Sabtu, 17 Maret 2012

Konstitusionalitas Pemilu ala Adat


Konstitusionalitas Pemilu ala Adat
Andi Syafrani, DOSEN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA;
PEMERHATI HUKUM POLITIK; ADVOKAT
SUMBER : SINDO, 17 Maret 2012



Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perselisihan hasil Pemilu Kabupaten Dogyai, Papua, baru-baru ini, memberikan perspektif baru mengenai hukum adat dalam sistem Pemilu.

Putusan dengan Nomor Registrasi Perkara 3/PHPU.D-XII/2012 bertanggal 16 Februari 2012 telah membuat norma baru yang sangat penting dan menarik dalam praktik pemilu,khususnya praktik metode pemilihan kepala daerah. Ada dua hal penting yang patut dicatat terkait dengan putusan MK tersebut yang berimplikasi secara yuridis. Pertama, putusan MK tersebut secara tegas dan jelas menerima mekanisme pemilihan secara perwakilan aklamasi ala adat (yang di Dogiyai disebut mekanisme Pemilihan Noken) sebagai cara yang sah, konstitusional, dan tidak bertentangan dengan mekanisme pemilihan ala one man one vote yang sudah diterapkan sejak pemilihan presiden secara langsung pada 2004 dan pilkada sejak 2005.

Kedua, karena itu, putusan MK tersebut menjadi yurisprudensi bagi setiap model pemilihan secara adat dalam sistem pemilu Indonesia,baik dalam pemilu legislatif maupun eksekutif di setiap level pemerintahan. Dapat dikatakan bahwa norma yang lahir dari putusan MK tersebut adalah norma lex specialist hukum pemilu yang selama ini hanya melegalkan prinsip one man one vote dengan model pencoblosan/ pencontrengan kertas suara.

Argumen para hakim penegak konstitusi dalam pertimbangan putusannya terkait kasus Pemilu Dogiyai merujuk pada prinsip dasar dalam Konstitusi UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) yang secara eksplisit mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur di dalam UU. KPU sebagai penyelenggara pemilu, menurut para hakim konstitusi dalam pertimbangannya di poin 3.26, tidak boleh mempertentangkan mekanisme pemilihan ala adat dengan mekanisme formal yang telah ditetapkan di dalam UU atau peraturan teknis tentang pemilu.

Dasar putusan hakim tersebut memang memberikan angin segar bagi eksistensi hukum adat di wilayah pemerintahan yang memang belum banyak terakomodasi dalam sistem hukum nasional. Hukum adat sejauh ini hanya diakui lebih banyak berlaku dalam ranah hukum kekeluargaan,waris, ataupun pertanahan. Kalaupun ada akomodasi hukum adat dalam lingkup hukum pemerintahan seperti di wilayah Sumatera Barat, NAD, atau Bali, lebih pada dimensi pengakomodasian struktur dan nama pemerintahan dalam lingkup yang terbatas.

Pengakuan konstitusionalitas pemilihan umum ala adat ini pastinya membuka ruang yang lebih besar terkait “negosiasi” legalitas hukum adat secara umum dengan hukum positif yang diatur dalam peraturan yang berlaku. Problem generik yang menyelimuti pengakuan eksistensi hukum adat dalam hukum nasional, khususnya dalam ranah pemilu, mungkin akan terus bergulir dan secara praktis dapat memengaruhi model demokrasi prosedural yang telah dan sedang dijalani oleh republik ini.

Di antara problem inheren hukum adat adalah pada bentuknya yang bersifat jus non scriptum (tidak tertulis). Berbeda dengan hukum positif yang menganut prinsip legalitas tertulis.Memverifikasi ada mekanisme pemilihan adat semacam Noken di Dongiyai misalnya bukan perkara yang mudah. Hal lain yang menjadi problem dalam penerapan hukum adat dalam sistem pemilihan formal adalah terkait pembatasan wilayah keberlakuannya.

Acuan umum kewilayahan adat yang dibuat oleh sarjana klasik C Van Vallenhoven yang membagi 19 wilayah adat Nusantara misalnya belum tentu relevan dengan perkembangan geografis dan demografis penduduk Indonesia dewasa ini. Pemekaran wilayah dan migrasi penduduk yang masif akibat fenomena urbanisasi atau bahkan emigrasi pastinya semakin mempersulit pendefinisian kewilayahan hukum adat. Belum lagi faktor psikologis ikatan dan kepatuhan keadatan yang semakin lemah akibat nasionalisasi hukum sejak Indonesia merdeka akan mengaburkan posisi keberikatan hukum adat.

Demokrasi Parsial

Jika ditarik pada aspek kesejarahan, kelahiran demokrasi secara prinsipil dimaksudkan untuk meruntuhkan pola patronase feodal yang mengebiri eksistensi personal dalam partisipasi persoalan komunal. Dulu wanita dan warga laki-laki biasa tidak diakui haknya secara politik sehingga tidak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam memilih pemimpin.Suara atau dukungan kelompok dititipkan kepada para pemangku/tetua/ tokoh yang dianggap paling mengerti urusan politik atau publik.

Hukum adat diakui atau tidak masih melanggengkan prinsip-prinsip klasik feodalistik tersebut. Dengan pelbagai alasan suprarasional, karakteristik feodal masih melekat dalam sistem hukum adat. Dalam berbagai praktik pemilu di daerah Papua misalnya, banyakditemukan pemilu dilakukan dengan pemberian suara secara mutlak ke satu pasangan calon atau ke beberapa pasang calon yang ditentukan oleh para ketua/pemangku adat.Warga adat lainnya cukup mengikuti fatwa pemimpinnya.

Hal ini tentu saja dapat dimintakan legitimasinya sebagai sebuah mekanisme pemilihan yang sah berdasarkan putusan MK di atas. Akan tetapi, apakah sistem pemilu adat ini dapat kita terima sebagai sebuah demokrasi khas Indonesia sebagaimana argumen kelompok tertentu yang menolak universalitas HAM dengan pertimbangan partikularitas norma-norma kemanusiaan di muka bumi? Apakah universalitas prinsip one man one vote dalam demokrasi prosedural dengan asas langsung dan kerahasiaan dapat ditakhsis dengan alasan pelestarian hukum adat?

Dalam aspek yang lebih fundamental, apakah memang hukum adat tidak dapat berubah atau diubah? Hakim konstitusi tentu telah memikirkan argumen hukum dan filosofis dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut yang tidak semuanya tertuang di dalam putusan. Hanya, secara teknis, alasan partikularitas demokrasi ala adat ini jangan sampai dijadikan metode (loop hole) bagi para pendulang suara dalam pemilu untuk melegitimasi kontrak/deal politik mereka dengan mengabaikan prinsip kebebasan dan kerahasiaan pemilih kaum adat.

Para pembuat hukum di DPR dan penyelenggara pemilu harus merespons terobosan MK ini dengan mempertimbangkan secara hati-hati keseimbangan prinsip akomodasi hukum adat dengan prinsip demokrasi luber dan jurdil pemilu dalam RUU Pemilu dan Pilkada.

Kebijakan (wisdom) hukum adat dengan prinsip keharmonisannya tentunya diharapkan dapat berjalan beriringan dengan perlindungan terhadap kebebasan individu setiap anggota kaum adat untuk memilih pemimpin yang membawa kemakmuran dan perbaikan nasib kaum adat yang masih banyak termarginalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar