Dilema
Pembuktian Terbalik Pencucian Uang
Romli Atmasasmita, GURU BESAR EMERITUS, ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEM
SUMBER : SINDO, 7 Maret
2012
Antara
kemauan dan kenyataan bak jauh panggang dari api. Pepatah itu layak ditujukan
kepada upaya pemerintah dan Komisi III DPR RI yang telah memasukkan ketentuan
pembuktian terbalik dalam Undang-Undang (UU) RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah memasuki usia sembilan
tahun. Sejak pembentukannya efektivitas UU tersebut masih mandul karena dari
laporan ratusan ribu transaksi keuangan mencurigakan (TKM), sampai saat ini
tidak lebih dari tiga puluh perkara yang telah diputus pengadilan.
Sungguh sangat memprihatinkan jika kemauan politik pemerintah dengan UU tersebut tidak ditindaklanjuti sungguh-sungguh oleh aparatur penegak hukum. Pada draf awal RUU Pencucian Uang, penulis telah memasukkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,tetapi wakil pemerintah ketika itu menolak dan sepakat dengan DPR RI untuk hanya membentuk PPATK.
Sesal kemudian tidak ada gunanya. Demikian pepatah yang pas terhadap sikap pemerintah dan anggota parlemen tersebut. Mandulnya efektivitas undang-undang tersebut antara lain disebabkan ketiadaan komisi yang diharapkan dapat efektif mencegah dan memberantas pencucian uang. Selain itu, terdapat pula kekeliruan dalam merumuskan ketentuan pembuktian terbalik tercantum dalam Pasal 77 dan 78 UU RI Nomor 8 Tahun 2010.
Pasal 77 UU tersebut menentukan bahwa hakim memerintahkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Rumusan ketentuan tersebut menyiratkan beberapa hal. Pertama, pembuktian terbalik tentang harta kekayaan terdakwa masih dihubungkan dengan tindak pidana asal (predicate offense) atau fokus pada perbuatan terdakwa (daadstraafrecht).
Kedua, rumusan ketentuan pembuktian terbalik dalam pasal tersebut dalam praktik tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dulu tindak pidana asal dimuat dalam tuntutan pidana penuntut umum. Ketiga, keberhasilan pembuktian terbalik dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sangat bergantung pada pembuktian tindak pidana asalnya sekalipun ketentuan Pasal 68 UU Nomor 8 Tahun 2010 menegaskan bahwa untuk pembuktian tindak pidana pencucian uang tidak harus dibuktikan terlebih dulu tindak pidana asalnya.
Merujuk pada ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU Nomor 8 Tahun 2010 dalam praktiknya hakim tidak dapat memerintahkan pembuktian terbalik terhadap terdakwa jika tidak terkait dengan dugaan terdakwa telah melakukan tindak pidana asalnya. Rumusan ketentuan pembuktian terbalik dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sangat jauh berbeda dengan bunyi ketentuan Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang fokus pada perampasan aset terdakwa saja tidak harus perlu menghubungkannya dengan tindak pidana asal.Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 200 berbunyi:
”Each state party may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation.” Lalu diperkuat Pasal 20 yang berbunyi: ”Each state party shall consider...as a criminal offence,when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”.
Kata kunci kedua ketentuan konvensi tersebut adalah terdakwa harus membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang melebihi penghasilannya yang sah,bukan ada atau tidak adanya keterkaitan antara harta kekayaan terdakwa dan tindak pidana yang telah dilakukannya. Jika pembentuk Nomor 8 Tahun 2010 memahami sungguh-sungguh semangat, jiwa, serta makna di balik Pasal 31 ayat 8 dan Pasal 20 Konvensi PBB Antikorupsi, dapat dipastikan UU Nomor 8 Tahun 2010 menjadi sarana hukum yang andal dalam menyelamatkan keuangan negara secara signifikan.
Sistem hukum pidana Indonesia sampai saat ini belum mengakui harta kekayaan terdakwa merupakan subjek hukum pidana tersendiri terlepas dari status hukum seseorang selaku terdakwa. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, terdapat dua opsi. Pertama, harta kekayaan terdakwa perlu diakui sebagai subjek hukum pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia, di samping orang perorangan dan korporasi yang bertujuan memperoleh keuntungan finansial atau berhubungan dengan keuangan negara.
Kedua, mengutamakan sanksi pidana perampasan aset terdakwa atau korporasi sebagai pidana pokok di samping pidana penjara atau pidana denda. Konsekuensi kedua opsi tersebut, perampasan harta kekayaan terdakwa harus ditempatkan sebagai tindak pidana pokok––tidak lagi sebagai pidana tambahan. Saya usulkan agar ketentuan pidana dalam UU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang dimasukkan ketentuan pidana perampasan aset kejahatan. Tampaknya usulan tersebut dapat diwujudkan jika RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang telah dipersiapkan pemerintah segera diundangkan sehingga dapat mewujudkan upaya pemiskinan dalam kasus korupsi. ●
Sungguh sangat memprihatinkan jika kemauan politik pemerintah dengan UU tersebut tidak ditindaklanjuti sungguh-sungguh oleh aparatur penegak hukum. Pada draf awal RUU Pencucian Uang, penulis telah memasukkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,tetapi wakil pemerintah ketika itu menolak dan sepakat dengan DPR RI untuk hanya membentuk PPATK.
Sesal kemudian tidak ada gunanya. Demikian pepatah yang pas terhadap sikap pemerintah dan anggota parlemen tersebut. Mandulnya efektivitas undang-undang tersebut antara lain disebabkan ketiadaan komisi yang diharapkan dapat efektif mencegah dan memberantas pencucian uang. Selain itu, terdapat pula kekeliruan dalam merumuskan ketentuan pembuktian terbalik tercantum dalam Pasal 77 dan 78 UU RI Nomor 8 Tahun 2010.
Pasal 77 UU tersebut menentukan bahwa hakim memerintahkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana. Rumusan ketentuan tersebut menyiratkan beberapa hal. Pertama, pembuktian terbalik tentang harta kekayaan terdakwa masih dihubungkan dengan tindak pidana asal (predicate offense) atau fokus pada perbuatan terdakwa (daadstraafrecht).
Kedua, rumusan ketentuan pembuktian terbalik dalam pasal tersebut dalam praktik tidak dapat dilakukan tanpa terlebih dulu tindak pidana asal dimuat dalam tuntutan pidana penuntut umum. Ketiga, keberhasilan pembuktian terbalik dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sangat bergantung pada pembuktian tindak pidana asalnya sekalipun ketentuan Pasal 68 UU Nomor 8 Tahun 2010 menegaskan bahwa untuk pembuktian tindak pidana pencucian uang tidak harus dibuktikan terlebih dulu tindak pidana asalnya.
Merujuk pada ketentuan Pasal 77 dan Pasal 78 UU Nomor 8 Tahun 2010 dalam praktiknya hakim tidak dapat memerintahkan pembuktian terbalik terhadap terdakwa jika tidak terkait dengan dugaan terdakwa telah melakukan tindak pidana asalnya. Rumusan ketentuan pembuktian terbalik dalam UU Nomor 8 Tahun 2010 sangat jauh berbeda dengan bunyi ketentuan Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 2003 yang fokus pada perampasan aset terdakwa saja tidak harus perlu menghubungkannya dengan tindak pidana asal.Pasal 31 ayat 8 Konvensi PBB Antikorupsi 200 berbunyi:
”Each state party may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation.” Lalu diperkuat Pasal 20 yang berbunyi: ”Each state party shall consider...as a criminal offence,when committed intentionally, illicit enrichment, that is, a significant increase in the assets of a public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her lawful income”.
Kata kunci kedua ketentuan konvensi tersebut adalah terdakwa harus membuktikan asal-usul harta kekayaannya yang melebihi penghasilannya yang sah,bukan ada atau tidak adanya keterkaitan antara harta kekayaan terdakwa dan tindak pidana yang telah dilakukannya. Jika pembentuk Nomor 8 Tahun 2010 memahami sungguh-sungguh semangat, jiwa, serta makna di balik Pasal 31 ayat 8 dan Pasal 20 Konvensi PBB Antikorupsi, dapat dipastikan UU Nomor 8 Tahun 2010 menjadi sarana hukum yang andal dalam menyelamatkan keuangan negara secara signifikan.
Sistem hukum pidana Indonesia sampai saat ini belum mengakui harta kekayaan terdakwa merupakan subjek hukum pidana tersendiri terlepas dari status hukum seseorang selaku terdakwa. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, terdapat dua opsi. Pertama, harta kekayaan terdakwa perlu diakui sebagai subjek hukum pidana dalam sistem hukum pidana Indonesia, di samping orang perorangan dan korporasi yang bertujuan memperoleh keuntungan finansial atau berhubungan dengan keuangan negara.
Kedua, mengutamakan sanksi pidana perampasan aset terdakwa atau korporasi sebagai pidana pokok di samping pidana penjara atau pidana denda. Konsekuensi kedua opsi tersebut, perampasan harta kekayaan terdakwa harus ditempatkan sebagai tindak pidana pokok––tidak lagi sebagai pidana tambahan. Saya usulkan agar ketentuan pidana dalam UU Antikorupsi dan UU Antipencucian Uang dimasukkan ketentuan pidana perampasan aset kejahatan. Tampaknya usulan tersebut dapat diwujudkan jika RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang telah dipersiapkan pemerintah segera diundangkan sehingga dapat mewujudkan upaya pemiskinan dalam kasus korupsi. ●
Untuk tambahan informasi terkait postingan di atas bisa juga lihat di link : pena.gunadarma.ac.id/bi-cegah-cuci-uang-via-jasa-non-bank/
BalasHapus