Sabtu, 17 Maret 2012

Mengajak Pocong Bersumpah


Mengajak Pocong Bersumpah
Ahmad Sahidah, DOKTOR FALSAFAH;
DOSEN FILSAFAT DAN ETIKA UNIVERSITAS UTARA MALAYSIA
SUMBER : JAWA POS, 17 Maret 2012



NAZARUDDIN menantang Anas Urbaningrum untuk bersumpah pocong untuk memastikan siapa yang benar dan bohong. Tantangan ini lahir dari pernyataan ketua umum Partai Demokrat yang bersedia digantung di Monumen Nasional apabila terbukti terlilbat dalam kasus Hambalang.

Tentu, ini adalah cara yang dianggap paling tuntas mengungkap patgulipat dalam pengaturan proyek oleh pihak eksektutif dan legislatif. Betapa naif apabila keduanya betul-betul melakukan sumpah pocong karena mereka yang sedang berseteru dikenal sebagai kaum terpelajar yang menyadari bahwa mekanisme hukum di negeri lebih dari cukup untuk memastikan siapa yang menilap uang negara.

Berbeda dengan tradisi ini di dalam masyarakat luas, praktik sumpah pocong berhasil meredam aksi anarkis masyarakat terhadap warga yang dituding menyebarkan ajaran sesat atau kasus sengketa yang melibatkan mereka. Meskipun demikian, ada sebagian yang mendorong untuk menghapuskan tradisi yang dianggap tidak masuk akal.

Misalnya, penelitian Lucy Dyah Hendrawati dan Sri Indah Kinasih (2005) tentang Makna Sumpah Pocong Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa pada Masyarakat menyarankan agar kepercayaan semacam ini dihilangkan dan diharapkan para kiai mendorong masyarakat untuk menyelesaikan masalahnya di pengadilan.

Padahal, sumpah pocong masih bisa dipertahankan karena masih relevan dengan pengetahuan dan keyakinan masyarakat serta mampu mencegah meruyaknya tindakan main hakim sendiri dalam menuntaskan perselisihan. Kalaupun cara ini tampak berkesan primitif, sebenarnya tidak lebih penyebabnya perbedaan paradigma dan ukuran yang digunakan untuk menilai. Kalau diperhatikan secara cermat, psikologi masyarakat yang mengamalkannya percaya bahwa konsekuensi bagi mereka yang berbohong akan dihukum oleh Tuhan adalah semacam penjara batin yang sangat dahsyat.

Kearifan Tradisi

John T. Sidel dalam Riots, Pogroms, and Jihad: Religious Violence in Indonesia (2007: 152) mengungkapkan efektivitas pengambilan sumpah orang-orang yang dituduh sebagai tukang santet di beberapa daerah Jawa Timur untuk menghindari amuk massa dan jatuhnya korban yang tidak perlu pada 1998-an. Betapa banyak pembunuhan yang dilakukan massa terhadap dukun santet pada era awal Reformasi. Apa pun motifnya, sumpah pocong acap kali menjadi katup bagi pelepasan emosi massa.

Persoalan yang acap kali mendera masyarakat awam, seperti tuduhan santet, utang-piutang, ajaran sesat, dan perselingkuhan, kadang berujung kebuntuan. Karena itu, ada sebagian di antara mereka yang menuntut pelaksanaan sumpah pocong. Menariknya, tuntutan ini pernah juga diutarakan oleh Aji Massaid dan Tommy Soeharto terhadap pasangan hidupnya, namun ditolak. Pendek kata, dalam bawah sadar masyarakat kita, tradisi lama ini sejatinya merupakan ruang yang paling dianggap sesuai untuk menyelesaikan pertikaian dan pada waktu yang sama merupakan kehilangan kepercayaan terhadap institusi hukum di negeri ini.

Pada hakikatnya, gagasan untuk melakukan sumpah adalah salah satu upaya mencari kebenaran dari sesuatu yang dipersengketakan. Kenyataannya, salah seorang pelaku meninggal tidak lama setelah bersumpah sehingga serta-merta diketahui siapa yang berbohong meskipun ini juga tidak dijadikan penanda karena kematian merupakan otoritas Tuhan. Apalagi, secara normatif, Rasulullah Muhammad pernah berdoa kepada Tuhan agar umatnya tidak mengalami azab serta-merta seperti umat sebelumnya ketika melakukan kesalahan.

Meski demikian, sumpah pocong memiliki akar hukum dalam Islam, yaitu sumpah li'an, meskipun tata caranya menampilkan drama kematian dengan mengafani si tertuduh adalah hasil kreativitas budaya lokal. Melalui upacara yang dipimpin tokoh agama yang melibatkan masyarakat luas, diharapkan penyelesaian perselisihan yang mempunyai efek dramatis sehingga menyentuh jiwa, bukan emosi pihak yang terlibat.

Memang, dalam tradisi Islam, sumpah itu hanya cukup dengan mengucapkan kalimat Demi Allah, wallahi, tallahi, atau billahi. Namun, pada waktu yang sama, kaidah fikih yang menyatakan bahwa adat itu bisa menjadi hukum. Karena itu, isu yang harus dikemukakan seberapa jauh adat istiadat ini merupakan bagian dari pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran.

Metafora Kebenaran

Nadine Gordimer, novelis pemenang Nobel dari Afrika Selatan, dalam Writing and Being menegaskan bahwa hakikat kebenaran merupakan ''sisi tersembunyi'' dari kehidupan manusia (2004:100). Secara tersirat, pernyataan ini menunjukkan bahwa manusia mempunyai keterbatasan dalam mengungkapkan kebenaran apa pun. Dengan penyerahan diri kepada kekuasaan adikodrati, manusia secara tidak langsung menegaskan kemanusiannya. Masalahnya, di tengah keikhlasan terhadap kuasa Tuhan, kita diberikan akal budi untuk mencerna pesan, baik kitab suci maupun fenomena alam.

Lalu, mungkinkah kebenaran itu bisa diraih dengan tradisi sumpah pocong? Tantangan sumpah pocong yang disampaikan oleh Nazar pada hakikatnya jalan terakhir bagi terdakwa tersebut untuk tidak menanggung kesalahan sendirian. Bagaimanapun, bukti-bukti telah lebih dari cukup untuk menyeret mantan bendahara Partai Demokrat ini ke penjara.

Namun, sebagaimana kasus korupsi di negeri ini, perilaku buruk ini terjadi karena dia sering melibatkan banyak pihak. Tidak mungkin Nazar bisa mengobok-obok begitu banyak kementerian dan koleganya di parlemen untuk mendapatkan komisi (fee) proyek tanpa dukungan pelbagai pihak. Secara tersirat, Nazar mengakui tindakan kejahatan. Namun, pada waktu yang sama, tampaknya, dia tidak ingin dijebloskan sendirian, sementara orang-orang yang terlibat di dalamnya melenggang kangkung.

Akhirnya, kebenaran terkait kasus Anas-Nazar sejatinya dikembalikan pada Tuhan sebagai puncak tertinggi hierarki. Manusia tidak bisa menjadi hakim dari ketidaktahuannya akan hakikat realitas. Bagaimanapun, dengan sumpah pocong, kita diajari bahwa orang harus berani menerima risiko dari kejahatannya, yang secara kebetulan akibat yang ditanggung pelaku serta-merta diperoleh di dunia.

Meski demikian, praktik ini tidak bisa menggantikan fungsi penegakan hukum. Tanpa keadilan, tatanan negara akan ambruk. Lebih jauh, kutukan sumpah pocong akan benar-benar terjadi. Sebab, sepandai-pandainya pocong... eh tupai melompat, ia akan gawal juga. ●

1 komentar:

  1. PERMAINAN ONLINE TERBESAR DI INDONESIA

    Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia ^^
    Sistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat :)
    Memiliki Banyak Permainan yang digemari oleh Penggemar Online

    - SPORTBOOK
    - TANGKAS
    - LIVE CASINO
    - TOGEL
    - POKER DOMINO
    - SLOT

    Promo Yang Berlaku Di LIGA BINTANG
    HOT PROMO :
    - Bonus Deposit 10% (max 100 rb) Minimal TO 3x
    - Bonus Cashback Mingguan Di Sportbook 5% - 15%
    - Bonus Refrensi 2,5% Seumur Hidup Di Permainan Sportbook
    - Bonus Rollingan Casino 0.8%
    - Bonus Rollingan Poker 0.2%
    - Bonus Cashback Togel 3%
    - Bonus Rollingan Mingguan Sportbook Refferal 0,1%

    Discount 4D : 66.00% , 3D : 59.5.00% , 2D : 29.5.00%
    Kombinasi = 5%
    Shio = 12%
    Colok Angka (1A) = 5%
    Colok Macau (2A) = 15%
    Colok Naga (3A) = 15%
    Colok Jitu = 8%

    Contact Us
    Website : ligabintang88.net
    WA : +62 812 8805 4524
    Instagram : ligabintang_sportgambling

    BalasHapus