Kebudayaan
Indonesia Gagal
Radhar
Panca Dahana, BUDAYAWAN
SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012
Kalau tidak satu-satunya, setidaknya salah
satu hal vital dalam hidup berbangsa dan bernegara di republik ini yang
senantiasa gagal ditemukan atau disepakati adalah soal ”kebudayaan Indonesia”.
Apa dan bagaimana ”kebudayaan Indonesia” itu?
Rumusan konstitusional yang diilhami oleh Ki Hajar Dewantara tentang, misalnya,
”puncak-puncak kebudayaan”, sudah sejak masa kemerdekaan menuai kritik atau
keberatan dari berbagai kalangan, terutama para pemikir dan pekerja kebudayaan.
Hingga detik ini.
Secara teoretis (per definisi) juga praktis,
sesungguhnya kita tidak—dan belum pernah—memiliki ”kebudayaan Indonesia”, sebuah
tatanan nilai dan simbolik yang secara universal mampu merangkum ratusan budaya
lokal yang sudah berusia ratusan dan ribuan tahun. Tampaknya inilah salah satu
di antara beberapa sebab substansial yang menciptakan kerancuan, kegamangan di
semua kalangan pada hampir seluruh lapisan masyarakat pemilik negeri ini.
Kebudayaan kita masih berlangsung dengan
dasar-dasar etis dan normatif yang berdiam, bertahan, berkembang, dan
diwariskan oleh adat dan tradisi. Sebuah kondisi yang sebenarnya tak jadi
persoalan karena ia sudah berlangsung ratusan kali lebih lama dari usia
republik ini. Namun, ia jadi persoalan besar ketika modernisme, beserta cara
berpikir dan kecenderungan mentalnya, menuntut adanya ”universum” di atas yang
tak dapat disediakan, baik oleh para pemimpin maupun pemikir negeri ini, juga
oleh para pemeluk teguh adat di berbagai etnik.
Akhirnya, kita kemudian—dengan kesadaran
modern itu—berpaling kepada deretan buku di perpustakaan (entah yang tersedia
di Oxford, Leiden, Paris, New York, bahkan Tokyo, Beijing, Baghdad, atau Kairo)
untuk menemukan dasar-dasar nilai dan etika yang mungkin cocok—tepatnya
dicocok-cocokkan—dengan realitas sosial, politik, hukum, akademik, agama,
hingga akhirnya kultural kita.
Terjadilah kemudian fenomena berlapis-lapis,
tumpang tindih, bahkan konflik antara nilai-nilai baru (yang modern dan global
itu) dan apa yang di lokal telah eksis begitu lamanya. Wajar jika kemudian
muncul banyak standar ganda dalam cara kita beretika, berperilaku, bahkan
berpikir, beragama, berbudaya di semua lapisan dan tingkatan masyarakat kita.
Kita menyaksikan, misalnya, bagaimana seseorang melakukan kesalahan—bahkan
terkategori ”dosa”—tanpa sikap, raut wajah, atau jiwa yang merasa bersalah.
Betapa kita lihat di televisi, para pelaku korupsi hebat memiliki wajah yang
polos, naif, dan bersih.
Transplantasi
Budaya
Para pelaku kejahatan kemanusiaan saat ini
tampaknya memandang tindakannya ”tidak salah” karena menganggap hal itu sudah
umum dilakukan. Sebuah keumuman segera berubah menjadi ”lumrah”, dan kelumrahan
akan berakhir menjadi norma (yang tidak keliru atau dapat dibenarkan). Alasan
lain, apa yang dilanggar adalah norma baru (modern) yang mereka dapat dengan
cara transplantasi, cangkokan, tidak melalui internalisasi atau akulturasi
sebagaimana adat dalam diri mereka.
Satu hal yang perlu diingat, semua yang
merupakan tempelan atau cangkokan akan menjadi artifisial di negeri ini sebelum
ia meruang dalam waktu yang berjangka panjang. Dan semua yang artifisial akan
dengan mudah diganti, diperbarui, atau dibuang karena sifatnya yang temporer.
Tindakan itu diterima karena tidak melukai adab yang terbangun dalam diri
seseorang.
Dengan penjelasan yang sangat disederhanakan,
kita pun dapat mafhum bahwa tidak ada gunanya kita senantiasa ribut tentang
sistem yang tepat atau panutan yang tak kunjung lahir jika fondasi kultural
yang melahirkan itu tak kunjung kita temukan atau sepakati bersama. Adalah
mimpi kosong kita membayangkan sistem sehebat apa pun, yang kita comot dari
laci perpustakaan atau rayuan sebagian orientalis, dapat kita terapkan (baca:
cangkokan) begitu saja dalam peri hidup kita berbangsa dan bernegara saat ini.
Adalah juga harapan hampa jika kita
mengharapkan mendapat acuan atau panutan dari tokoh-tokoh elite atau para
pemimpin masa kini, yang sudah terlampau tenggelam dalam ”rayuan” dan buku-buku
teks, sehingga mereka—sadar dan tak sadar—meninggalkan atau menafikan adab dan
kultur yang secara primordial mengendap di daging dan batin mereka. Kita akan
terus dalam kondisi itu hingga kita menyadari di dasar semua harapan itu ada
hal lain yang lebih desisif: kebudayaan. Kebudayaan Indonesia!
Enam
Identifikasi
Bagaimana sebenarnya ”kebudayaan Indonesia”
yang selalu gagal kita pahami, rumuskan, dan sepakati itu? Saya memiliki
proposal yang saya ringkas di sini.
Pertama, ”kebudayaan Indonesia” mesti berani
kita tempatkan bukan sebagai rumusan yang beku bahkan mati, sebagaimana
postulasi atau teori. Karena itu, lupakan sejenak metodologi saintifik atau
cara berpikir yang logosentris karena ia akan gagal di langkah pertama dalam
memahami hal ini.
Kedua, ”kebudayaan Indonesia” sebenarnya
adalah sebuah proses yang tak pernah berhenti dari laku pembudayaan alias
”pemberadaban”, sebagaimana terjadi di semua kultur etnik di kepulauan ini
sejak ribuan tahun lalu. Ketika proses ini dibakukan, dalam teori atau
definisi, sesungguhnya ia tidak hanya dibakukan, tetapi juga dibekukan.
Ketiga, ”kebudayaan Indonesia”—sebagai
konsekuensi hal di atas—diproduksi, dikembangkan, dan ditransmisi (diwariskan)
tidak melalui artefak-artefak material, yang antara lain dibutuhkan para
peneliti, tetapi melalui mekanisme yang bersifat sangat praksis, langsung,
sehari-hari; melalui ”laku” untuk menjadi ”lakon”. Di sini produk-produk
kebudayaan kita dihasilkan lebih secara lisan ketimbang tulisan (sebuah tradisi
yang diajarkan oleh bangsa Arya-India di awal Masehi).
Betapapun budaya tulisan meningkat, karena
kebutuhan ilmu dan modernisasi, praktik lisan masih sangat kuat berlangsung di
hampir seluruh bagian negeri ini. Hal ini membuat sebuah produk kultural
Indonesia sejak mula lebih bersifat komunal/kolektif ketimbang
personal/individual sebagaimana tradisi di Eropa (Barat). Hal ini membawa kita
pada identifikasi keempat di mana sebuah produk kebudayaan di negeri ini akan
memiliki makna dan fungsi ultimnya ketika ia berhasil disignifikansi atau
difungsikan oleh semakin banyak orang/kalangan. Sebuah budaya haruslah bersifat
sosial.
Mengapa? Karena, kelima, dalam kebudayaan
atau adat-adat lokal kita, manusia (individu) tidak dapat dikonstitusi tanpa
keterkaitannya dengan publik di sekelilingnya. Manusia bereksistensi karena
adanya eksistensi lainnya. Maka, inilah identifikasi terakhir sementara ini,
satu person akan mendapat pengakuan, posisi, hingga harkat dan martabatnya
ketika ia menjadi aktor (produsen) kebudayaan yang utama dalam proses dan
impaknya. Di sinilah seorang panutan juga pemimpin bisa lahir. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar