Gubernur
DKI: Kreatif dan Problem Solver
(
Wawancara )
Andrinov
Chaniago, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Regional
and Urban Studies (Cirus)
SUMBER : SUARA KARYA, 17 Maret 2012
Empat bulan ke depan - tepatnya 11 Juli 2012 -, Jakarta akan
menggelar hajatan akbar, pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). Hiruk-pikuk
politik menyambut pesta demokrasi tingkat lokal itu sudah sangat terasa.
Bahkan, suhu politik terkesan kian memanas seiring dengan aksi dukung-mendukung
pencalonan gubernur-wakil gubernur DKI periode 2012-2017.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta telah membuka pendaftaran
calon gubernur-calon wakil gubernur (cagub-cawagub) sejak Senin, 13 Maret dan
ditutup Senin, 19 Maret 2012. Namun, hingga menjelang hari terakhir, baru satu calon
perseorangan/independen Faisal Basri-Biem Benyamin yang telah mendaftarkan
diri.
Lalu, bagaimana dengan calon-calon dari partai politik? Koalisi
Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Damai Sejahtera
(PDS) yang mengusung pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono, kabarnya akan
mendaftarkan diri pada Senin, 19 Maret 2012. Sedangkan, incumbent Gubernur DKI
Fauzi Bowo yang telah mengantongi dukungan dari sejumlah parpol, PKB, PAN,
Hanura, PDIP dan mengharap didukung Partai Demokrat belum mendaftar, bahkan
lamban untuk mendeklarasikan bersama siapa pasangannya.
Terkait Pilkada DKI, lebih kurang 6,2 juta warga Ibu Kota akan
memilih pemimpin, yang diharapkan mampu membawa Jakarta menjadi Ibu Kota Negara
yang lebih baik, lebih maju, lebih bermartabat, sehingga sejajar dengan
kota-kota besar di dunia. Wartawan Harian Umum Suara Karya Yon
Parjiyono mewancarai Direktur Eksekutif Center for Indonesian Regional and
Urban Studies (Cirus) Andrinov Chaniago untuk memberi gambaran tipe
gubernur seperti apa yang dibutuhkan untuk memimpin Jakarta dengan segudang
masalah.
Dengan kompleksitas masalah Jakarta, figur gubernur seperti apa
yang ideal untuk memimpin Jakarta ke depan?
Ya, menurut saya, figur gubernur yang memiliki tiga kriteria
penting, di samping kriteria lain sebagai tambahan. Pertama, orang yang
betul-betul paham persoalan Jakarta, dengan cara melihat yang benar. Artinya,
dia punya wawasan tentang masalah kota besar, tahu mana yang akar persoalan,
pucuknya yang mana, sampah persoalan yang mana.
Kedua, gaya kepemimpinan yang action dan problem solver (orang
yang mampu memecahkan masalah). Tidak figur bergaya birokrat yang rutin
rapat-rapat, minta tanggung jawab bawahan, marah-marah. Tapi, orang yang memang
menggerakkan sebagai pemimpin. Tipe kepemimpinannya juga harus keras.
Ketiga, orang yang secara pribadi punya integritas bisa dipercaya,
ini terkait godaan-godaan yang besar sekali sebagai pejabat publik termasuk
tekanan dari partai politik. Dia itu harus bisa menyampingkan kepentingan
pribadinya. Karena, uang yang akan dikelola, dan menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah itu, besar sekali.
APBD DKI dari tahun ke tahun terus bertambah. Potensi sumber
pendapatan daerah yang dapat digali jauh lebih besar daripada yang terealisasi.
Komentar Anda?
Tahun 2012, besarnya APBD DKI mencapai Rp 36,2 triliun. Jadi,
kalau terpilih menjadi gubernur, tinggal mematangkan konsep, dan membuat
terobosan bagaimana supaya Jakarta ini bisa berubah. Sebagai pemimpin yang
pandai melihat persoalan, ya tentu sekaligus pendengar yang baik. Dia juga ada
keinginan untuk mengatasi sumber masalah, menjadi pendengar yang baik masukan.
Gubernur juga jangan seperti seorang pengamat. Cuma bisa menjawab apa yang ada
di pikirannya saja, tetapi juga bisa merealisasikan rekomendasi-rekomendasi
untuk jalan keluar.
Sebagai seorang problem solver, dia harus lebih banyak turun ke
masyarakat, ke kantor itu cukup 2-3 jam sehari. Sedangkan 5-6 jam di lapangan,
ketemu masyarakat keliling lihat ke bawah, ya di samping menghimpun masukan,
sekaligus memecahkan masalah. Mana yang kewenangannya diserahkan ke dinas, wali
kota, camat, dan lurah, saat di lapangan itu juga bisa diputuskan. Minggu
depannya dipantau untuk aplikasinya. Tipe gubernur seperti itu yang dibutuhkan.
Masalah Jakarta bukan saja tanggung jawab Pemprov DKI, tetapi juga
pemerintah pusat dan pemda sekitar. Banyak problem krusial (kemacetan, banjir,
urbanisasi, ketertiban umum) tidak terselesaikan karena kurangnya koordinasi.
Benarkah?
Betul, memang belum ada pembagian urusan dan kewenangan yang jelas
antara Pemprov DKI, pemerintah pusat dan pemerintah daerah khusus tentang Ibu
Kota. Ya, memang tidak cukup hanya UU atau peraturan pemerintah. Itu harus
dibuat aturan khusus. Tapi, sementara belum ada perundang-undangan yang menjadi
pedoman, untuk menyelesaikan itu, mestinya bisa meyakinkan pemerintah pusat.
Jadi, jangan hanya mengeluh, protes seperti sok pahlawan. Jangan juga seperti
kepala negara dalam negara. Jakarta ini kan bukan negara dalam negara.
Jadi Gubernur DKI harus kreatif dan punya kemampuan melobi,
sekaligus bisa mengusulkan perubahan perundang-undangan tentang kewenangan
gubernur dan pemerintah pusat. Itu bisa dibikin, tapi jangan hanya
melempar-lempar masalah, sambil menyembunyikan kelemahannya sendiri.
APBD DKI, sebagian besar untuk belanja aparatur (gaji, tunjangan,
honor) dan perlengkapan pegawai. Untuk belanja modal dan peningkatan pelayanan
masyarakat kecil sekali. Pendapat Anda?
Sebenarnya, persoalan mendasar Jakarta adalah pengelolaan
anggaran. Bagaimana menghimpun potensi pemasukan pendapatan dan
membelanjakannya dengan benar. Yang diperlukan bukan orang yang berani secara
militeristik, berani menghadapi preman, bukan itu karena masalah keamanan sudah
ada yang bertanggung jawab di lembaga lain. Yang diperlukan memang orang yang
berani, tetapi berani bersikap terhadap masalah anggaran.
Bagaimana mengejar pemasukan supaya masuknya benar. Bagaimana
menertibkan pemasukan dan merencanakan belanja yang benar? Inilah persoalan
dasar Jakarta. Kemudian, reformasi birokrasi, dengan itu semua, maka akan ada
hasil mengatasi banjir, macet, urbanisasi, kemiskinan, pengangguran dan
lain-lain. Kalau hanya mengulang-ulang masalah Jakarta, banjir, macet, kumuh
dan lain-lain, hanya menambah daftar mimpi saja. Mustahil selesai masalah Jakarta,
karena anggarannya digerogoti sana-sini oleh berbagai kepentingan yang tidak
bisa dikendalikan. Maka, diperlukan gubernur yang berani menata anggaran.
Akibat tidak bisa menata anggaran, pelayanan birokrasi masih
menjengkelkan. Aparatnya tetap arogan, mempersulit masyarakat.
Apakah sudah ada figur yang ideal dari calon muncul ke permukaan?
Kalau saya melihat, belum ada. Belum..., belum ada. Nggak tahu apa
secara potensial ada atau tidak di antara nama-bana yang muncul itu, mendekati
yang ideal.
Bagaimana melihat kinerja incumbent, Gubernur DKI Fauzi Bowo?
Secara umum penilaian saya terhadap kinerja Pemprov DKI, rendah
ya. Ukuran terakhir adalah tingginya sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa)
APBD Tahun 2011 yang mencapai lebih kurang Rp 4 triliun. Itu menunjukkan
rendah, tinggal belanja pun tidak bisa. Membelanjakan dengan benar, efisien,
produktif, bermanfaat bagi masyarakat saja, tidak bisa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar