Sabtu, 17 Maret 2012

Politisasi BBM dan Absennya Negara


Politisasi BBM dan Absennya Negara
Sri Suwartiningsih, DOSEN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU KOMUNIKASI (FISKOM) DAN PROGRAM PASCASARJANA STUDI PEMBANGUNAN UKSW SALATIGA
SUMBER : SUARA MERDEKA, 17 Maret 2012



"Negara sudah tidak mencerminkan representasi rakyat yang kini tak dapat mengandalkan wakilnya di DPRD, DPR, dan DPD karena sudah tak searah"
KAPOLRI Jenderal Timur Pradopo menyatakan jajarannya sudah menyiapkan diri untuk mengantisipasi merebaknya demo antikenaikan harga BBM. Sebenarnya percuma berdemo karena yang sudah diputuskan Pesiden SBY dan disetujui DPR  tetap menjadi keputusan meskipun kebijakan itu tidak diinginkan oleh sebagian besar masyarakat. Apalagi SBY sudah menyebutkan bahwa kenaikan harga BBM itu bukan hanya untuk menyelamatkan APBN melainkan demi kegiatan perekonomian masyarakat yang sehat (SM, 15/03/12).

Rasanya aneh dan ajaib negeri ini, sudah jelas sebagian besar rakyat tidak setuju tetap saja sebuah keputusan berjalan. Sepertinya negara sudah tidak mencerminkan representasi rakyat yang kini tak dapat mengandalkan wakilnya di DPRD, DPR, dan DPD karena sudah tidak searah. Rakyat ibarat anak ayam tanpa induk karena sang induk lebih sibuk untuk menggemukkan diri karena lebih mendasarkan paham hidup hanya satu kali. Tinggal anak ayam berjuang sendiri mengais sisa remah-remah jagung demi pertumbuhan diri yang lambat.

Negara dan rakyat saat ini sudah menjadi areal yang terpisahkan, bahkan makin jauh, oleh adanya perbedaan kepentingan. Padahal pemahaman negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling konkret pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni upaya yang wajib diberikan oleh negara kepada rakyat.

Negara Absen

Terutama bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah memberikan rasa aman. Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya dalam arti kata luas.

Dalam perkembangannya banyak negara memiliki keranjang layanan yang berbeda bagi warganya. Salah satunya adalah Indonesia yang sekarang sedang menggelar panggung politik pelayanan yang tidak searah dengan harapan dan kebutuhan rakyat, melalui lakon menaikkan harga BBM bersubsidi. Negara beralasan bahwa dengan menaikkan harga bahan bakar bisa menjadi solusi bagi defisitnya APBN. Adapun rakyat selalu merasakan bahwa kenaikan harga bahan bakar akan diikuti oleh perubahan harga-harga kebutuhan, termasuk harga pelayanan transportasi publik.

Suara rakyat bukan lagi suara Tuhan karena bagi pengambil keputusan yang duduk di habitusnya suara komunitasnyalah yang layak didengar dan diwujudkan. Rakyat sudah terbayar lunas karena sudah menerima ‘’upah’’ pada saat pemilihan presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD dengan diterimanya tali asih (kalau tidak mau menyebutnya sebagai praktik politik uang), yang tanpa disadari rakyat ikut bermain di dalamnya. Bagi pengambil keputusan, demo menolak kebijakan negara tidak menjadi bagian dari perhatian mereka.

Rakyat harus menerima konsekuensi dari pilihan mereka. Negara secara fisik ada namun secara roh dan jiwa absen karena bukan lagi wujud dari eksistensi rakyat. Negara menganggap rakyat sudah terbeli dan orang yang duduk di struktur negaralah pembelinya. Bagi negara, menaikkan harga BBM adalah faktor penting yang dapat menyelamatkan defisit APBN. Meskipun rakyat boleh demo mempertanyakan sebab dari defisitnya anggaran, jawaban tetap satu yaitu pemerintah harus menaikkan harga BBM.

Seharusnya hal itu menjadi pembelajaran bagi rakyat terkait dengan praktik demokrasi yang sebenarnya di negeri ini. Melalui fenomena politisasi BBM ini, rakyat seharusnya lebih sadar untuk memilih para negarawan yang bersih. Negarawan yang bersih pun hanya bisa lahir dari rakyat yang bersih. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar