Kini
Saatnya Berhenti Berkiblat ke AS
Diani
Citra,
KANDIDAT PHD COLUMBIA UNIVERSITY
JOURNALISM SCHOOL
SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012
Ada satu perbedaan mendasar antara
kapitalisme di Amerika Serikat dan kapitalisme di berbagai belahan dunia
lainnya. Kalau di negara lain hanyalah praktik kapitalisme, di Amerika Serikat
kapitalisme adalah agama.
Cara paling mudah untuk melihat langsung
praktik ”keagamaan” ini adalah dengan melihat sistem penyiaran di AS. Sistem
penyiaran di AS sudah lama dinilai mengkhawatirkan oleh banyak pengamat.
Keseragaman dan sensasionalisme isi siaran di hampir semua stasiun televisi AS
sudah diramalkan sejak kelahiran televisi pertama, NBC. Newton Minow, mantan
anggota Lembaga Pengawasan Penyiaran Amerika (FCC), pada 1961—hanya 10 tahun
sejak kelahiran televisi di Amerika—menyebut televisi sebagai sebuah tempat
sampah yang luas.
Sekitar tahun 1940-an, muncul gerakan yang
dikenal sebagai ”Blue Book Debate”
untuk mengurangi pengaruh pasar dan kembali mengarahkan pertelevisian AS kepada
kepentingan publik. Gerakan ini mempertanyakan sistem kepemilikan dan kriteria
isi siaran dalam kebijakan penyiaran AS.
Blue Book Debate dianggap sebagai titik
penting dalam pembentukan kebijakan sistem penyiaran Amerika. Sayangnya,
pengaruh industri terlalu kuat sehingga tuntutan-tuntutan yang menentang
dominasi industri pertelevisian dan pasar bebas dimentahkan. Industri pun
kembali mendominasi, bahkan lebih kuat daripada sebelumnya.
Efeknya tampak sangat jelas di wajah
pertelevisian AS sekarang. Polarisasi politik antara Partai Republik dan Demokrat
sudah tidak asing lagi bagi masyarakat AS.
Ironisnya, sistem dan industri penyiaran AS
justru malah memperparah model politik ini. Televisi di AS pun ikut terpecah
menjadi kubu Demokrat dan Republikan. Banyak tokoh partai membawakan acara
diskusi, berita, atau analisis politik di stasiun televisi yang mendukung
agenda mereka.
Para tokoh politik ini pun secara
terang-terangan mempromosikan kepentingan politik mereka dalam acara-acara
tersebut. Contohnya, stasiun televisi Fox sudah tidak dapat dipisahkan dari
Partai Republik, seperti halnya MSNBC tampak bersaudara dengan Partai Demokrat.
Berangkat dari contoh kasus AS, masyarakat
dan Pemerintah Indonesia perlu menyadari bahwa bukan hanya kebebasan
berekspresi dan demokratisasi penyiaran yang dapat kita pelajari dari mereka.
AS memang dikenal sebagai motor demokrasi di berbagai belahan dunia, tetapi
hanya sedikit pihak yang mempertanyakan kebobrokan demokrasi di dapur AS
sendiri akibat terlalu berkiblat kepada pasar.
Sangatlah mengkhawatirkan jika Indonesia,
mengutip pernyataan Maruarar Siahaan (saksi ahli pemerintah), ingin berbicara
mengenai penyiaran, Indonesia harus berbicara mengenai pasar. Kalau tak
hati-hati, Indonesia dapat jatuh ke dalam lubang yang telah menelan AS dan
menghancurkan demokrasi Indonesia yang telah susah payah dibangun selama 14
tahun.
Industri
TV vs Ibu Budi
Pengkhianatan sistem pasar bebas terhadap
publik AS dimulai pada 1886 ketika Mahkamah Agung AS memutuskan sebuah
perusahaan memiliki hak asasi yang sama dengan warga negara perseorangan.
Keputusan ini jadi preseden hukum bagi perusahaan, termasuk perusahaan media,
untuk memberikan kontribusi politik kepada kandidat pemilihan umum dalam bentuk
dan jumlah yang tak terbatas, mulai dari uang hingga isi siaran. Dari sinilah
spiral kapitalisme AS mulai lepas kendali dan gaungnya sampai ke Indonesia.
Pergerakan Indonesia ke arah deregulasi
semacam ini terlihat jelas. Dalam permohonan uji materi terhadap UU Penyiaran
yang diajukan industri pertelevisian, pada Maret 2003, para pemohon menuntut
agar stasiun penyiaran mendapatkan hak-hak asasi yang sama seperti seorang
warga negara. Termasuk di antaranya kebebasan untuk menyatakan pikiran dan
sikap sesuai hati nurani, kebebasan untuk mendapatkan dan menyampaikan
informasi, serta kebebasan untuk memajukan diri.
Dengan menggunakan logika hukum itu, media
penyiaran yang merupakan perusahaan bermodal triliunan rupiah dan bertujuan
utama memaksimalkan keuntungan menuntut negara agar memberi mereka kebebasan
asasi yang sama yang tidak hanya dijamin UUD 1945, tetapi juga oleh PBB yang
selama ini hanya diberikan kepada individu.
Mungkin Anda bertanya: lantas apa salahnya
jika satu stasiun televisi punya hak yang sama dengan (sebut saja) ibu Budi,
seorang ibu yang tinggal di Grogol, Jakarta? Salahnya di sini: hak asasi adalah
hak internal yang diberikan kepada manusia sejak lahir dan tidak dapat diganggu
gugat oleh apa pun. Media massa adalah perusahaan yang memiliki akses terhadap
ratusan juta penduduk Indonesia dan kekuatan besar dalam pembentukan opini
masyarakat.
Artinya, stasiun penyiaran dapat menyiarkan
informasi apa pun sesuai pendapat para pemiliknya tanpa dapat diganggu gugat
oleh pemerintah atau publik. Pada gilirannya, opini ini dapat digunakan oleh
para pemiliknya untuk menjamin kepentingan bisnis dan politik mereka.
Stasiun penyiaran tidak dapat disamakan
haknya untuk berpendapat dan menyebarkan informasi seperti halnya ibu Budi.
Kalau ibu Budi berpendapat dan ingin menyebarkan pendapatnya, dia mungkin bisa
bercerita kepada suami atau anaknya. Paling jauh ibu Budi bisa bercerita kepada
ibu-ibu arisan di RT-nya. Jumlah khalayak ibu Budi sangat tak sebanding dengan
khalayak Metro TV atau TV-One, misalnya, yang dapat langsung mencapai jutaaan
penduduk Indonesia.
Bahkan, ketika berpendapat pun, ibu Budi
harus berhati-hati agar jangan melanggar Pasal KUHP tentang penyebaran fitnah
atau perbuatan tidak menyenangkan. Dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan
tersebut, apakah berlebihan jika kita meminta industri penyiaran yang memiliki kemampuan
menyebarkan informasi kepada ratusan juta orang untuk diatur jauh lebih ketat
daripada akses berekspresi ibu Budi?
Uji
Materi 2012
Untungnya, permohonan uji materi 2003 ditolak
oleh Mahkamah Konstitusi. Namun, kalau kita tak waspada, uji materi yang
diajukan pada Februari 2012 dapat dimanfaatkan oleh industri penyiaran untuk
menghidupkan kembali tuntutan-tuntutan itu.
Permohonan ini dapat menjadi momentum yang
bisa menyelamatkan sistem pertelevisian Indonesia dengan menegaskan
bagian-bagian UU Penyiaran yang dianggap terlalu multitafsir. Namun, uji materi
ini juga berpotensi menggagalkan semangat demokratisasi yang di usung oleh UU
Penyiaran. Jangan sampai ayat-ayat hak asasi yang tercantum dalam UUD 1945 yang
menjamin hak setiap orang untuk memajukan dirinya atau memperoleh kesempatan
yang sama dijadikan justifikasi pemusatan kepemilikan stasiun penyiaran atau
penyeragaman isi siaran.
Kalau kita terus berbicara mengenai pasar
ketika membicarakan sistem penyiaran, kita harus bersiap-siap menjadi AS. Sebuah
negara yang terlihat digdaya, tetapi tidak dapat membedakan antara manusia dan
perusahaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar