Jumat, 16 Maret 2012

Jangan Digantung di Monas


Jangan Digantung di Monas
Mustafa Ismail, PENGGIAT KEBUDAYAAN
SUMBER : KORAN TEMPO, 16 Maret 2012



Dulu--entah sekarang--ada guyonan di kalangan remaja, kalau putus cinta, jangan minum racun, mending gantung diri di pohon cabai atau pohon tomat. Lebih praktis, murah, dan aman. Soalnya, racun itu mahal. Kadang hal itu diucapkan sambil meniru iklan sebuah produk antinyamuk yang menyatakan produk kompetitornya mahal.

Sekilas, ini memang tanpa makna. Tapi pernyataan seperti itu tentu tidak akan muncul jika tidak ada fakta bahwa ada remaja yang bunuh diri karena putus cinta. Selain itu, guyonan seperti itu memperlihatkan, dalam bawah sadar, tertanam sebuah kesadaran untuk merespons realitas: segala persoalan, betapapun beratnya, tidak perlu diakhiri dengan tindakan fatalis.

Dalam teori semiotika, kata, warna, sikap, pernyataan, benda, cara berpakaian, tingkah laku, dan sebagainya merupakan simbol-simbol yang menyuguhkan makna. Tokoh semiotika Ferdinand de Saussure menggambarkannya relasi itu sebagai X=Y. X adalah penanda, sementara Y adalah petanda atau makna yang diusung oleh penanda itu.

Dengan kata lain, tidak ada "sesuatu" pun yang bebas dari taksir. Dalam konsep Lacanian disebutkan, penanda selalu menandakan penanda lain. Menurut Jacques Lacan, tidak ada kata yang bebas dari kemetaforaan (Madam Sarup, 2011:10). Dengan kata lain, kata bukan cuma barisan huruf yang merujuk pada sesuatu. Tapi lebih dari itu, ia memantulkan makna lebih luas dari apa yang dirujuknya.

Ketika Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, menyatakan bahwa ia "siap digantung di Monas jika terlibat dalam kasus korupsi", ucapan itu tidak hanya bermakna literer, tapi juga simbolis. Kata “gantung” digunakan untuk menimbulkan efek drama dan kengerian. Bisa dibayangkan bagaimana seseorang yang digantung, lalu mati dengan lidah menjulur.

Kata Monas tidak hanya bermakna tinggi, tapi juga ruang publik, tempat orang berkumpul. Lagi-lagi, ini mencapai efek drama yang makin luar biasa: digantung di menara yang sangat tinggi dan di depan orang ramai. Dengan kata lain, selain menderita secara fisik, ia juga tersiksa secara psikologis: malu yang luar biasa, ditonton banyak orang. Selain itu, Monas berada di samping Istana Presiden yang juga akan menambah efek drama itu.

Lalu, kata "tidak terlibat korupsi" tidak cuma bermakna ia bebas dari kejahatan itu, tapi sebuah upaya untuk menunjukkan bahwa ia adalah sosok pemimpin yang bersih dan idealis. Ia ingin mengatakan bahwa ia masih Anas yang dulu, seperti ketika menjadi aktivis mahasiswa, dengan idealisme tinggi. Sekaligus Anas ingin meyakinkan elite partainya bahwa ia layak dipercaya. Keseluruhan dari ucapan itu menyuguhkan makna bahwa Anas adalah sosok yang bertanggung jawab dan tidak main-main dengan perilaku koruptif. Ia akan bersikap tegas terhadap perilaku koruptif, termasuk pada dirinya sendiri.

Namun, persoalannya, apakah makna yang disampaikan itu bisa sampai dengan baik kepada publik, termasuk kepada elite partai itu? Apalagi ketika teks-teks lain berseliweran, terutama di ruang sidang yang mengadili Nazaruddin, yang terus menohok Anas. Komunikasi menjadi efektif ketika semua narasi mengerucut pada satu makna. Sebaliknya, jika narasi terpecah ke dalam beberapa fragmen, dengan makna berbeda-beda, komunikasi akan menjadi mengambang. Orang akan ragu: benarkah apa yang disampaikannya?

Dalam kasus Anas, memang tidak ada narasi yang bermakna tunggal. Selain narasi yang dibeberkan di ruang sidang, ada narasi dari Anas dan pendukungnya. Anas dan pendukungnya terus memproduksi citra visual bahwa Anas adalah sosok yang bersih dan jauh dari perilaku koruptif.

Ada pula narasi yang dimunculkan kalangan partai Anas, yang juga terbelah: mendukung dan tidak mendukung pemimpinnya itu. Lalu, ada pula narasi dari media, yang selain mengakomodasi dari berbagai kelompok itu, juga melakukan ikhtiar-ikhtiar jurnalistik untuk mengungkap kasus ini dengan caranya sendiri. Di samping itu, ada narasi yang terus bergerak di kepala publik. Makna dari narasi ini bisa sangat beragam, bergantung pada latar belakang mereka.

Publik kelas menengah, misalnya, yang berada di antara begitu banyak sumber informasi dan referensi, percaya politik adalah kepentingan. Dalam politik tidak ada makan siang gratis. Dalam setiap peristiwa politik selalu ada biaya politik. Untuk menjadi kepala desa pun ada biaya politik, apalagi menjadi ketua organisasi besar. Nah, narasi yang bergerak dalam bawah sadar kelas menengah ini adalah: pertama, dari mana uang seseorang membiayai pencalonannya untuk menjadi ketua organisasi. Kedua, bagaimana mungkin tidak ada balas jasa terhadap mereka yang telah mendukung seseorang untuk menduduki jabatan sebuah organisasi.

Publik ini juga akan melihat bagaimana penampilan seorang politikus, baik kendaraan, rumah, maupun gaya hidup, dan lain-lain. Fakta-fakta kasatmata ini kemudian dibandingkan dengan pendapatannya dalam sebuah jabatan publik: cukupkah untuk membiayai semua itu? Jika tidak, tentu mereka akan bertanya-tanya: dari mana uang sang tokoh untuk membiayai semua itu?

Seorang rekan politikus dari sebuah daerah bercerita bagaimana ia sebagai pemimpin partai di sebuah kabupaten harus pontang-panting mencari uang untuk membiayai partainya. Sebab, anggaran dari pemerintah sangat minim. Lalu, dari mana uang itu? Ya, antara lain dari proyek-proyek pemerintah daerah, baik yang dikerjakan oleh perusahaannya maupun dikerjakan oleh perusahaan lain dan ia mendapat sejumlah fee untuk itu.

Menurut rekan itu, merujuk pada pengalamannya, ada dua biaya dalam aktivisme politik: pertama, biaya politik untuk membiayai aktivitas politik. Ini dikeluarkan misalnya untuk ongkos kampanye, bikin spanduk, rapat, dan lain-lain. Kedua, biaya money politics, yang digunakan untuk balas jasa politik. Faktanya memang banyak politikus hidup mewah. Tidak ada yang pernah mempertanyakan bagaimana mereka membiayai gaya hidup semacam itu. Nah, dalam konteks inilah teori dekonstruksi Jacques Derrida menjadi penting: teks (realitas) harus direspons secara kritis. Sesuatu yang sudah jelas harus dibongkar dan dihadapkan dengan antitesisnya.

Bahkan Derrida menerapkan sistem "tunda": bagaimana jika teks itu dibaca kemudian, bukan saat ini, apakah maknanya akan sama atau justru sama sekali bertolak belakang? Jadi, makna suatu tanda atau teks bisa berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Jadi, ketika Anas mengatakan siap digantung di Monas jika terbukti korupsi, pernyataan itu harus dibongkar dan dihadapkan dengan fakta-fakta lain di sekitarnya. Selain itu, menarik juga jika pembacaan narasi itu ditunda enam bulan atau setahun kemudian. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar