Agama
sebagai Penjaga Moral
Deni Humaedi Achmad El-ghazali, PENELITI MUDA
INDONESIAN CULTURE ACADEMY
(INCA), JAKARTA
SUMBER : SUARA KARYA, 9 Maret 2012
Agama akan kian hidup manakala perilaku amoral semakin menggila.
Kedatangan tahun 2012 disambut begitu suka cita oleh seluruh lapisan masyarakat
dan banyak harapan dipancangkan. Harapan tersebut berangkat dari peristiwa yang
terjadi sepanjang 2011 baik yang mengecewakan maupun sebaliknya. Namun, harapan
tersebut tampaknya jauh dari kenyataan sebab masih saja ada luka-luka yang
menapak di tahun lalu menganga kembali di tahun ini.
Adalah kekerasan, bentrokan massa, pemerkosaan, pembunuhan sampai
korupsi di kalangan elite pemerintah. Tak ayal, perilaku-perilaku demikian
adalah bentuk tindakan amoral sudah menimbulkan kerugian bagi manusia,
khususnya karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dibilang
merugikan sebab bentuk amoral itu telah menodai hak asasi manusia (HAM). Sebut
saja, korupsi yang dipraktikkan oleh beberapa elite pemerintah belakangan ini.
Dampak korupsi ini - meminjam istilah Frederich Bastiat - 'seperti
apa yang terlihat dan yang tak terlihat' sekilas tampak ringan dan tak ada
apa-apa tapi dampaknya sudah apa-apa sedemikian endemik. Perilaku korup yang
dilakukan seorang elite saja bisa berakibat bagi nasib seluruh masyarakat.
Tidak hanya satu instansi yang terkait yang dirugikan, tapi juga negara dan
masyarakat keseluruhan. Dapat kita bayangkan betapa jahatnya apabila uang milik
rakyat, untuk kepentingan rakyat, namun dengan mudah dirampok oleh koruptor
demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Namun, di balik semua itu ada dampak luar biasa, yang melebihi
dampak-dampak yang telah disebutkan tadi. Selain secara materiil telah
merugikan negara dan masyarakat secara keseluruhan, korupsi semakin
menggambarkan betapa telah luruh moral ideal yang dianut bangsa kita. Moral ideal
tersebut adalah kejujuran yang merupakan cerminan kemanusiaan yang paling
luhur. Moral kejujuran ini adalah muara untuk menetaskan etos kerja keras,
tekun, dan kesabaran.
Ketika moral sudah ditinggalkan begitu saja dalam keseharian, yang
tersisa hanyalah kerusakan-keretakan yang melekat di bangsa kita. Akhirnya,
kita akan menjadi bangsa yang nirmoral. Pada posisi inilah, agama mesti
menampilkan dirinya. Tidak hanya untuk mengembalikan moral yang sudan meluruh,
agama dituntut untuk menghidupkan dan membumikan spirit moral tersebut dalam
kehidupan berbangsa-bernegara.
Sekiranya sudah usang untuk membicarakan bahwa kehadiran agama
akan semakin tenggelam, mati di era modernisasi seperti yang diramalkan oleh
beberapa ilmuwan sosial khususnya dari barat. Memang, pada segi-segi tertentu
betul bahwa agama seperti yang dikatakan beberapa kalangan pemerhati
sosial-keagamaan dewasa ini, tidak perlu mengemuka ke dalam wilayah publik. Ia
cukup saja menjadi ranah privat yang menjadi persoalan masing-masing individu.
Terlebih, untuk memasuki ranah politik (baca, negara).
Di lain sisi, justru di era sekaranglah hidup disesaki dengan
pluralitas nilai-nilai yang kian membuat kita semakin bingung untuk merujuk
acuan dalam hidup. Terlebih, pluralitas nilai-nilai ini telah mengikis jati
diri bangsa kita semisal moral kejujuran yang diganti dengan moral kebohongan
(korupsi). Dalam gal ini, maka peran agama akan semakin diperlukan untuk
menjawab pelbagai persoalan tersebut. Dengan maksud lain, untuk mencegah dan
meminimalisasikan perilaku amoral tersebut maka secara serta merta orang akan
kembali membutuhkan peran agama.
Pada dasarnya, seperti yang kita ketahui, tegaknya moral tidak
hanya diinisiasi oleh agama saja. Ada moral-moral lain yang disepakati bersama
yang menjadi acuan untuk pandangan dunia (worldview) yang disebut sebagai moral
publik. Seterusnya untuk menjaga moral yang sudah disepakati bersama ini agar
tidak dilanggar oleh individu atau kelompok tertentu, dibuatlah hukum sebagai
penjaga moral.
Tetapi, sayangnya, meskipun ada hukum sebagai penjaga, tetap saja
batas-batas moral ini ditabrak tanpa mempertimbangkan dampaknya. Kekerasan,
bentrokan massa, pemerkosaan, pembunuhan, dan korupsi adalah resultan dari
penabrakan moral publik tadi. Maka, sebagai konsekuensi yang paling
"biadab" dari perilaku amoral ini adalah pembunuhan terhadap hak
asasi manusia (HAM).
Karena, dampak perilaku amoral tersebut tidak boleh terulang lagi,
agama dengan sendirinya harus semakin hidup dan bersiap menuntun bangsa ke arah
yang lebih baik. Benar bahwa agama, sebagaimana yang dikatakan sosiolog Bryan
Turner, adalah berfungsi sebagai perekat sosial. Kehadirannya, di samping
mengajarkan melulu ibadah ritual, bisa mempererat hubungan sosial meski
dilatari perbedaan suku, ras, adat, dan daerah yang berbeda.
Namun, kendati demikian, tak dapat dielakkan, bentrokan massa yang
belakangan ini terjadi berangkat dari konflik antar-umat beragama pula. Hemat
saya, inilah yang menjadi 'pekerjaan rumah (PR) yang harus diemban oleh para
pemuka agama. Dengan kata lain, para pemuka agama harus dapat membawa agama
manakala dihadapkan oleh pelbagai perilaku amoral atau konflik antar-umat
beragama sendiri.
Karena itu, sudah saatnya para pemuka agama memikirkan secara
lebih serius bagaimana agama bisa merespon berbagai tantangan zaman, baik yang
bisa menghidupkan (positif) maupun yang bisa mengikiskan agama sendiri
(negatif). Tetapi, untuk sampai ke arah itu, diperlukan sikap bijak yang harus
dimiliki para pemuka agama. Artinya, mereka mesti menyampaikan ajaran keagamaan
dengan rasional, terbuka, soft, santun ketimbang melulu doktrinal, kaku,
tertutup, dan ekslusif.
Dengan demikian, agama secara pasti bisa memosisikan keberadaannya
di tengah masyarakat. Karena itu, agama tidak boleh lagi dijadikan komoditas
politisasi kekuasaan semata tetapi biarkan berperan sesuai fungsinya penjaga
moral. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar