Rabu, 07 Maret 2012

Kendala Pailitkan Koruptor


Kendala Pailitkan Koruptor
Yulianto, ADVOKAT DAN KURATOR,
SEDANG MENEMPUH PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM DI UNIVERSITAS AIRLANGGA
SUMBER : JAWA POS, 7 Maret 2012


SANGAT menarik solusi yang diberikan oleh Dr M. Hadi Shubhan SH MH CN dari Unair dalam tulisan artikelnya di Jawa Pos kemarin. Dia menunjukkan pintu bagi tekad Presiden SBY memiskinkan koruptor, yaitu Lakukan lewat Kepailitan. Tinjauannya dari prespektif hukum kepailitan di Indonesia, yaitu UU No 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan). Apabila seseorang -termasuk koruptor- dinyatakan pailit, seluruh kekayaan debitor pailit tersebut merupakan harta pailit dan diletakkan sita umum, yang kemudian akan dilakukan pemberesan oleh seorang kurator (pasal 1 jo 21 UU Kepailitan).

Praktis, dengan proses kepailitan tersebut, seorang koruptor akan menjadi miskin. Sebab, tidak akan ada sisa kekayaan yang dapat dia nikmati kecuali hanya berupa benda yang benar-benar dibutuhkan, alat-alat medis yang digunakan untuk kesehatannya, tempat tidur dan perlengkapannya, serta bahan makanan hanya untuk 30 hari (pasal 22 UU Kepailitan). Bahkan, terhadap harta yang telah dialihkan kepada keluarganya atau pihak ketiga oleh koruptor yang dinyatakan pailit masih dapat dimintakan pembatalannya. Atau apa yang dikenal dengan actio pauliana yang diatur dalam pasal 41 sampai 50 UU Kepailitan.

Konsepsi Kepailitan

Dalam pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan, yang dimaksud kepalitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Istilah ini merupakan serapan dari faillissement dalam bahasa Belanda. Di dalam sistem Common Law dikenal dengan istilah bankruptcy.

Lembaga kepailitan menjadi penegak dua pasal penting KUH Perdata. Pasal 1131 menyatakan: segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Pasal 1132 mengatur: Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Secara filosofi, UU Kepailitan kita lebih tertuju kepada si pailit, yakni pembagian boedel atau harta pailit debitor yang berhenti membayar. Hakikat tujuan kepailitan adalah proses yang berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari debitor terhadap para kreditornya. Kepailitan adalah jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang nanti merupakan boedel pailit secara pasti dan adil.

Dua Kendala Kejaksaan

Akan tetapi, bila kita mengkaji konsepsi kepailitan lebih dalam lagi, syarat-syarat seseorang -termasuk seorang koruptor- dapat dinyatakan pailit oleh permohonan kejaksaan tidaklah mudah. Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan menyebutkan: Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan kepentingan umum, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit. Jadi, sesuai dengan ketentuan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan tersebut, pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit kepada seorang koruptor, selain demi kepentingan umtum, juga harus memenuhi 2 (dua) syarat lainnya.

Pertama, syarat koruptor tersebut harus mempunyai dua atau lebih kreditor. Ini sesuai dengan syarat seorang debitor yang dapat diajukan pailit seperti yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yang menyebutkan: "Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih". Syarat dua atau lebih kreditor rasanya sangat menyulitkan pihak kejaksaan untuk mencari setidaknya 2 (dua) kreditor dari koruptor tersebut. Sebab, seorang koruptor (apalagi seorang koruptor kelas kakap) pada umumnya tidak mungkin mempunyai kreditor lain atau mempunyai utang kepada pihak lain.

Kedua, adanya syarat bahwa seorang koruptor yang akan dipailitkan oleh kejaksaaan haruslah koruptor yang tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Syarat ini juga sepertinya sangat sulit, Sebab, seorang koruptor yang biasanya "berlimpahan uang" hasil korupsinya tidak mungkin mempunyai utang yang macet. Kalaupun mempunyai utang, pastilah dengan uang hasil korupsinya tersebut dia segera melunasinya terlebih dahulu.

Adapun yang dimaksud dengan utang berdasar pasal 1 angka 6 UU Kepailitan adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

Dengan dua syarat tersebut, yaitu harus ada dua kreditor atau lebih dan ada utang yang sudah jatuh tempo dan belum dibayar, rasanya sangat sulit bagi pihak kejaksaan untuk mengajukan pailit koruptor. Kecuali persyaratan mengenai pailit dalam UU Kepailitan diubah, khususnya mengenai persyaratan permohonan pailit oleh kejaksaan untuk kasus korupsi. Mungkinkah itu diubah, Pak SBY? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar