Kamis, 15 Maret 2012

Ironi di Negara Hukum


Ironi di Negara Hukum
Ihsan M. Rusli, FUNGSIONARIS PUSAT PARTAI GOLKAR
SUMBER : SUARA KARYA, 15 Maret 2012



Indonesia adalah negara hukum. Setiap warga negara tanpa kecuali berkedudukan sama di depan hukum (the equality before the law). Hukum harus dijunjung tinggi oleh siapa pun, baik itu rakyat kecil maupun penguasa. Begitulah idealnya sebuah 'negara hukum'.
Tetapi, sesuatu yang ideal belumlah menjadi bermanfaat kalau tidak diimplementasikan pada tataran konkret. Kalau semua orang sama hak dan kedudukannya di depan hukum maka untuk siapa saja hukum itu harus tajam dan adil?

Tajam dalam pengertian tidak pandang ampun untuk pelanggaran sekecil apa pun bagi siapa saja. Sedangkan adil adalah menempatkan sesuatu pada proporsinya sesuai dengan aturan hukum itu sendiri.

Makanya, dalam praktik hukum terutama dalam memutuskan suatu perkara, keadilan tidak hanya ditakar kepada hukum formal yang sarat dengan ketentuan teoritis, tapi yang lebih penting adalah keadilan substantif di mana mereka yang berurusan dengan hukum benar-benar merasakan adanya keadilan.

Keadilan substantif adalah keadilan yang berlandaskan kepada hati nurani, kepada qalbu terdalam setiap insan, suara yang berkembang di tengah masyarakat banyak. Di sinilah dituntut adanya kepekaan nurani dan empati yang kuat terhadap setiap kasus hukum yang ditangani.

Kita kembali kepada rumusan ideal tentang hukum, karena pada dasarnya adanya peraturan dan kitab hukum tidak terlepas dari keinginan agar semua orang mendapatkan perlakuan hukum yang ideal. Tapi, adakah peraturan manusia yang bisa mengatur sesama manusia dengan ideal?

Sejatinya setiap hamba hukum adalah orang beriman yang mempunyai kepercayaan kepada Tuhan sebagai Sang Maha Pengatur. Dalam dimensi ini maka apa pun tindakan hukum yang diambilnya tidak terlepas dari dimensi transendental dan harus dipertanggungjawabkan juga kepada Tuhan.

Sehingga, tidak akan mungkin terjadi kecerobohan dan kedunguan dalam memutuskan suatu perkara hukum seperti banyak yang kita saksikan di negeri tercinta ini. Hilangnya dimensi transendental dalam aktivitas manusia akan membuat manusia mudah melakukan penyimpangan dan pengkhianatan.

Ketika das sollen dan das sein tidak berjalan beriringan atau malah ironisnya bertolak belakang maka akan timbulkekacauan. Negeri ini sangat rajin memproduksi berbagai peraturan dan rancangan tapi nihil dalam implementasi. Hukum berjalan tidak seindah peraturan yang ideal itu, carut-marut hukum memperlihatkan secara telanjang bagaimana orang-orang yang mengerti hukum mengencingi hukum itu sendiri.

Penegak hukum dengan jabatan mereka yang amat mulia dan terhormat, menjual hukum dengan harga murah. Polisi, jaksa, dan hakim berlomba-lomba menjual hukum demi kepentingan sesaat. Jadilah hukum sebagai barang jualan, di mana yang mempunyai uang akan mendapatkan perlakuan istimewa.

Ironisnya, setiap penyimpangan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan dibukakan oleh Tuhan, kesalahan itu selalu dikatakan sebagai kesalahan oknum. Padahal, rakyat negeri ini tahu betapa amat bobroknya sistem yang ada di negeri ini. Ini adalah kesalahan sistemik yang bermula dari hulu sampai ke hilir.

Siapa pun yang masuk ke pusaran sistem itu, sebersih apa pun dia akan menjadi kotor karena sistem yang kotor itu. Putra terbaik bangsa yang masuk ke jajaran aparat hukum sulit nantinya akan keluar menjadi orang yang bersih, karena sistem mengharuskan dia untuk menyimpang, kalau dia jujur maka akan mengalami frustrasi akut.

Sistem korup akan melindungi mereka yang korup. Di tengah sistem yang busuk dan penuh penyimpangan, ada saja yang ingin mencari selamat, sibuk mencari muka dengan bahasa berputar-putar tanpa substansi.Inilah ironi di sebuah negeri, di mana sebagian besar rakyatnya mengaku beriman, percaya kepada hari akhir dan takdir Tuhan, tapi dengan jumawa selalu melakukan penyimpangan dan menginjak-injak firman Tuhan.

Sumpah atas nama Tuhan dilakukan setiap jabatan akan diemban, tapi selesai sumpah maka selesai pula pertanggungjawaban kepada Tuhan, lalu mulailah hari-hari diisi dengan penyimpangan.

Demikian parahnya materialisme dan hedonisme menjajah manusia di negeri ini sehingga uang lebih dipuja dibandingkan Tuhan. Hukum hanya milik mereka yang punya uang, tak peduli dari mana dan punya siapa uang itu. Uang menjadi titik final penentu keadilan. Bagi mereka yang punya uang, hukum bisa dibeli dengan harga berapa pun yang diminta.

Banyak kasus memperlihatkan kepada kita betapa aparat hukum tidak punya marwah ketika berhadapan dengan uang. Mereka menyebutnya oknum, tapi ini adalah penyakit kolektif yang menimpa seantero negeri. Keadilan akhirnya berubah menjadi transaksional, tumpul kepada mereka yang punya uang, tidak peduli halal atau haram dan sebaliknya begitu tajam kepada yang papa dan dhuafa. Ini jugalah yang menjadi penyebab utama mengapa korupsi begitu sulit diberantas di negeri ini.

Banyak orang skeptis melihat begitu menumpuknya persoalan yang mendera aparat hukum. Reformasi birokrasi secara total termasuk di dalamnya aparat hukum memang harus jadi pilihan, disertai dengan perubahan sistem birokrasi secara menyeluruh.

Perubahan tambal sulam tidak akan menyelesaikan masalah, tapi malah semakin memperluas masalah, karena dari hulunya sudah kotor. Garbage in, garbage out, sampah yang masuk maka sampah juga yang keluar. Sumber rekrutmen yang dipenuhi suap dan KKN telah menjadi rahasia umum di setiap birokrasi termasuk aparat penegak hukum. Bagaimana mungkin kita berharap tegaknya kejujuran dan akuntabilitas dari mereka yang masuk dengan cara menyogok macam itu? Quo vadis?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar