Infrastruktur,
Keadilan,
dan
Bahan Bakar Minyak
Muhammad
Chatib Basri, PENDIRI CRECO RESEARCH INSTITUTE,
DOSEN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS INDONESIA
SUMBER : KOMPAS, 19 Maret 2012
Lebih dari sekadar pertumbuhan ekonomi,
infrastruktur adalah soal keadilan. Pembangunan irigasi atau jalan desa,
misalnya, akan meningkatkan produktivitas pertanian. Ia akan memberikan akses
agar produk pertanian bisa dijual ke pasar dan petani memperoleh pendapatan.
Saya ingat dalam diskusi terbatas di
Brookings Institution beberapa tahun lalu, ekonom Jeffrey Sachs menceritakan
bagaimana keterkucilan (landlock) di Bolivia menjadi salah satu sebab
terjadinya kemiskinan. Penduduk desa mampu memproduksi hasil pertanian, tetapi
apabila jalan tidak tersedia, biaya angkut menjadi begitu mahal. Akibatnya,
barang tidak dapat diperdagangkan. Itu sebabnya, akses infrastruktur membantu
meningkatkan pendapatan petani, yang pada gilirannya menurunkan kemiskinan.
Saya tidak bicara soal Bolivia, tetapi kita
tahu, hal yang sama terjadi untuk Papua atau beberapa daerah lain di Indonesia.
Lebih dari itu, infrastruktur yang buruk membuat penduduk menengah bawah harus
membayar lebih mahal karena ketidaktersediaan infrastruktur publik. Tengok
saja, misalnya, akses ke Bagedur di Banten selatan: kualitas jalan yang buruk
menghambat masuknya transportasi publik. Akibatnya, penduduk terpaksa membeli
motor. Bagi yang tak punya uang? Mobilitas terbatas.
Tak itu saja, kita juga melihat munculnya
fenomena pengawal pribadi atau satuan pengamanan penjaga rumah. Ini cerminan
bagaimana barang publik berubah menjadi barang privat. Ini artinya, masalah
keamanan tidak sepenuhnya terjamin bagi publik. Orang harus membayar mahal
untuk keamanan. Bagi yang tidak punya uang, hiduplah dengan jaminan keamanan
seadanya.
Dalam kasus air, kita juga melihat bahwa
ketidaktersediaan akses air bersih memaksa penduduk miskin membeli air dengan
harga berlipat dari pedagang. Kelangkaan pasokan air bersih sangat membebani
kelompok miskin, sementara di sisi lain memberikan keuntungan berlipat bagi
pedagang.
Bagaimana dengan dunia usaha? Tengok masalah
listrik. Data statistik industri bicara: sebagian besar pengguna generator
adalah perusahaan besar, sedangkan perusahaan kecil dan menengah lebih
bergantung pada pasokan PT PLN. Alasannya sederhana, hanya perusahaan besar
yang sanggup memiliki generator. Ironis apabila setiap pelaku ekonomi harus
membangun atau memiliki sendiri infrastrukturnya, yang dapat bertahan hanyalah
perusahaan besar atau mereka yang memiliki uang.
Kegagalan negara dalam menyediakan
infrastruktur publik pada akhirnya akan meningkatkan ketimpangan. Itu sebabnya,
pembangunan infrastruktur adalah soal keadilan. Oleh karena itu, seharusnya
alokasi untuk anggaran infrastruktur menjadi prioritas dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) kita. Sayangnya, tak sepenuhnya begitu. Oleh karena
itu, rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebetulnya
lebih dari sekadar soal APBN. Ia adalah soal keadilan dan seharusnya ini
dilakukan sejak dulu. Awal tahun lalu, dalam Analisis Ekonomi Kompas ini, saya
sudah mengingatkan bahwa harga BBM harus dinaikkan.
Namun, tampaknya pemerintah waktu itu lebih
suka berwacana dengan cara ruwet: pembatasan. Saat ini, dengan asumsi harga
minyak 105 dollar AS per barrel dan konsumsi 40 juta kiloliter, beban subsidi
BBM mencapai Rp 178 triliun, lebih tinggi daripada belanja modal dalam
Rancangan APBN 2012 yang sebesar Rp 168 triliun. Padahal, kita tahu bahwa
subsidi BBM dinikmati oleh 10 persen penduduk terkaya 5 kali lipat dibandingkan
dengan 10 persen penduduk termiskin! Ada soal keadilan di sini. Kalau toh
misalnya pemerintah mampu mencarikan sumber pembiayaan APBN lain untuk
mempertahankan subsidi BBM, haruskah uang sebanyak itu diberikan kepada
kelompok menengah atas atau penyelundup?
Rasanya, uang sebanyak itu lebih baik
digunakan untuk membantu penduduk miskin secara langsung melalui pembangunan
infrastruktur, sekolah, dan fasilitas kesehatan bagi penduduk miskin. Itu
sebabnya, kenaikan harga BBM lebih dari sekadar soal APBN. Ia adalah soal
keadilan. Kenaikan harga BBM akan menimbulkan inflasi dan beban bagi penduduk
miskin. Itu tidak dapat dimungkiri.
Oleh karena itu, dalam jangka pendek harus
ada program kompensasi untuk membantu kelompok miskin, hampir miskin, dan
mereka yang rentan terhadap gejolak harga, seperti buruh dan nelayan.
Ironisnya, keputusan ini harus diambil segera. Semakin lama keputusan ini
diambil, semakin besar ketidakpastian dan penimbunan terjadi. Akibatnya,
ekspektasi inflasi meningkat, harga barang naik tajam. Di sini kita melihat
penundaan justru akan lebih memukul penduduk miskin.
Sayangnya, keputusan ini hanya bisa diambil
lewat kesepakatan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Menurut
saya, sudah saatnya DPR menjadi negarawan dan tidak mengorbankan rakyat miskin
demi kepentingan politik. Di sisi lain, pemerintah juga harus
mengimplementasikan pembangunan infrastruktur, melakukan efisiensi, dan
mengikis habis korupsi. Apabila infrastruktur tidak juga bisa dibangun—walaupun
dana tersedia—kelompok miskin tetap tidak terlindungi.
Sikap pemerintah yang sebelum ini cenderung
ragu dalam menaikkan harga BBM juga cerminan dari kegemaran menjaga popularitas
politik. Padahal, seperti yang dikatakan Nigel Lawson, ”To govern is to choose. To appear to be unable to choose is to appear
to be unable to govern”. Lawson benar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar