pemberantsan korupsi dan penegakan hukum. Karena itu, pemberantasan korupsi dengan jalur formal (baca: lewat lembaga peradilan) tidak cukup efektif untuk menekan angka korupsi.

Sehebat apa pun aparat penegak hukum dalam upaya pemberantasan korupsi akan menjadi sia-sia ketika intervensi penguasa terhadap lembaga hukum masih cukup dominan. Kesadaran elite politik menjadi kunci utama dalam penegakan hukum.

Di samping itu, perlunya membangun gerakan sosial dan moral untuk melawan praktik korupsi. Gerakan sosial bisa dibangun dengan memperkuat masyarakat sipil dalam mengawasi, mengontrol dan melawan korupsi yang ada di sekitar masyarakat. Dengan ini, pejabat publik sudah seharusnya membangun patronase dengan masyarakat untuk memberantas korupsi.

Adanya kesadaran diri oleh para pejabat negara, termasuk Presiden dan lembaga penegak hukum serta tindakan masyarakat sebagai controlling of power dan standing partner pemerintah dalam pengawasan dan pemberantasan korupsi akan meminimalkan angkah korupsi. Dengan kesadaran pejabat negara dan kontrol masyarakat terhadap korupsi yang terjadi setiap lembaga membuka harapan untuk memberantas korupsi di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar