Sabtu, 17 Maret 2012

Kini Saatnya Berhenti Berkiblat ke AS


Kini Saatnya Berhenti Berkiblat ke AS
Diani Citra, KANDIDAT PHD COLUMBIA UNIVERSITY JOURNALISM SCHOOL
SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012



Ada satu perbedaan mendasar antara kapitalisme di Amerika Serikat dan kapitalisme di berbagai belahan dunia lainnya. Kalau di negara lain hanyalah praktik kapitalisme, di Amerika Serikat kapitalisme adalah agama.

Cara paling mudah untuk melihat langsung praktik ”keagamaan” ini adalah dengan melihat sistem penyiaran di AS. Sistem penyiaran di AS sudah lama dinilai mengkhawatirkan oleh banyak pengamat. Keseragaman dan sensasionalisme isi siaran di hampir semua stasiun televisi AS sudah diramalkan sejak kelahiran televisi pertama, NBC. Newton Minow, mantan anggota Lembaga Pengawasan Penyiaran Amerika (FCC), pada 1961—hanya 10 tahun sejak kelahiran televisi di Amerika—menyebut televisi sebagai sebuah tempat sampah yang luas.

Sekitar tahun 1940-an, muncul gerakan yang dikenal sebagai ”Blue Book Debate” untuk mengurangi pengaruh pasar dan kembali mengarahkan pertelevisian AS kepada kepentingan publik. Gerakan ini mempertanyakan sistem kepemilikan dan kriteria isi siaran dalam kebijakan penyiaran AS.

Blue Book Debate dianggap sebagai titik penting dalam pembentukan kebijakan sistem penyiaran Amerika. Sayangnya, pengaruh industri terlalu kuat sehingga tuntutan-tuntutan yang menentang dominasi industri pertelevisian dan pasar bebas dimentahkan. Industri pun kembali mendominasi, bahkan lebih kuat daripada sebelumnya.

Efeknya tampak sangat jelas di wajah pertelevisian AS sekarang. Polarisasi politik antara Partai Republik dan Demokrat sudah tidak asing lagi bagi masyarakat AS.

Ironisnya, sistem dan industri penyiaran AS justru malah memperparah model politik ini. Televisi di AS pun ikut terpecah menjadi kubu Demokrat dan Republikan. Banyak tokoh partai membawakan acara diskusi, berita, atau analisis politik di stasiun televisi yang mendukung agenda mereka.

Para tokoh politik ini pun secara terang-terangan mempromosikan kepentingan politik mereka dalam acara-acara tersebut. Contohnya, stasiun televisi Fox sudah tidak dapat dipisahkan dari Partai Republik, seperti halnya MSNBC tampak bersaudara dengan Partai Demokrat.

Berangkat dari contoh kasus AS, masyarakat dan Pemerintah Indonesia perlu menyadari bahwa bukan hanya kebebasan berekspresi dan demokratisasi penyiaran yang dapat kita pelajari dari mereka. AS memang dikenal sebagai motor demokrasi di berbagai belahan dunia, tetapi hanya sedikit pihak yang mempertanyakan kebobrokan demokrasi di dapur AS sendiri akibat terlalu berkiblat kepada pasar.

Sangatlah mengkhawatirkan jika Indonesia, mengutip pernyataan Maruarar Siahaan (saksi ahli pemerintah), ingin berbicara mengenai penyiaran, Indonesia harus berbicara mengenai pasar. Kalau tak hati-hati, Indonesia dapat jatuh ke dalam lubang yang telah menelan AS dan menghancurkan demokrasi Indonesia yang telah susah payah dibangun selama 14 tahun.

Industri TV vs Ibu Budi

Pengkhianatan sistem pasar bebas terhadap publik AS dimulai pada 1886 ketika Mahkamah Agung AS memutuskan sebuah perusahaan memiliki hak asasi yang sama dengan warga negara perseorangan. Keputusan ini jadi preseden hukum bagi perusahaan, termasuk perusahaan media, untuk memberikan kontribusi politik kepada kandidat pemilihan umum dalam bentuk dan jumlah yang tak terbatas, mulai dari uang hingga isi siaran. Dari sinilah spiral kapitalisme AS mulai lepas kendali dan gaungnya sampai ke Indonesia.

Pergerakan Indonesia ke arah deregulasi semacam ini terlihat jelas. Dalam permohonan uji materi terhadap UU Penyiaran yang diajukan industri pertelevisian, pada Maret 2003, para pemohon menuntut agar stasiun penyiaran mendapatkan hak-hak asasi yang sama seperti seorang warga negara. Termasuk di antaranya kebebasan untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani, kebebasan untuk mendapatkan dan menyampaikan informasi, serta kebebasan untuk memajukan diri.

Dengan menggunakan logika hukum itu, media penyiaran yang merupakan perusahaan bermodal triliunan rupiah dan bertujuan utama memaksimalkan keuntungan menuntut negara agar memberi mereka kebebasan asasi yang sama yang tidak hanya dijamin UUD 1945, tetapi juga oleh PBB yang selama ini hanya diberikan kepada individu.

Mungkin Anda bertanya: lantas apa salahnya jika satu stasiun televisi punya hak yang sama dengan (sebut saja) ibu Budi, seorang ibu yang tinggal di Grogol, Jakarta? Salahnya di sini: hak asasi adalah hak internal yang diberikan kepada manusia sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat oleh apa pun. Media massa adalah perusahaan yang memiliki akses terhadap ratusan juta penduduk Indonesia dan kekuatan besar dalam pembentukan opini masyarakat.

Artinya, stasiun penyiaran dapat menyiarkan informasi apa pun sesuai pendapat para pemiliknya tanpa dapat diganggu gugat oleh pemerintah atau publik. Pada gilirannya, opini ini dapat digunakan oleh para pemiliknya untuk menjamin kepentingan bisnis dan politik mereka.

Stasiun penyiaran tidak dapat disamakan haknya untuk berpendapat dan menyebarkan informasi seperti halnya ibu Budi. Kalau ibu Budi berpendapat dan ingin menyebarkan pendapatnya, dia mungkin bisa bercerita kepada suami atau anaknya. Paling jauh ibu Budi bisa bercerita kepada ibu-ibu arisan di RT-nya. Jumlah khalayak ibu Budi sangat tak sebanding dengan khalayak Metro TV atau TV-One, misalnya, yang dapat langsung mencapai jutaaan penduduk Indonesia.

Bahkan, ketika berpendapat pun, ibu Budi harus berhati-hati agar jangan melanggar Pasal KUHP tentang penyebaran fitnah atau perbuatan tidak menyenangkan. Dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan tersebut, apakah berlebihan jika kita meminta industri penyiaran yang memiliki kemampuan menyebarkan informasi kepada ratusan juta orang untuk diatur jauh lebih ketat daripada akses berekspresi ibu Budi?

Uji Materi 2012

Untungnya, permohonan uji materi 2003 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, kalau kita tak waspada, uji materi yang diajukan pada Februari 2012 dapat dimanfaatkan oleh industri penyiaran untuk menghidupkan kembali tuntutan-tuntutan itu.

Permohonan ini dapat menjadi momentum yang bisa menyelamatkan sistem pertelevisian Indonesia dengan menegaskan bagian-bagian UU Penyiaran yang dianggap terlalu multitafsir. Namun, uji materi ini juga berpotensi menggagalkan semangat demokratisasi yang di usung oleh UU Penyiaran. Jangan sampai ayat-ayat hak asasi yang tercantum dalam UUD 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk memajukan dirinya atau memperoleh kesempatan yang sama dijadikan justifikasi pemusatan kepemilikan stasiun penyiaran atau penyeragaman isi siaran.

Kalau kita terus berbicara mengenai pasar ketika membicarakan sistem penyiaran, kita harus bersiap-siap menjadi AS. Sebuah negara yang terlihat digdaya, tetapi tidak dapat membedakan antara manusia dan perusahaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar