Pemberhalaan
Identitas dan Etika Kedaifan
Agnes Widanti, PENGURUS INTERFAITH COMMITTEE (IFC) KOTA
SEMARANG
SUMBER : SUARA MERDEKA, 15 Maret 2012
"Identitas
sebetulnya bukan jati diri melainkan pengakuan akan perbedaan dan sekaligus
pengingkarannya"
TULISAN Aloys Budi Purnomo Pr bertajuk
”Membumikan Indahnya Kebersamaan” (SM, 09/03/12) menarik untuk ditanggapi.
Memang indah yang digambarkan Aloys dalam pertemuan para elite agama,
pemerintahan, dan politik itu, yang penuh keakraban, keterbukaan, keterharuan,
dan emosi-emosi yang lain. Ini situasi di aras atas. Penulis akan mencoba
melihat dari kacamata aras bawah.
Kita tahu rakyat tidak pernah dipersiapkan,
baik secara teoritis maupun praktis. Mereka tidak percaya bahwa manusia dapat
menunjukkan kecenderungan pada kejahatan, hasrat untuk kuasa, tidak
menghormati hak-hak kaum lemah, atau rindu akan ketertundukan.
Erich Fromm dalam Escape from Freedom mengatakan tentang aspek yang sangat penting
bagi krisis kebudayaan dan sosial zaman ini, yaitu makna kebebasan bagi manusia
modern. Dia juga menekankan bahwa manusia modern lebih mengejar kemashyuran,
kekuasaan diri, dan memandang diri orang lain dan alam sebagai objek penguasaan
teoritis dan praktis, dan dalam keindahannya sebagai objek dari kenikmatan.
Pada saat penulis mengerjakan program
Interfaith Committee (IFC) Kota Semarang bersama tokoh agama yang lain (Hindu,
Buddha, Islam, Kristen, dan Katolik) beberapa tahun lalu di beberapa desa di
Gunungpati dan Kalialang, memang sangat terasa imbas dari konflik antarumat
beragama di Indonesia.
Program itu selaras dengan konsep Magnis
Suseno tentang kemanusiaan yang universal, yaitu tiap manusia mempunyai
nilai sendiri yang sama dengan manusia lain sehingga nilai kemanusiaan yang
universal lebih mengedepan. Pelaksanaan program sesuai dengan konsep adalah
gotong royong pembuatan jalan desa untuk mempermudah akses keluar desa,
perbaikan gedung SD yang rusak, MCK, dan pembuatan lapangan sepak bola.
Program gotong royong ini tidak berupah,
tetapi dihargai dengan beras yang dihitung per jam kerja. Ternyata yang
mengikuti program 85% perempuan (ibu-ibu) dan 15% bapak/pemuda. Hanya dalam
pertemuan evaluasi program mingguan bapak-bapak dan pemuda ikut hadir dan
terlibat dalam dialog yang menyegarkan. Sayang program ini berlangsung
hanya tiga tahun karena kemudian bantuan dari CRS dialihkan ke NTT yang
lebih membutuhkan.
Apa sebetulnya yang dibutuhkan masyarakat
menghadapi perubahan dari masyarakat agamis menjadi sekuler pluralis? Seperti
terjadi di Eropa akhir abad ke-20, agama-agama belum merespons dan masih
mempergunakan pandangan lama yang membedakan antara manusia dalam kelompok
sendiri dan manusia dalam kelompok lain. Tokoh-tokoh agama juga masih berkutat
pada dirinya sendiri, umat tidak dipersiapkan untuk memfungsikan teori
dan praktik di masyarakat.
Kita hidup dalam NKRI dengan satu sistem
hukum sama, yaitu menjamin kesamaan, adil, dan merata. Dengan pandangan baru
(nilai kemanusiaan yang universal), maka perbedaan agama-agama tidak akan
menimbulkan konflik karena tidak ada perbedaan antara manusia dalam kelompok
sendiri dan manusia dalam kelompok lain.
Cita-cita manusia universal diperjuangkan
oleh ideologi-ideologi keselamatan sekularis besar seperti liberalisme,
sosialisme, dan komunisme. Baru dalam abad ini agama-agama mulai membuka diri.
Gereja Katolik misalnya baru menerima dengan tegas cita-cita demokrasi, hak
asasi manusia, toleransi religius, kebebasan beragama dan berpikir dalam
Konsili Vatikan II 1962 °V 1965 (Magnis-Suseno http://www.tokohindonesia.com
23/07/008).
Peta
Kemajemukan
Indonesia adalah negara majemuk baik di
bidang agama, suku, ras, maupun budaya. Mayoritas penduduk beragama Islam
(88,22%), tetapi ada daerah-daerah yang mayoritas penduduknya beragama
Kristen-Katolik, misalnya NTT (89,7%), Bali dengan mayoritas agama Hindu
(87,4%), dan beberapa daerah lain seperti Sulawesi Utara, Papua, Maluku,
Kalimantan Barat jumlah orang Kristen juga banyak. Kehidupan antarumat beragama
sering menimbulkan konflik di daerah-daerah yang mayoritas penduduk Kristen
ataupun Islam. Isu agama yang dipolitisasi ini berdampak pada munculnya
sikap-sikap primordial. Hanya dengan kedewasaan umat dalam menghayati agama,
primordialisme yang berdampak negatif akan melemah.
Seperti kata Gus Dur bahwa agama Islam bukan
agama politik semata-mata. Porsi politik dalam ajaran Islam itu sangat kecil,
yang terkait langsung kepentingan orang banyak. Kalau hal ini tidak disadari,
politik akan menjadi panglima bagi gerakan Islam dan terkait dengan institusi
yang bernama kekuasaan. Dengan kata lain Islam mementingkan masyarakat adil dan
makmur, sejahtera. Islam menjadi sarana kemasyarakatan yang lebih mementingkan
fungsi pertolongan pada kaun miskin dan menderita, penegakan HAM,
keadilan, dan perdamaian dunia menjadi opsi yang fundamental dari agama Islam
(Islamku, Islam Anda , dan Islam Kita).
Searah dengan pendapat Gus Dur adalah
pendapat Magnis Suseno, dengan konsep tentang manusia universal. Dia mengajukan
pendapat Jurgen Habermas yang mengatakan bahwa cita-cita kemanusiaan universal
secara potensial telah termuat dalam agama-agama besar. Agama-agama yang
membuka wawasan martabat manusia sebagai manusia, dan bukan hanya sebagai warga
suku, kelompok, atau kelas sosial tertentu. Agama-agama bicara tentang manusia
sebagai manusia kalau mereka bicara tentang Yang Illahi.
Cita-cita Jawa tentang manunggaling kawula
Gusti (Persatuan hamba-Tuhan, manusia menyatu dengan Tuhan) tidak mengenal
batas ras, kasta, atau kelamin. Kesadaran akan kekhasan manusia, kesamaan,
keluhuran, dan keterbatasan sebagai ciptaan mendapat penajaman lagi dalam
agama-agama Wahyu, agama Israel, agama Kristen dan agama Islam karena agama
wahyu dengan tajam memahami transendental Allah.
Tanggung
Jawab
Situasi di Indonesia yang selalu ditandai
konflik-konflik antaragama menjadi tanggung jawab agama-agama menghadapi
tantangan historis agama-agama. Dikatakan historis karena pertentangan yang
mengakibatkan konflik antaragama disebabkan agama-agama masih menggunakan
paradigma lama, yaitu perbedaan antara kelompokku dan kelompok yang lain.
Karena itu sangat sulit untuk menerima ”yang lain”. Tidak ada lagi pembedaan
hakiki antara kelompokku dan kelompok lain yang melahirkan diskriminasi, tidak
menghormati demokrasi, HAM, dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar.
Agama harus menjadi pendukung utama etika kemanusiaan universal. Sekuler hanya
dalam arti fungsional, dalam masyarakat, untuk melakukan pelbagai kegiatan keanggotaan
dalam suatu agama atau aliran tidak relevan.
Peran agama dalam dunia global modern akan
ditentukan dari sikap yang diambil agama-agama dalam situasi historis ini,
apakah akan tetap tertutup untuk yang lain atau terbuka dan mendukung etika
kemanusiaan universal. Kalau bersikap tertutup, kalau terjadi reprimordialisasi
agama-agama dapat menjadi ancaman bagi kesatuan dan persatuan.
Kalau bersikap terbuka, berarti agama-agama
memperjuangkan masyarakat manusiawi sesuai dengan kehendak Sang Pencipta dalam
hubungan antarmanusia. Dalam nada yang sama Goenawan Mohamad mengatakan
mengajukan konsep ”pemberhalaan identitas dan etika kedaifan”. Indonesia sedang
mengalami konflik antarkelompok sosial yang mengemuka dalam ikatan agama, suku
atau daerah. Semua ini terjadi karena ada pemberhalaan identitas.
Pemberhalaan identitas bisa berujung pada
konlik berkepanjangan, kalau begitu identitas sebetulnya bukan jati diri
melainkan pengakuan akan perbedaan dan sekaligus pengingkarannya. Untuk bisa
bergaul dengan orang lain dengan identitas lain diperlukan etika kedaifan.
Etika yang mengakui betapa kita adalah diri yang lemah, diri yang tidak pernah
mampu merumuskan keberadaan orang lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar