Malapetaka
yang Terkuak
Hifdzil
Alim,
PENELITI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI
FH-UGM
SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Muhaimin Iskandar kembali menyangkal terlibat dugaan tindak pidana korupsi.
Muhaimin mengatakan, program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah
transmigrasi sama sekali tidak dirapatkan. Bahkan, tidak dilaporkan kepadanya
(Kompas, 7 Maret 2012).
Pernyataan Muhaimin disampaikan terkait
dengan kesaksian Dadong Irbarelawan, Kepala Bagian Perencanaan Evaluasi Program
dan Pelaporan Ditjen P2KT Kemenakertrans, dalam persidangan kasus suap
pencairan dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID). Dadong
menyatakan, uang suap Rp 1,5 miliar dari Dharnawati sudah dikoordinasikan
dengan Muhaimin.
Di lain waktu, dalam persidangan kasus yang
sama, Sekretaris Jenderal Kemenakertrans Muchtar Lutfie membeberkan, anggaran
PPID diusulkan oleh Kemenakertrans. Surat B97, yang disusul surat B73 pada 5
April 2011, adalah dokumen resmi yang dipakai untuk mengajukan pengucuran dana
PPID.
Logika
Kementerian
Ketentuan mengenai kementerian negara diatur
dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008. Adapun pembentukannya ataupun tugas
menteri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009. Dalam Perpres
Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara disebutkan, salah satu fungsi
kementerian adalah menyelenggarakan pengawasan atas pelaksanaan tugas di
bidangnya (Pasal 26 Ayat 1 huruf c dan Ayat 2 huruf c).
Garis aturan tersebut tentu tidak dibentuk
sembarangan. Ada norma yang dimaktubkan. Setiap kebijakan yang jadi cerminan
tugas kementerian harus diawasi. Fungsi pengawasan itu terang: jangan sampai
ada kesewenang-wenangan dan korupsi dalam membentuk kebijakan sehingga
membuatnya keluar dari jalur pencapaian tujuan negara.
Berdasarkan norma Perpres No 47/2009, agak
susah menerima keterangan Muhaimin yang menyatakan tidak tahu ada kebijakan
PPID di Kemenakertrans, termasuk keberadaan surat pengajuan pencairan dana
PPID. Segala kebijakan kementerian, apalagi bernilai strategis, seharusnya
lewat meja menteri. Ini juga konsekuensi dari ketentuan ”Menteri mempunyai
tugas memimpin kementerian sesuai dengan tugas bidang kementerian” (Pasal 28).
Logika kementerian yang top-down dalam pembentukan kebijakan menolak keterangan
Muhaimin tersebut.
Pernyataan Muhaimin yang mengaku tak tahu ada
kebijakan PPID ataupun surat pengucuran dana PPID sebenarnya menunjukkan kepada
kita secara gamblang adanya benih kehancuran. Ada malapetaka yang terkuak.
Implikasi menteri sebagai pemimpin
kementerian adalah setiap jenjang jajaran yang ada di bawahnya harus
bertanggung jawab kepadanya. Sebagaimana diatur dalam Perpres No 47/2009,
pejabat di bawah menteri—mulai dari sekretaris jenderal (Pasal 29 Ayat 1),
direktur jenderal (Pasal 33 Ayat 1), inspektorat jenderal (Pasal 37 Ayat 1),
hingga kepala badan (Pasal 41 Ayat 1) dan kepala pusat (Pasal 41 Ayat 3)—harus
bertanggung jawab kepada menteri. Intinya, segala kebijakan yang diterbitkan
oleh anak buah menteri harus atau pasti diketahui oleh menteri.
Logika hukum kepemimpinan seorang menteri di
kementerian mencantumkan, sebagai pimpinan puncak, menteri harus membaca dan
mengetahui segala kebijakan kementerian. Kalau kemudian ada menteri yang
menyatakan tidak tahu kebijakan di kementeriannya, ini bermakna ia tak tanggap
dalam melaksanakan kinerjanya. Jadi, apa yang dilakukan menteri itu selama ini?
Selanjutnya, menteri jika tak tahu karena tak
tanggap kinerja, bukankah menteri, hanya makan gaji buta? Bukankah berarti uang
negara dihambur-hamburkan guna membayar sebuah kesia-sian? Jika iya, hal ini
adalah malapetaka.
Absurd
Keterangan Muhaimin yang berbeda dengan anak
buahnya secara tidak disadari akan menjadikan absurd kasus korupsi suap di
Kemenakertrans. Bagaimana mungkin sebuah program kementerian yang anggarannya
mencapai Rp 500 miliar tidak dirapatkan. Lebih parah lagi, anggaran program
yang tak dirapatkan itu akan dicairkan. Sungguh tak masuk akal.
Namun, begitulah korupsi. Ia tak
masuk akal. Korupsi mencibir akal sehat. Korupsi hanya masuk akal di kalangan
para koruptor.
Jangan-jangan, keabsurdan kebijakan di
Kemenakertrans juga terjadi di 33 kementerian dalam Kabinet Indonesia Bersatu
II. Jika demikian, bukankah hal ini menunjukkan bahwa negara diurus dengan
keabsurdan, negara dijalankan dengan ke-”tidak masuk akal”-an? Jika iya, ini
benar-benar malapetaka.
Pencairan anggaran program pemerintah
melibatkan, setidaknya, dua lembaga: Kementerian Keuangan dan lembaga
pemerintah pemilik program. Apabila pernyataan Muhaimin benar, bahwa program
PPID tak pernah dirapatkan sebelumnya, sehingga walau bukan menjadi program
Kemenakertrans, anggaran program tersebut tetap turun, kemungkinan besar ada
aktor lain. Dengan demikian, pernyataan Muhaimin memberikan sinyal bahwa suap
untuk memuluskan rencana pembangunan infrastruktur transmigrasi di 19
kabupaten/kota itu dilakukan secara sistemik dan berjemaah.
Namun, tak berarti menteri aman dari tanggung
jawab hukum terhadap korupsi yang dilakukan anak buahnya. Tanggung jawab
mahaberat ada di pundak KPK untuk membuktikan keterlibatan sang menteri. Jika
cara konfrontasi keterangan antara menteri dan anak buahnya tak menemukan titik
kait, cara lain bisa diambil. Misalnya, mencari bukti adanya peralihan wewenang
secara mandatori dari menteri ke anak buahnya berkenaan dengan program
kementerian. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar