Kamis, 22 Maret 2012

Air untuk Pangan

Air untuk Pangan
Imam Mustofa, FUNGSIONARIS DEWAN PIMPINAN NASIONAL HKTI,
ANGGOTA DEWAN SUMBER DAYA AIR NASIONAL
SUMBER : REPUBLIKA, 22 Maret 2012



Bumi ini kehausan karena kebutuhan manusia akan pangan. Itulah salah satu slogan yang dalam brosur resmi yang disiapkan oleh panitia peringatan Hari Air Sedunia 2012. Hari Air Sedunia secara internasional diperingati setiap 22 Maret sejak 1993. Di bawah koordinasi Organisasi Pangan Dunia PBB (FAO), tema tahun ini adalah “ketahanan air dan pangan“. Sebuah upaya menggugah kesadaran semesta tentang keterkaitan antara air dan tantangan penyediaan pangan bagi warga bumi yang terus bertambah.

Bumi sesungguhnya berlimpah air. Bahkan, 70 persen permukaan bumi tertutup air yang menurut perkiraan ahli jumlahnya 1,4 miliar kilometer kubik. Bila dituang merata di seluruh permukaan bumi akan terjadi genangan sedalam tiga kilometer. Sayangnya, 97 persennya adalah samudra yang asin. Delapan puluh tujuh persen dari sisanya yang tiga persen tersimpan sebagai gumpalan es di kutub dan di dalam bumi sebagai air tanah.

Praktis hanya sekitar 0,003 persen air yang dapat dimanfaatkan. Meski demikian, jumlah tersebut sesungguhnya sepadan dengan ketersediaan 7.000 meter kubik (7 juta liter) untuk setiap orang (Bunasor Sanim, 2011). Persoalannya adalah pada kualitas air dan keberadaannya yang tidak selalu di tempat yang tepat.

Water Footprint

Pertanian adalah sektor yang membutuhkan porsi terbesar atas sumber daya air. Pada tingkat global, 70 persen air digunakan oleh sektor ini. Di negara-negara berkembang, umumnya tingkat efisiensi masih rendah, dengan 82 persen penggunaan air untuk pertanian. Produksi pangan baik itu biji-bijian, hewan ternak, telor, susu, ikan air tawar, sayur-mayur, buah-buahan, hingga rempah-rempah semuanya membutuhkan air.

Melalui konsumsi berbagai jenis pangan itulah sebenarnya manusia meninggalkan jejak air (water footprint) dalam jumlah yang sangat besar. Water footprint adalah metode untuk menghitung penggunaan air, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan sehari-hari melalui konsumsi barang dan jasa yang untuk memproduksinya membutuhkan air.

Semakin besar tantangan ketahanan pangan, semakin besar pula tantangan bagi ketahanan air. Ini berarti, tantangan lebih serius bagi kearifan pengelolaan sumber daya air untuk memastikan terwujudnya hak atas air secara adil dan ber kucupan, baik kuantitas maupun kualitasnya untuk memenuhi setiap kebutuhan secara berkelanjutan.

Paralel dengan tantangan gobal tentang kebutuhan pangan, Indonesia juga menghadapi persoalan yang sama. De ngan jumlah penduduk mendekati 250 juta, kita membutuhkan kemampuan produksi pangan yang sangat besar. Sayangnya, untuk bahan pangan pokok (beras) saja bahkan belum mampu mandiri.

Di tengah berbagai upaya dan target-target pembangunan pertanian menuju swasembada dan surplus, produksi bahan pangan utama, yakni beras, jagung, dan kedelai pada 2011 justru tu run 1,63 persen; 5,99 persen; dan 4,08 persen dibandingkan dengan 2010. Impor pangan juga meningkat tajam. Periode 2010-2011 impor beras 2,2 juta ton. Bahkan, hingga Oktober 2011, impor beras sudah 1,4 juta ton sedangkan impor gandum, jagung, dan kedelai 6,7 juta ton; 1,5 juta ton; dan 4,7 juta ton (USDA, 12/10/2011).

Sebagai negara dengan potensi lahan yang sangat luas dan sejarah agraris yang panjang, Indonesia sesungguhnya berpeluang menjadi bagian dari solusi bagi kebutuhan pangan dunia, lebih da ri sekadar swadaya. Namun, ini pun tidak terlepas dari perkara pengelolaaan sumber daya air dalam mendukung ke giatan pertanian (irigasi). Irigasi merupakan sumber daya pertanian yang sa ngat strategis. Sayangnya, menurunnya kualitas irigasi akibat degradasi jaringan infrastrukturnya tampak terabaikan selama kurun 30 tahun terakhir.

Revitalisasi irigasi

Ketersediaan pasokan air yang cukup memungkinkan optimalnya produktivitas dan meningkatnya indeks pertanaman (IP) yang berarti berlipatnya multiplikasi produktivitas. IP adalah derajat keseringan atau kemungkinan penanaman suatu lahan dalam setahun.
Lahan dengan pasokan air yang tertata baik sepanjang tahun dapat ditanami padi hingga tiga kali. Lahan yang lebih jauh dari jangkauan irigasi mungkin hanya dapat ditanami dua kali. Tentu saja, lahan tadah hujan hanya dapat ditanami sekali.

Irigasi secara nyata meningkatkan indeks pertanaman. Lahan di Jawa dengan jaringan irigasi yang baik rata-rata dapat ditanami dua kali dalam setahun. Sedangkan, di luar Jawa hanya dapat di tanami satu hingga 1,3 kali sehingga IP rata-rata secara nasional adalah 1,57.

Menurut Direktorat Jenderal Sumberdaya Air Kementerian PU, jaringan irigasi nasional saat ini mencakup sekitar 75 persen atau 7,23 juta hektare lahan sawah. Seluas 4,41 juta hektare areal irigasi kondisinya baik sedangkan sisanya seluas 2,82 juta hektare masuk kategori rusak.

Kalkulasi sederhana menunjukkan, betapa perbaikan infrastruktur irigasi dapat memberikan kontribusi besar pada peningkatan produksi pangan. Andai kondisi 2,82 juta hektare areal irigasi yang rusak diperbaiki sehingga IP meningkat 1,0 dari sekali menjadi dua kali setahun, secara ajaib dapat diperoleh peningkatan produksi pangan sebanyak 2,82 juta hektare kali 4,7 ton alias 13,3 juta ton GKG setiap tahun. Jika dirupiahkan dengan standar HPP terbaru Rp 6.600/kg sama dengan sekitar Rp 50 tri liun.

Jika untuk revitalisasi areal irigasi dibutuhkan biaya rata-rata Rp 1 juta per hektar maka untuk 2,82 juta hektare hanya dibutuhkan biaya Rp 2,82 triliun. Bandingkan dengan Rp 25 triliun usulan Pemerintah untuk bantuan langsung tunai kompensasi kenaikan harga BBM April nanti.

Negara tidak perlu ragu membangun dan mengembangkan areal irigasi. Jika langkah ini diikuti pula dengan keterpa duan pengelolaan sumber daya air yang konsisten antarsektor, antarlevel peme rintahan, dan para pemangku kepentingan lainnya, ketahanan air akan menjadi keberlanjutan dari berkah Ilahiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar